Zakat Harta Dagangan Nu Online. Di dalam urudl sendiri, tersimpan dua makna, yaitu harga beli (qimat al-sil’ah) dan laba (ribhun). "Nuqud (dirham atau dinar) + harga jual barang dagangan + piutang yang bisa diharapkan penunaiannya) - utang modal)".

Keberadaan nuqud dihitung sebagai urudl al-tijarah ini sudah pasti menghendaki telah terjadinya proses jual beli, sehingga ia kemudian disimpan oleh pemilik toko. Tanpa keberadaan jual beli itu, maka suatu nuqud tidak bisa dikategorikan sebagai bagian dari urudl.

الشافعية قالوا: اشتراط الملك التام، يخرج الرقيق والمكاتب، فلا زكاة عليهما، أما الأول فلأنه لا يملك، وأما الثاني فلأن ملكه ضعيف. Sementara budak yang kedua, status kepemilikannya adalah lemah.” (Al-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islamy wa Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, tt., Juz 1, halaman 606). Masyarakat biasa menyebutnya dengan istilah, berdagang dengan “modal habis - bayar”, yaitu kebiasaan berdagang yang mengambil barang dari pedagang tengkulak terlebih dulu, yang bila barangnya habis terjual, baru ia datang ke tengkulak untuk membayar harga barang.

Zakat Perdagangan dan Cara Menghitungnya

Baik itu harta hasil dari berutang ataupun harta yang berasal dari modal sendiri, selama bisa menambah kuantitas ‘urudl al-tijarah, maka harus dimasukkan dan dihitung sebagai modal. Bagian yang masuk dalam rumpun aktiva lancar adalah:.

Apabila cara toko tersebut dalam menambah barang dagangannya adalah dengan sistem “bawa-laku-bayar”, maka besaran utang yang harus dilunasi oleh pemilik toko kepada toko tempatnya kulak, dihitung sebagai dua hal, yaitu: (1) sebagai modal, dan (2) sebagai utang. Maksud dari sistem ‘bawa-laku-bayar’, adalah pihak toko membawa barang dulu dari tempat kulak, kemudian dijual, setelah laku baru pihak toko membayar ke tempat kulak. Awalnya Ia hanya punya modal sendiri sebesar 50 juta rupiah. Karena dirasa masih kurang, maka ia berutang ke Pak Ahmad sebesar 20 juta rupiah.

Setelah perjalanan 1 tahun Hijriah bisnis, ia mendapati catatan bahwa kas toko telah mencapai total Rp100 juta. Rp10 juta di antaranya sudah pernah diambil untuk kebutuhan pribadi dan keluarga.

Berapakah zakat yang harus ditunaikan Pak Anton setelah satu haul periode tutup buku? Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim.

Macam-macam Hukum Menimbun Barang dalam Fiqih Jual Beli

Pertanyaan seperti ini sering menjadi acuan oleh sejumlah penimbun komoditas, khususnya bahan makanan bilamana diberitahu tentang keharaman ihtikâr . Menurut fuqaha’ Syafi‘iyah, Isma‘iliyah dan sebagaian Imamiyah, ihtikâr sebagaimana di atas tidak serta merta diputuskan sebagai haram.

Alasan yang disampaikan adalah ada kontradiksi antara maksud menimbun ini dengan hak seseorang untuk mendapatkan keuntungan melalui jual beli. Illat (alasan dasar) hukum yang menyatakan haramnya ihtikâr adalah bilamana disertai adanya unsur tadlyîq – yaitu mempersulit ruang gerak kaum Muslimin. Selagi tidak ada niatan tadlyîq , maka hukum ihtikâr bahan makanan sebagaimana hal di atas adalah berstatus makruh, demikian menurut kajian fiqih Syafi’i. Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa, pertanyaan pedagang sebagaimana yang diungkapkan pada awal tulisan ini memang ada benarnya.

Zakat Perdagangan – Website Resmi Badan Amil Zakat Nasional

Zakat Harta Dagangan Nu Online. Zakat Perdagangan – Website Resmi Badan Amil Zakat Nasional

“Bab: Zakat hasil usaha dan tijaroh (perdagangan)”, setelah itu beliau rahimahullah membawakan ayat di atas. Barang tersebut bukan termasuk harta yang asalnya wajib dizakati seperti hewan ternak, emas, dan perak. Karena tidak boleh ada dua wajib zakat dalam satu harta berdasarkan kesepakatan para ulama. Barang tersebut sejak awal dibeli diniatkan untuk diperdagangkan karena setiap amalan tergantung niatnya. Nilai barang tersebut telah mencapai salah satu nishob dari emas atau perak, mana yang paling hati-hati dan lebih membahagiakan miskin. Menurut jumhur (mayoritas ulama), nishob yang teranggap adalah pada keseluruhan haul (selama satu tahun).

Menurut jumhur (mayoritas) ulama, zakat perdagangan itu disyariatkan dalam Islam Caranya, yaitu dengan menghitung nilai jumlah ketiga bentuk harta tersebut diatas dikurangi pengeluaran atau kewajiban seperti biaya operasional, utang, pajak, dan lain-lain. Apabila mencapai nishab (senilai 85 gram emas) dan berlalu satu tahun Hijriyah (haul), maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5% dari Jumlah Tersebut.

Namun jika niatan membeli mobil hanya untuk kepentingan pribadi, lalu suatu saat ia jual, maka tidak ada zakat. Jika awal pembelian diniatkan untuk penggunaan pribadi, namun di tengah jalan, mobil tersebut ingin didagangkan atau disewakan (dijadikan ro’sul maal atau pokok harta jual beli), maka tetap terkena wajib zakat jika telah melampaui haul dan nilainya di atas nishob.

Kapan Boleh Menerima Barang dari Orang Berpenghasilan Haram

فائدة لو أخذ من غيره بطريق جائز ما ظن حله وهو حرام باطنا فإن كان ظاهر المأخوذ منه الخير لم يطالب في الآخرة وإلا طولب قاله البغوي. Beliau Syekh Zainuddin al-Malaibary menyebut ada tiga batasan menerima barang dari orang lain sehingga tetap halal bagi penerimanya, yaitu:.

Sebab bila ternyata wujud lahir barang adalah tidak baik (jelas haramnya) karena diperoleh dari cara bathil, maka orang yang menerima pemberian tetap akan mendapatkan tuntutan di akhirat. Syekh Salim Bakri bin Syatha' dalam I'anah al-Thalibin , lebih jauh menjelaskan maksud dari “sesuatu yang diduga halalnya”, sebagai berikut:. Dengan kata lain, Syekh Salim Bakri bin Syatha’ di sini menegaskan bahwa mendapatkan barang dari orang lain yang diduga kehalalannya padahal dalam kenyataannya ia diperoleh dari cara menggashab dan hasil mencuri, atau karena hasil pekerjaan seorang rentenir, asalkan dhahir barang tersebut adalah baik, dan ia tidak mengetahui sisi apakah barang tersebut merupakan bagian yang diperoleh dari cara haram, maka ia kelak tidak akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat.

Namun, bila wujud dhahir barang tersebut adalah tidak baik, maka ia akan dituntut di akhirat, sebagaimana hal ini dijelaskan oleh al-Baghawi. Statemen ini rupanya senada dengan pernyataan Imam Al Ghazali sebagaimana dikutip oleh Syekh Salim bin Syatha', sebagai berikut:. Dan bila kerelaan penjual didasarkan atas dugaanya bahwa harta tersebut adalah halal, maka ia (pembeli) belum dianggap bebas dari tanggungan (masih punya utang).". Bilamana seorang yang digaji, diberi, atau penjual adalah mengetahui bahwasannya pihak pemberi, penggaji atau pembeli mendapatkan hartanya dari cara haram, maka status gaji, pemberian dan harga yang ditunaikan pada dasarnya bukan untuk wafa’i al-maqshud (menepati maksud akad), melainkan berubah statusnya menjadi pemberian semua dari penggaji, pemberi dan pembeli.

Related Posts

Leave a reply