Zakat Fitrah Dengan Uang Menurut 4 Madzhab. Mazhab Hanafiyah merupakan satu-satunya mazhab yang membolehkan membayar zakat fitrah dengan uang. "Mazhab Hanafiyah adalah satu-satunya mazhab yang membolehkan membayar zakat fitrah dengan uang dan itu tidak diaminkan oleh mazhab lain," katanya saat berbincang dengan Republika, Rabu (13/5).
"Tidak sah (zakat fitrah) kurang dari satu sha’ menurut kalangan ulama Madinah di antaranya Imam Malik dan juga selainnya, (zakat fitrah) berupa biji-bijian yang merupakan makanan pokok seluruhnya, tidak sah dengan tepung, bubuk juga roti … dan tidak (boleh) mengganti zakat dengan nilai (uang) menurut ahli Madinah, dan inilah pendapat yang sahih dari Imam Malik dan juga kebanyakan ulama al-Malikiyah.". Tidak boleh (zakat fitrah) dengan roti, tepung, dan juga tidak (boleh) mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk nilai dengan perak atau emas.". Karena itu, jumhur ulama menyebut bahwa wajibnya zakat fitrah adalah makanan pokok.
Ustadz Ahmad mengatakan, terkait dengan hadits terakhir yang tersebut, ulama dari kalangan jumhur tidak ada yang mengatakan bahwa jenis-jenis itu saja yang wajib dizakati, sementara yang lain tidak boleh. Syaratnya makanan pokok karena memang apa yang disebutkan dalam hadits di atas semuanya adalah makanan pokok.
Pada hadits di atas, para sahabat Nabi tidak mengeluarkan zakat fitrah kecuali dalam bentuk makanan. Kebiasaan mereka dalam mengeluarkan zakat fitrah dengan cara demikian merupakan dalil kuat bahwa harta yang wajib dikeluarkan dalam zakat fitrah harus berupa bahan makanan.
Kedua, menurut mazhab Hanafi, zakat fitrah boleh dibayarkan dalam bentuk uang. Pada ayat tersebut, Allah memerintahkan kita untuk menafkahkan sebagian harta yang kita cintai.
Dalam hal zakat fitrah, mengeluarkan zakat dalam bentuk uang membawa kemaslahatan baik untuk muzakki maupun mustahiq zakat. Kebiasaan Rasul sallallahu ala’ihi wasallam dan para sahabat dalam menunaikan zakat fitrah dalam bentuk bahan makanan, merupakan dalil yang kuat akan tidak bolehnya berzakat dengan selain bahan makanan.
SETIAP umat Islam dianjurkan untuk memberikan sedekah dari sebagian rezeki yang dikaruniakan Allah swt kepadanya, sebagaimana termaktub dalam Alquran dan hadis. Zakat merupakan sebuah ibadah sosial yang dapat menyuburkan rasa kepedulian dan kebersamaan di antara sesama umat Islam.
Menurut ulama fiqh, zakat fitrah diartikan, kadar tertentu dari makanan pokok yang wajib ditunaikan oleh setiap umat Islam pada malam Idul Fitri. Menurut Waqi’ bin Jarah, zakat fitrah bagi puasa bulan ramadhan adalah seperti sujud sahwi terhadap shalat. Ulama mazhab juga berbeda pendapat pada memahami ukuran 1 (satu) sha’ yang dijadikan takaran untuk zakat fitrah. Namun tulisan ini hanya menyorot sisi mengeluarkan zakat fitrah dengan uang (harga) berdasarkan dinamika mazhab empat. Perbedaan orang-orang tertentu seperti Imam mujtahid dalam memahami teks Alquran dan hadis mendatangkan rahmat untuk umat manusia khususnya Islam.
Dalam hal apa yang harus dikeluarkan dalam zakat fitrah, sebagian besar masyarakat Indonesia menganut pendapat jumhur; yakni dikeluarkan dalam bentuk makanan pokok beras. Ulama sepakat bahwa zakat fitrah itu pada asalnya dikeluarkan dalam bentuk komoditas makanan pokok yang ada di zaman nabi seperti gandum, kurma dan kismis, jammed yang sudah ditegaskan dalam hadits. Dalam hadits Ibnu Umar ra: “Rasullah mewajibkan zakat fitrah di bulan Ramadhan berupa satu sha’ gandum.” (Muttafaq alaih, HR Bukhari no 1432, Muslim no 984). Dalam hadits Abu Said al-Hudri beliau berkata, “Kami mengeluarkan zakat fitrah satu sha’ kurma atau satu sha’dari gandum atau satu sha’ dari jameed (makanan susu kambing yang dikeringkan) atau satu sha’dari kismis.” (Muttafaq alaihi, Bukhari no 1435, Muslim no 985). Pendapat pertama: tidak dibolehkan mengeluarkan zakat fitrah berupa uang senilai kadar zakat fitrah. Tidak sah mengeluarkan zakat fitrah dengan lainnya.
Tidak sah zakat fitrah dengan uang senilai. Jika mampu dengan komoditas itu, maka tidak boleh beralih dengan lainnya, baik dengan makanan lain atau nilai. Pendapat kedua: boleh mengeluarkan zakat fitrah berupa uang senilai dengan kadar 1 sha’ gandum jenis tertentu atau setengah sha’ untuk jenis gandum lebih baik.
Ini pendapat Hanafi. Sebenarnya, ada yang pendapat tengah-tengah yakni pendapat Ibnu Taimiyah. Jika tidak ada kondisi yang mengharuskan maka tidak boleh dengan uang.
Dalam nash ditentukan zakat fitrah dalam bentuk bahan makanan pokok mentah atau minimal semi olahan seperti tepung, maka tidak dibolehkan beralih atau menggantinya dalam bentuk lain yang senilai seperti uang atau makanan olahan lain. Hal itu disimpulkan oleh Hanafi dalam beberapa penjelasannya dari hadits-hadits nabi yang menjelaskan bahwa zakat fitrah itu bertujuan mencukupi kebutuhan fakir miskin atau agar mereka ikut bergembira bersama umat Islam lain di hari fitri.
Untuk mewujudkan tujuan itu, menurut Hanafi tidak mesti dengan bahan makanan pokok, namun bisa dengan uang. Misalnya, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa jika tidak ada kondisi yang mendorong untuk dibayar dengan uang, zakat fitrah tidak perlu dibayarkan dengan uang.
Pendapat Jumhur. Jumhur menjawab: jika jenis-jenis itu tidak bermaksud membatasi, maka tetap saja jenis itu diutamakan atas yang lain selama tidak ada maslahat jika dikeluarkan dalam bentuk uang yang senilai. Membayar zakat fitrah dengan uang senilai dianggap keluar dari yang ditegaskan dalam nash sehingga seperti mengeluarkan yang buruk sebagai ganti dari yang baik. Nabi mewajibkan zakat fitrah dari berbagai jenis makan (gandum, kurma, kismis, jameed) dengan berbeda-beda nilainya, ini berarti Nabi menginginkan komoditas tersebut di dalam nash. Jika uang senilai dengan komoditas itu maka niscaya Nabi hanya menyebutkan satu jenis saja atau yang setara dengan nilai jenis lainnya. Jumhur mengiaskan jaman mereka dengan jaman Nabi dan mereka mengira bahwa komoditas-komoditas yang ditegaskan di dalam nash berbeda-beda nilainya di masa nabi juga membutuhkan nash lain yang jelas.
Selain itu, klaim berbeda-beda nilai dari komoditas itu tidak bisa diterima sebab nabi membedakan komoditas-komoditas tersebut dan tidak menyamakannya. Hakikatnya yang wajib dalam zakat fitrah adalah mencukupi atau memberikan kecukupan kebutuhan fakir berdasarkan sabda Nabi shallahu alaihi wasallam, “Cukupi mereka dari meminta-minta di hari seperti ini.” (HR. Selain itu, memberikan kecukupan bisa dengan harta (uang) juga dengan makanan.
Jika dibolehkan membayar zakat dengan nilai (uang) dalam zakat komoditas-komoditas yang wajib, maka dibolehkanya dibayar dengan uang senilai dalam zakat fitrah lebih utama (pembolehannya). Tujuan syariat mengharuskan perintah di jaman nabi untuk mengeluarkan zakat berupa makanan pokok agar semua orang bisa menjalankan kewajiban itu dan tidak menyulitkan dan memberatkan. Sementara saat itu yang paling mudah bagi setiap orang adalah dalam bentuk bahan makanan (komoditas) pokok. Dalam kurma dan gandum, beliau mewajibkan cukup dengan satu sha’dan dalam burr (gandum jenis lebih berkualitas) setengah sha’ karena harganya lebih mahal karena di Madinah saat itu stok terbatas.
Nabi shallahu alaihi wasallam mengatakan kepada kaum perempuan di hari Idul Fitri “Bersedekahlah meski dari perhiasan kalian” (HR. Berbeda dengan zaman nabi, dimana memberikan makanan di masa itu adalah lebih baik karena itu paling disukai.
Sanggahan jumhur: tidak boleh mengeluarkan zakat fitrah berupa uang senilai kadar zakat fitrah (satu sha’makanan) sebab tidak mungkin komoditas makanan itu tidak bermanfaat benar-benar bagi fakir miskin. Ibnu Taimiyah berkata: Adapun mengeluarkan zakat dengan uang senilai kadar zakat dan kaffarat – atau semisalnya – jika tidak ada alasan kebutuhan atau kemasalahatan yang pasti maka hal itu dilarang.