Waktu Mengeluarkan Zakat Biji-bijian Adalah. Jenis Biji-Bijian & Buah-Buahan yang Terkena Zakat. Tidak ada khilaf (perselisihan) di antara ulama bahwa jenis biji-bijian berupa gandum sya’ir dan gandum burr (hinthah)[1], serta jenis buah-buahan berupa kurma kering (tamr) dan kismis (zabib) terkena kewajiban zakat. Hadits ini mengkhususkan keumuman dalil-dalil yang bersifat umum bahwa hal itu terbatas hanya pada empat jenis hasil tanaman tersebut. “Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah apa-apa yang baik dari penghasilanmu dan dari apa-apa yang Kami keluarkan untuk kalian dari bumi.” (al-Baqarah: 267). “Tanaman yang diairi dengan air sungai dan air hujan zakatnya sepersepuluh, sedangkan tanaman yang pengairannya dengan as-saniyah[4] zakatnya seperdua puluh.” (HR. “Tidak ada zakat pada hasil tanaman yang takarannya kurang dari lima wasaq.” (HR.
Ini adalah pendapat Ibnu Umar, al-Hasan al-Bashri, Ibnu Sirin, Ibnul Mubarak, Sufyan ats-Tsauri, Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam, salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan dipilih oleh asy-Syaukani, ash-Shanani, al-Albani, dan guru besar kami al-Wadii. Pendapat ini juga berdalilkan dengan hadits Abu Musa al-Asy’ari dan Muadz bin Jabal radhiallahu anhuma di atas, dengan pemahaman bahwa hadits ini menunjukkan pembatasan pada hasil tanaman yang sifatnya seperti empat jenis hasil tanaman tersebut, yaitu yang bersifat sebagai makanan pokok sehari-hari. Menurut pendapat ini, beras dan jagung terkena zakat. Adapun buah-buahan, dalam pandangan asy-Syafii dan Malik, tidak ada yang terkena zakat kecuali kurma kering dan kismis. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan dalam asy-Syarhul Mumti’ (6/76) bahwa 1 sha’ Nabi shallallahu alaihi wa sallam senilai dengan 2,04 kg gandum burr berkualitas bagus. Kulit seperti ini tidak masuk dalam perhitungan nisab.
Jika takaran biji jagung bersama kulitnya mencapai 300 sha’, berarti mencapai nisab dan terkena zakat. Para ulama pun mengatakan bahwa bijinya mencapai nisab jika takarannya bersama bijinya mencapai sepuluh wasaq, yaitu 600 sha’. Jika takaran biji beras atau ‘alas bersama kulitnya mencapai 600 sha’, berarti mencapai nisab dan terkena zakat.
Jadi, gandum sya’ir, gandum hinthah, dan beras (menurut pendapat yang menganggap beras terkena zakat)—misalnya—tidak disatukan dalam perhitungan nisab dan zakat. Ketika kurang dari nisab, tidak terkena zakat. Tidak ada waqas pada zakat hasil tanaman, yaitu kelebihan dari nisab yang tidak terkena zakat.
Jadi cara mengeluarkan zakatnya adalah 1/10 atau 1/20 dari seluruh takaran yang ada. Hal ini merupakan waktu wajibnya zakat pada tanaman menurut pendapat yang rajih.
Namun, tidak berarti zakatnya wajib dikeluarkan saat itu, karena hal itu bukan waktu wajibnya pembayaran zakat. Jika dia menjual tanahnya bersama tanamannya sebelum waktu wajibnya zakat, dia tidak terkena kewajiban zakat dan yang terkena kewajiban zakat adalah pembelinya[6]. Hal itu tidak ada kaitannya dengan ahli zakat. Kadar (ukuran) zakat hasil tanaman yang wajib dikeluarkan telah diatur oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam beberapa hadits. Di antaranya, hadits Ibnu Umar radhiallahu anhuma dalam Shahih al-Bukhari dan hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu dalam Shahih Muslim yang telah disebutkan di atas, hadits Ibnu Umar radhiallahu anhuma dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah dan Sunan al-Baihaqi yang telah kami sebutkan pada Syarat-Syarat Wajibnya Zakat. Pada hadits-hadits tersebut, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membagi dua kadar zakat yang wajib dikeluarkan sesuai dengan cara pengairannya.
Tanaman yang wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 1/10 dari seluruh hasil tanaman yang ada, yaitu tanaman yang diairi tanpa alat pengangkut air dan beban biaya yang besar. Tanaman yang wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 1/20 dari seluruh hasil tanaman yang ada, yaitu tanaman yang diairi dengan bantuan alat pengangkut air dan beban biaya yang besar.
Hal ini disebutkan pada hadits Ibnu Umar radhiallahu anhuma dalam Shahih al-Bukhari dan hadits Jabir radhiallahu anhu dalam Shahih Muslim. Hal ini disebutkan pada hadits Ibnu Umar radhiallahu anhuma dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah dan Sunan al-Baihaqi. “Jika air sungai mengalir melalui saluran air menuju suatu tempat yang jaraknya dekat dari tanaman dan tertampung di tempat itu, kemudian air tersebut harus diangkut ke tanaman dengan bantuan timba atau kincir air, hal ini merupakan beban biaya yang menggugurkan setengah kadar zakat yang wajib dikeluarkan (dari sepersepuluh menjadi seperdua puluh). [2] Al-Albani rahimahullah mengingatkan bahwa dalam hadits ini ada tambahan riwayat yang mungkar, yaitu lafaz الذُّرَةِ artinya ‘jagung’.
Dinamakan juga dengan as-saniyah seperti pada hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu setelahnya. [4] Lihat catatan kaki sebelumnya.
Hasil pertanian wajib dikenai zakat. “Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Dalil-dalil di atas menunjukkan wajibnya zakat hasil pertanian yang dipanen dari muka bumi, namun tidak semuanya terkena zakat dan tidak semua jenis terkena zakat.
Dari Al Harits dari Ali, beliau mengatakan, “Zakat (pertanian) hanya untuk empat komoditi: Burr (gandum halus), jika tidak ada maka kurma, jika tidak ada kurma maka zabib (kismis), jika tidak ada zabib maka sya’ir (gandum kasar).”[HR. Kedua, jumhur (mayoritas) ulama meluaskan zakat hasil pertanian ini pada tanaman lain yang memiliki ‘illah (sebab hukum) yang sama. Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa zakat hasil pertanian itu ada pada tanaman yang dapat disimpan.
Sedangkan pendapat Abu Hanifah adalah pendapat yang lemah dengan alasan beberapa dalil berikut, dari Mu’adz, ia menulis surat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya mengenai sayur-sayuran (apakah dikenai zakat). Dalil yang mendukung pendapat jumhur adalah hadits, “Tidak ada zakat bagi tanaman di bawah 5 wasaq.”[HR. Sebagian ulama menyatakan bahwa satu sho’ kira-kira sama dengan 2,4 kg [Lihat Al Wajiz Al Muqorin, hal.
Namun yang tepat jika kita ingin mengetahui ukuran satu sho’ dalam timbangan (kg) tidak ada ukuran baku untuk semua benda yang ditimbang. Taruhlah jika kita menganggap 1 sho’ sama dengan 2,4 kg, maka nishob zakat tanaman = 5 wasaq x 60 sho’/ wasaq x 2,4 kg/ sho’ = 720 kg. Dari sini, jika hasil pertanian telah melampaui 1 ton (1000 kg), maka sudah terkena wajib zakat.
Kadar Zakat Hasil Pertanian. Pertama, jika tanaman diairi dengan air hujan atau dengan air sungai tanpa ada biaya yang dikeluarkan atau bahkan tanaman tersebut tidak membutuhkan air, dikenai zakat sebesar 10%.
Kedua, jika tanaman diairi dengan air yang memerlukan biaya untuk pengairan misalnya membutuhkan pompa untuk menarik air dari sumbernya, seperti ini dikenai zakat sebesar 5%. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tanaman yang diairi dengan air hujan atau dengan mata air atau dengan air tada hujan, maka dikenai zakat 1/10 (10%).
Sedangkan tanaman yang diairi dengan mengeluarkan biaya, maka dikenai zakat 1/20 (5%).” [HR. Catatan: Hitungan 10% dan 5% adalah dari hasil panen dan tidak dikurangi dengan biaya untuk menggarap lahan dan biaya operasional lainnya.
Contoh, hasil panen padi yang diairi dengan mengeluarkan biaya sebesar 1 ton. Zakat yang dikeluarkan adalah 10% dari 1 ton, yaitu 100 kg dari hasil panen.
Kapan Zakat Hasil Pertanian Dikeluarkan ? Dalam zakat hasil pertanian tidak menunggu haul, setiap kali panen ada kewajiban zakat.
Zakatnya diambil ketika telah menjadi anggur kering (kismis) sebagaimana zakat kurma diambil setelah menjadi kering.” [HR. Walau hadits ini dho’if (dinilai lemah) namun telah ada hadits shahih yang disebutkan sebelumnya yang menyebutkan dengan lafazh zabib (anggur kering atau kismis) dan tamr (kurma kering). Maka zakatnya adalah 500 kg beras atau Rp5.000.000,-.
Dalam hal apa yang harus dikeluarkan dalam zakat fitrah, sebagian besar masyarakat Indonesia menganut pendapat jumhur; yakni dikeluarkan dalam bentuk makanan pokok beras. Ulama sepakat bahwa zakat fitrah itu pada asalnya dikeluarkan dalam bentuk komoditas makanan pokok yang ada di zaman nabi seperti gandum, kurma dan kismis, jammed yang sudah ditegaskan dalam hadits. Dalam hadits Ibnu Umar ra: “Rasullah mewajibkan zakat fitrah di bulan Ramadhan berupa satu sha’ gandum.” (Muttafaq alaih, HR Bukhari no 1432, Muslim no 984). Dalam hadits Abu Said al-Hudri beliau berkata, “Kami mengeluarkan zakat fitrah satu sha’ kurma atau satu sha’dari gandum atau satu sha’ dari jameed (makanan susu kambing yang dikeringkan) atau satu sha’dari kismis.” (Muttafaq alaihi, Bukhari no 1435, Muslim no 985).
Pendapat pertama: tidak dibolehkan mengeluarkan zakat fitrah berupa uang senilai kadar zakat fitrah. Tidak sah mengeluarkan zakat fitrah dengan lainnya. Tidak sah zakat fitrah dengan uang senilai. Jika mampu dengan komoditas itu, maka tidak boleh beralih dengan lainnya, baik dengan makanan lain atau nilai. Pendapat kedua: boleh mengeluarkan zakat fitrah berupa uang senilai dengan kadar 1 sha’ gandum jenis tertentu atau setengah sha’ untuk jenis gandum lebih baik. Ini pendapat Hanafi.
Sebenarnya, ada yang pendapat tengah-tengah yakni pendapat Ibnu Taimiyah. Jika tidak ada kondisi yang mengharuskan maka tidak boleh dengan uang. Dalam nash ditentukan zakat fitrah dalam bentuk bahan makanan pokok mentah atau minimal semi olahan seperti tepung, maka tidak dibolehkan beralih atau menggantinya dalam bentuk lain yang senilai seperti uang atau makanan olahan lain. Hal itu disimpulkan oleh Hanafi dalam beberapa penjelasannya dari hadits-hadits nabi yang menjelaskan bahwa zakat fitrah itu bertujuan mencukupi kebutuhan fakir miskin atau agar mereka ikut bergembira bersama umat Islam lain di hari fitri.
Untuk mewujudkan tujuan itu, menurut Hanafi tidak mesti dengan bahan makanan pokok, namun bisa dengan uang. Misalnya, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa jika tidak ada kondisi yang mendorong untuk dibayar dengan uang, zakat fitrah tidak perlu dibayarkan dengan uang. Pendapat Jumhur. Jumhur menjawab: jika jenis-jenis itu tidak bermaksud membatasi, maka tetap saja jenis itu diutamakan atas yang lain selama tidak ada maslahat jika dikeluarkan dalam bentuk uang yang senilai.
Membayar zakat fitrah dengan uang senilai dianggap keluar dari yang ditegaskan dalam nash sehingga seperti mengeluarkan yang buruk sebagai ganti dari yang baik. Nabi mewajibkan zakat fitrah dari berbagai jenis makan (gandum, kurma, kismis, jameed) dengan berbeda-beda nilainya, ini berarti Nabi menginginkan komoditas tersebut di dalam nash. Jika uang senilai dengan komoditas itu maka niscaya Nabi hanya menyebutkan satu jenis saja atau yang setara dengan nilai jenis lainnya.
Jumhur mengiaskan jaman mereka dengan jaman Nabi dan mereka mengira bahwa komoditas-komoditas yang ditegaskan di dalam nash berbeda-beda nilainya di masa nabi juga membutuhkan nash lain yang jelas. Selain itu, klaim berbeda-beda nilai dari komoditas itu tidak bisa diterima sebab nabi membedakan komoditas-komoditas tersebut dan tidak menyamakannya. Hakikatnya yang wajib dalam zakat fitrah adalah mencukupi atau memberikan kecukupan kebutuhan fakir berdasarkan sabda Nabi shallahu alaihi wasallam, “Cukupi mereka dari meminta-minta di hari seperti ini.” (HR.
Selain itu, memberikan kecukupan bisa dengan harta (uang) juga dengan makanan. Jika dibolehkan membayar zakat dengan nilai (uang) dalam zakat komoditas-komoditas yang wajib, maka dibolehkanya dibayar dengan uang senilai dalam zakat fitrah lebih utama (pembolehannya). Tujuan syariat mengharuskan perintah di jaman nabi untuk mengeluarkan zakat berupa makanan pokok agar semua orang bisa menjalankan kewajiban itu dan tidak menyulitkan dan memberatkan. Sementara saat itu yang paling mudah bagi setiap orang adalah dalam bentuk bahan makanan (komoditas) pokok. Dalam kurma dan gandum, beliau mewajibkan cukup dengan satu sha’dan dalam burr (gandum jenis lebih berkualitas) setengah sha’ karena harganya lebih mahal karena di Madinah saat itu stok terbatas. Nabi shallahu alaihi wasallam mengatakan kepada kaum perempuan di hari Idul Fitri “Bersedekahlah meski dari perhiasan kalian” (HR.
Berbeda dengan zaman nabi, dimana memberikan makanan di masa itu adalah lebih baik karena itu paling disukai. Sanggahan jumhur: tidak boleh mengeluarkan zakat fitrah berupa uang senilai kadar zakat fitrah (satu sha’makanan) sebab tidak mungkin komoditas makanan itu tidak bermanfaat benar-benar bagi fakir miskin.
Ibnu Taimiyah berkata: Adapun mengeluarkan zakat dengan uang senilai kadar zakat dan kaffarat – atau semisalnya – jika tidak ada alasan kebutuhan atau kemasalahatan yang pasti maka hal itu dilarang.
Kadar zakat untuk hasil pertanian, apabila diairi dengan air hujan, atau sungai/mata/air, maka 10%, apabila diairi dengan cara disiram / irigasi (ada biaya tambahan) maka zakatnya 5%. Pada sistem pertanian saat ini, biaya tidak sekadar air, akan tetapi ada biaya lain seperti pupuk, insektisida, dll.
Dalam zakat hasil pertanian tidak menunggu haul, setiap kali panen ada kewajiban zakat. Kewajiban zakat disyaratkan ketika biji tanaman telah keras (matang), demikian pula tsimar (seperti kurma dan anggur) telah pantas dipetik (dipanen).
Sebelum waktu tersebut tidaklah ada kewajiban zakat.