Jelaskan Pembayaran Zakat Fitrah Menurut Jumhur Ulama. Menurut mazhab Hanafi pembayaran zakat fitrah dapat dilakukan dengan membayarkan harganya dari makanan pokok yang dimakan. “Rasulullah saw mewajibkan zakat fitrah satu sha’ kurma atau gandum pada budak, orang merdeka, lelaki perempuan, anak kecil dan orang dewasa dari ummat Islam dan memerintahkan untuk membayarnya sebelum mereka keluar untuk sholat (‘iid ).
Menurut pendapat beberapa mujtahid (Malik, Syafi’i, ahmad, dan Ishaq) bahwa yang wajib mengeluarkan zakat fitrah adalah orang yang memiliki kelebihan (makanan atau nilai dalam uang) dari keperluannya di malam hari raya. “Mulailah dengan dirimu, kemudian jika ada kelebihan maka berilah untuk ahlimu”. Menurut hadits di atas bahwa kadar fitrah adalah satu sha’ (segantang) makanan. “Barang siapa mengeluarkan (fitrah) sebelum bersembahyang hari raya, maka itulah zakat yang diterima, an barang siapa mengeluarkannya sesudah sembahyang hari raya, maka pengeluarannya itu dipandang satu sedekah saja”. Waktu wajib membayar zakat fitrah yaitu ditandai dengan tenggelamnya matahari di akhir bulan Ramadhan sampai menjelang shalat hari raya. Besarnya fidyah adalah senilai dengan porsi ‘makan sempurna’ yang biasa dimakannya untuk mengganti satu hari puasa yang ditinggalkan dan sebaiknya dibayarkan pada hari dimana dia meninggalkan puasa tersebut.
SETIAP umat Islam dianjurkan untuk memberikan sedekah dari sebagian rezeki yang dikaruniakan Allah swt kepadanya, sebagaimana termaktub dalam Alquran dan hadis. Zakat merupakan sebuah ibadah sosial yang dapat menyuburkan rasa kepedulian dan kebersamaan di antara sesama umat Islam.
Menurut ulama fiqh, zakat fitrah diartikan, kadar tertentu dari makanan pokok yang wajib ditunaikan oleh setiap umat Islam pada malam Idul Fitri. Setiap umat Islam wajib mengeluarkan sebagian dari makanan pokok setelah mengerjakan ibadah puasa Ramadhan setiap tahunnya, sebagaimana firman Allah Swt, “Sungguh, orang-orang yang beriman, mengerjakan kebaikan, melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala disi Tuhannya...” (QS. Menurut Waqi’ bin Jarah, zakat fitrah bagi puasa bulan ramadhan adalah seperti sujud sahwi terhadap shalat.
Ulama mazhab juga berbeda pendapat pada memahami ukuran 1 (satu) sha’ yang dijadikan takaran untuk zakat fitrah. Namun tulisan ini hanya menyorot sisi mengeluarkan zakat fitrah dengan uang (harga) berdasarkan dinamika mazhab empat. Perbedaan orang-orang tertentu seperti Imam mujtahid dalam memahami teks Alquran dan hadis mendatangkan rahmat untuk umat manusia khususnya Islam.
Jumhur ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah merupakan yang secara keras menentang pergantian zakat fitrah menjadi uang. Penarikan kesimpulan hukum seperti ini tidak menjadi kendala karena pada dasarnya ulama yang membolehkan membayar zakat fitrah dengan jenis makanan yang tidak disebutkan di dalam hadis (makanan pokok suatu negeri) adalah hasil ijtihad atas nash, bukan nash itu sendiri. Begitu juga kebolehan membayar zakat fitrah dengan uang pun adalah hasil ijtihad yang sah dan memenuhi syarat.
Dari sisi inilah yang menjadikan syari’at walaupun teksnya terbatas, namun dapat beradaptasi dengan semua lingkungan dan abadi di sepanjang zaman. Penulis adalah alumni Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Tazkia Bogor dan Pascasarjana UIN Antasari Banjarmasin yang berhasil mendapatkan predikat wisudawan terbaik saat lulus. Thesisnya yang berjudul Sharia Law of Tax Amnesty in Perspective of the South Kalimantan Muslim Economists dapat dilihat di jurnal dengan DOI: http://dx.doi.org/10.18592/sy.v18i2.2220.
Zakat Fitrah disyariatkan bersamaan dengan disyariatkannya puasa Ramadhan, yaitu pada tahun kedua Hijriyah. Zakat fitrah boleh dikeluarkan mulai awal Ramadhan sampai menjelang pelaksanaan shalat Idul Fitri. Terkait hukum membayar zakat fitrah dalam bentuk uang, para ulama juga berbeda pendapat.
Pada hadits di atas, para sahabat Nabi tidak mengeluarkan zakat fitrah kecuali dalam bentuk makanan. Mereka juga berargumentasi, zakat fitrah merupakan ibadah yang diwajibkan atas jenis harta tertentu sehingga tidak boleh dibayarkan dalam bentuk selain jenis harta dimaksud, sebagaimana tidak boleh menunaikannya di luar waktu yang sudah ditentukan. Di samping itu, mereka juga berargumen bahwa menjaga kemaslahatan merupakan hal prinsip dalam hukum Islam. Sedangkan bagi mustahiq, dengan uang tersebut ia bisa membeli keperluan yang mendesak pada saat itu.
Akan tetapi, jika membayar dalam bentuk bahan makanan dianggap berat, dan ada hajat mendesak serta maslahat nyata untuk berzakat menggunakan uang maka diperbolehkan bertaqlid kepada mazhab Hanafi.