Bolehkah Ustadz Menerima Zakat Nu Online. Sebutan ini tidak berlebihan karena faktanya hampir di setiap daerah, mulai dari perkotaan sampai pedesaan, terdapat banyak pesantren. Apalagi, sebagian santri sebenarnya sudah dewasa dan tidak lagi ditanggung biaya mereka oleh kedua orang tuanya.
Menurut sebagian ulama, dibolehkan membantu santri ataupun pelajar agama dengan cara berzakat kepadanya, supaya mereka tetap fokus belajar dan ilmunya dapat bermanfaat bagi orang banyaknya. “Ulama berkata, ‘Apabila seorang mampu mendapatkan pekerjaan yang layak dan sesuai dengan kemampuannya, tetapi dia mengurungkan niat bekerja karena sibuk belajar agama; sebab kalau bekerja, dia tidak bisa fokus belajar dan tidak mendapatkan ilmu, maka dibolehkan memberikan zakat kepadanya.
Dibolehkan memberi zakat kepada pelajar agama, baik santri ataupun mahasiswa, selama mereka rajin belajar dan diharapkan ilmunya bermanfaat untuk orang banyak.
Jumhur ulama sepakat (tidak ada khilaf), maksudadalah adalah(mereka yang pernah berperang dan tidak mendapatkan imbalan dari negara, seperti veteran perang kemerdekaan Laskar Hizbullah zaman Hindia Belanda).Santri atau ustadz TPQ bisa menerima zakat jika masuk sebagai salah satuzakat yang 8(golongan). Maka, dalam posisi ini, dia statusnya bukan Sabilillah.Ulama Syafiiyyah yang membolehkan ustadz atau santri menerima zakat atas nama Sabilillah hanya Imam Al-Qoffal, yang dianggap sangat lemah argumentasinya oleh(mayoritas ulama).Para(ahli tafsir) tidak ada yang menerjemahkan kata "" dalam Al-Qur'an sebagai(penempuh jalan kebajikan) seperti pengelola masjid, kiai, ustadz maupun santri.Baca:Referensi atas jawaban di atas silakan baca di Bukuyang ditulis oleh Abu Naufal Muhammad Maimun Al-Banary.
Hal yang patut dipertanyakan tentang golongan yang berhak menerima zakat ini, apakah mencakup terhadap keluarga dari orang yang membayar zakat (muzakki) sehingga boleh bagi mereka untuk menerima zakat dengan wujudnya salah satu dari delapan sifat di atas, atau tidak mencakup terhadap keluarga dari orang yang membayar zakat? Jika yang dimaksud keluarga dari pihak muzakki (orang yang membayar zakat) adalah orang yang wajib dinafkahi oleh muzakki, maka tidak boleh baginya untuk memberikan zakat kepada mereka.
Kedua, dengan memberikan zakat pada orang tua atau anaknya, maka akan memberikan kemanfaatan pada muzakki, yakni tercegahnya kewajiban nafkah pada orang tua atau anaknya, karena sudah tercukupi oleh harta zakat, seandainya hal demikian diperbolehkan. Jika mereka termasuk dari selain tiga golongan tersebut, maka dalam hal ini boleh bagi mereka untuk menerima zakat. Artinya, “Tidak boleh memberikan zakat kepada orang yang wajib untuk menafkahinya dari golongan kerabat dan para istri atas dasar bagian orang-orang fakir. Para ashab berkata, ‘Tidak boleh bagi seseorang untuk memberikan zakat pada anaknya dan juga tidak pada orang tuanya yang wajib untuk dinafkahi, dari bagian orang fakir miskin karena dua alasan.
قال أصحابنا ويجوز أن يدفع إلى ولده ووالده من سهم العاملين والمكاتبين والغارمين والغزاة إذا كانا بهذه الصفة ولا يجوز أن يدفع إليه من سهم المؤلفة ان كان ممن يلزمه نفقته لأن نفعه يعود إليه وهو إسقاط النفقة فإن كان ممن لا يلزمه نفقته جاز دفعه إليه. Sedangkan ketika keluarga yang akan diberi zakat adalah keluarga yang tidak wajib dinafkahi oleh muzakki, seperti saudara kandung, paman, bibi, anak atau orang tua yang sudah tidak wajib dinafkahi dan para kerabat yang lain, maka dalam hal ini boleh bagi mereka untuk menerima zakat dari muzakki, meski statusnya masih keluarga.
Sedangkan ketika mereka adalah orang yang wajib dinafkahi oleh muzakki, yaitu istri, anak, dan orang tua, maka mereka dilarang untuk menerima zakat, jika memang pemberian zakat ini atas nama sifat fakir, miskin dan mualaf.
Salah satu buktinya adalah diangkatnya derajat orang yang merawat dan menanggung kebutuhan anak yatim. Memang jika melihat konteks zaman dahulu, anak yatim tidak berhak menerima zakat, sebab mereka mendapat bagian khusus dari harta rampasan perang (ghanimah) sehingga kebutuhan-kebutuhannya dapat tercukupi. “Cabang permasalahan, anak kecil ketika tidak ada orang yang menafkahinya, maka menurut sebagian pendapat (yang lemah) ia tidak boleh diberi zakat, karena sudah tercukupi dengan anggaran dana untuk anak yatim dari harta ghanimah (rampasan). Menurut pendapat ashah (kuat), ia dapat diberi zakat, maka harta zakat diberikan pada pengasuhnya, sebab terkadang tidak ada yang menafkahi anak kecil kecuali dia, dan terkadang pula anak kecil tersebut tidak mendapatkan bagian anggaran dana untuk anak-anak yatim, karena orang tuanya miskin.
Aku berkata: “Urusan harta ghanimah di zaman ini sudah tidak ada lagi di berbagai daerah, karena tidak adilnya para penguasa, maka sebaiknya memastikan bolehnya memberikan zakat pada anak yatim, kecuali anak yatim tersebut tergolong nasab mulia (nasab yang bersambung pada Rasulullah) maka tidak boleh untuk memberinya zakat, meskipun ia tercegah dari bagian seperlima dari seperlimanya harta ghanimah menurut qaul shahih. Sedangkan dalam konteks memberikan harta zakat pada panti asuhan yang menampung banyak anak yatim, perlu diperinci sesuai dengan ketentuan di atas. Jika kebutuhan anak yatim di panti asuhan telah dicukupi oleh para donatur tetap, maka tidak boleh memberi harta zakat pada mereka.
Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, KH Ma'ruf Khozin, menyatakan bahwa boleh hukumnya memberikan daging kurban kepada non-Muslim, asalkan daging yang diberikan sudah dalam keadaan matang dan layak konsumsi. "Jadi, ketika kemudian bermuamalah atau interaksi sosial itu diperbolehkan," jelas Ketua Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur ini.
Lebih lanjut, Kiai Ma'ruf menerangkan daging hasil sembelih hewan kurban baiknya tidak dimakan sendiri atau oleh orang yang berkurban saja, tetapi juga harus dibagikan kepada orang lain yang membutuhkan. "Ini sebagai bentuk pemberian sempurna kepada orang miskin.
Pertanyaan saya, apakah 2,5% tadi apabila diberikan ke orang tua apa terhitung zakat atau shodaqoh saja? Dengan mengacu kepada definisi di atas maka harta-benda yang wajib dizakati (mal zakawi) merupakan harta tertentu, seperti pertanian, emas-perak, perdangan, dan termasuk juga penghasilan.
Dari sini saja kita sudah dapat memahami bahwa seorang anak tidak boleh memberikan zakatnya kepada kedua orang tua. Dengan demikian, pada dasarnya memberikan zakat kepada kedua orang tua hukumnya tidak diperbolehkan.
Dalam hal ini menurut Ibn al-Mundzir bahwa ketidakbolehan memberikan zakat kepada kedua orang tua ketika dalam kondisi dimana si pemberi zakat harus dipaksa untuk memberikan nafkah kepada kedua orang tuanya. Dalam kondisi yang seperti ini jika seorang anak memberikan zakatnya kepada orang tua, maka menjadikan mereka tidak membutuhkan nafkah darinya serta gugurnya kewajiban anak memberikan nafkah kepada orang tua. Berangkat dari penjelasan singkat ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pemberian 2,5 % dari penghasilan—sebagaimana pertanyaan di atas—yang ada diberikan kepada orang tua bukan masuk kategori zakat, tetapi masuk kategori shodaqoh sebagai bentuk ihsan atau berbuat baik kepada kedua orang tua.
Namun jika orang tua ternyata tidak mampu, maka pemberian tersebut bisa dikategorikan sebagai nafkah kepada mereka. Dan sebagai pengingat dari kami, berbuat baiklah kepada kedua orang tua karena merupakan sebuah kewajiban. Dan jangan pernah mengungkit-ungkit pemberian kita kepada orang tua, karena itu akan menyakitkan hati mereka.
Sementara itu, yang dimaksud dengan amil zakat adalah para petugas yang dikirim oleh penguasa (ulil amri Islam) untuk mengunpulkan zakat dari orang-orang yang berkewajiban membayar zakat. Menurut penjelasan Muhammad Fadil Khozin, atau yang akrab dipanggil Gus Fadil menjelaskan bahwa panitia zakat yang tidak ada legalitas dari pemerintah seperti yang dibentuk oleh masjid, Musala dan lembaga sejenisnya, itu namanya amil tabarru' (amil sukarelawan). “Amil Syari atau Asnaf 8 adalah lembaga atau orang yang telah diangkat oleh pemerintah untuk menerima dan mengambil zakat fitrah, tingkat kecamatan, KUA tingkat kota/kabupaten oleh Bupati/Kemenag. “Jadi menurut pendapat ulama yang kedua, ulama atau uastadz yang termasuk Sabilillah jika kiai dan ustadz tersebut tidak ditanggung bayaran setiap bulannya alias tidak digaji oleh pemerintah.
“Karena sudah ada jatah dari pemerintah,” tambah Gus Fadil. Lebih lanjut Gus Fadil juga menjelaskan soal ukuran zakat fitrah yang dianjurkan oleh Nabi adalah satu sho' (empat mud). Namun, yang lebih afdhal adalah 3 kilogram,” katanya.
Ada juga versi Syekh Ali Jumah dalam kitab al-Makayil (Kairo: al-Quds, h. 37) yang mengatakan 2,04 Kg. Di antara beberapa pendapat tersebut masyarakat boleh memilih salah satunya.
Yang cukup menarik adalah pemberian zakat fitrah sekeluarga kepada satu orang mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) saja—jatah zakat tidak diberikan kepada orang lain. Menurut pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’i, zakat, termasuk zakat fitrah untuk setiap jiwa harus diberikan secara merata kepada seluruh golongan mustahiq zakat di daerah setempat. Artinya: Dan tidak boleh meringkas dalam memberi zakat atas jumlah yang kurang dari tiga orang dari setiap golongan mustahiq zakat yang ada delapan, kecuali amil, maka boleh diberikan hanya kepada satu orang jika dengan satu orang tersebut terpenuhi kebutuhan.
Berpijak dari teori tersebut, maka tidak boleh memberikan zakat fitrah sekeluarga kepada satu orang. Menurut pendapat Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad bin Hanbal, zakat—termasuk zakat fitrah—boleh diberikan kepada satu orang mustahiq, tidak wajib diratakan kepada seluruh kelompok penerima (ashnaf), tidak pula harus diberikan kepada minimal tiga orang dari masing-masing ashnaf. Syekh Abu Bakr bin Syatho mengatakan:.
Artinya: Syekh Ibnu Hajar berkata dalam Syarh al-‘Ubab, berkata tiga imam dan banyak ulama (Syafi’iyah), boleh memberikan zakat kepada satu orang dari beberapa ashnaf. Artinya: Tidak ada keraguan bahwa menurut mazhab Syafi’i diwajibkan meratakan mustahiq zakat yang wujud dari beberapa golongan di dalam zakat (mal) dan zakat fitrah. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa zakat fitrah sekeluarga untuk satu orang mustahiq adalah persoalan yang diperdebatkan oleh ulama (ikhtilaf).