Orang Yang Berhutang (gharim) Berhak Menerima Zakat Fitrah. Alasan mereka gugur untuk menunaikan bayar zakat disebabkan oleh adanya hutang yang belum mampu melunasi kewajiban hutangnya. Orang yang berutang untuk kepentingan pribadi, namun tidak melanggar ketentuan agama Islam atau hal buruk dengan syarat ia bertaubat terlebih dahulu;.
Hal inilah yang menjadi syarat bagi seseorang untuk disebut sebagai gharim menurut Madzhab Maliki dan Hanafi. Serupa dengan pendapat sebelumnya, gharim adalah orang yang memiliki utang namun tidak mempunyai harta benda.
Umumnya, hal ini terjadi ketika seseorang tertimpa musibah bencana alam yang mengakibatkan kehilangan sejumlah harta benda. Zakat merupakan cara umat Islam dan ibadah untuk semakin merekatkan hubungan antar sesama dengan membantu kesulitan orang lain, termasuk mereka yang tidak mampu membayar utang.
Menurut fikih, membantu orang yang berutang dengan harta zakat, berarti telah mencapai dua tujuan utama, yaitu:. Sebab, dampak dari adanya utang bukan hanya menyangkut ketentraman pribadi saja, namun juga perjalanan akhlak dan hidupnya.
Gharim adalah orang yang berutang dan menjadi salah satu golongan penerima zakat. Pengertian gharim ada dalam Al Quran Surat At Taubah ayat 60:. Dikutip dari situs Baitul Mal Aceh, golongan gharimin ditentukan berdasarkan pendapat ulama mazhab dan tafsir. Pengertian gharim adalah orang yang berutang dijelaskan kembali dengan detail.
Gharim atau gharimin adalah orang berutang yang tidak punya harta lebih dari hutangnya. Mereka yang menerima zakat tidak boleh berutang akibat judi, alkohol, atau keperluan maksiat lainnya.
Dalam mazhab ini, gharim adalah muslim yang berutang dan digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu:. Mereka juga tidak berutang karena aktivitas maksiat yang dilarang aturan agama dan sosial.
Menurut ulama ini, makna gharim adalah orang berhutang yang tidak sanggup membayarnya. Dengan penjelasan ini, semoga pengertian gharim adalah tidak bikin sahabat hikmah bingung lagi ya.
fullrecord
contents Skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Penyaluran Zakat Fitrah di desa Lukun dan desa Batinsuir Kecamatan Tebingtinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti Ditinjau Menurut Pespektif Hukum Islam”, ditulis berdasarkan latar belakang fakta yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, yang mengatakan bahwa masjid termasuk kepada delapan asnap zakat, mereka memasukan masjid sebagai asnap zakat ke dalam kategori gharim. Menurut hemat penulis hal-hal seperti ini sangatlah bertolak belakang dengan yang telah dijelaskan oleh Allah Swt, dalam surah At-Taubah ayat 60, bahwa yang berhak menerima zakat fitrah semuanya adalah menujukan kepada “orang” bukan kepada benda-benda. untuk mengatasi itu semua maka islam memberi solusi yaitu gharim adalah salah satu asnap zakat.
Tidak semua orang yang punya utang dapat dikategorikan ke dalam deretan al-gharimin. REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salam pembaca, mulai pekan ini dan selama bulan Ramadhan, redaksi akan menayangkan tanya jawab seputar zakat bersama Bapak Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, selaku Ketua Dewan Penasehat Syariah Dompet Dhuafa. Ustaz, saya ingin bertanya mengenai mustahik zakat, yaitu ‘al-gharimin’ atau orang yang berhutang.
Bukankah rumah, kendaraan bahkan banyak benda-benda kecil seperti handphone saat ini dapat kita beli dengan sistem mencicil alias kredit? Tidak semua orang yang punya utang dapat dikategorikan ke dalam deretan al-gharimin yang karenanya maka automatically menjadi mustahik dan karenanya lalu boleh dibayar/dilunasi utangnya dengan dana zakat Sebagaimana termaktub dalam Alquran (surat al-Taubah (9): 60). Untuk orang-orang yang memiliki utang semata-mata karena kredit untuk kepentingan harta yang kelak akan dia miliki seperti kredit rumah, kendaraan, dan lain-lain sebagaimana banyak terjadi di masyarakat kita dewasa ini, maka itu tidak serta merta menjadi al-gharimin yang berhak menerima dana zakat untuk membayar/melunasi utangnya. Sebab, selain yang bersangkutan masih tetap tergolong ke dalam deretan oang-orang yang mampu dalam pengertian masih memiliki harta, juga mengingat semua yang dia kredit itu pada akhirnya akan menjadi hak milik pribadinya begitu kredit dinyatakan lunas.
Jika hutang tersebut disebabkan maksiat seperti judi, minum khamr, berbuat tabdzîr dan boros, maka ia tidak diberi uang zakat. Karena termasuk maksiat, maka yang terlilit hutang ribawi, ia tidak boleh diberi zakat untuk melunasinya, kecuali jika bertaubat.
Akan tetapi bagi yang terpaksa berhutang dengan system riba untuk kebutuhan pokok, seperti sandang papan atau pangan, maka baitul mal boleh memberikannya zakat. Menurut penyusun kitab Abhâtsun fi Qadâyâz Zakât, hukum yang benar dalam masalah ini yaitu bila hutangnya banyak dan dia kesulitan sekali untuk melunasinya maka ia boleh menerima zakat walaupun ia masih mampu bekerja. Akan tetapi sebaliknya, jika hutangnya sedikit atau pihak pemberi hutangan memberikan tambahan waktu maka hendaknya ia tidak mengambil zakat dan berusaha untuk melunasinya (sendiri).
Ibnu Muflih rahimahullah berpendapat, “Hukum yang nampak dari hadits Qabishah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa gharim boleh mengambil zakat walaupun belum jatuh tempo.” (Darul Kutubil Ilmiyyah). Namun Imam Nawawi rahimahullah menyatakan bahwa gharim tidak boleh diberi zakat kecuali setelah jatuh Tempo. Apabila gharîm berada dalam tanggungan muzakki seperti istri atau kerabat lain, maka zakat yang diberikan kepada orang-orang ini tidak sah. Bila kita amati dengan cermat, syariat Islam yang sempurna ini ternyata merupakan solusi terbaik dalam rangka menciptakan stabilitas ekonomi umat, di samping niat yang utama adalah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dan menjalin ukhuwah Islamiyah di antara kaum Muslimin.