Tanah Wakaf Dalam Hukum Agraria. Dalam Hukum Tanah Nasional ditetapkan bahwa hak atas tanah yang dapat diwakafkan untuk kepentingan peribadatan, pendidikan, dan sosial adalah Hak Milik. Pihak yang mewakafkan tanah disebut wakif, sedangkan pihak yang diserahi tanah wakaf disebut nadzir. Wakaf tanah Hak Milik dibuktikan dengan Akta Ikrar Wakaf yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW). Wakaf tanah Hak Milik wajib didaftarkan ke Kantor Pertanahan untuk diterbitkan Sertipikat Wakaf sebagai tanda bukti haknya. The National Land Law stipulated that the rights which can waqf the sake of workship, education, and social are the property. Person who preferred waqf call wakif, while the waqf land assigned land called nadzir.
Waqf property right evidenced by the deed of endowcement pledge made by the Deed of Pledge Endowcement Officer (PPAIW).
Pertanyaan. Saat ini di lingkungan kami berdiri sebuah masjid yang luasnya kurang lebih 1.000 m2.
Pendirian masjid itu berasal dari tanah wakaf gusuran musala Setia Budi. Dulu, pada saat proses pembuatan surat-menyurat tanah masjid oleh salah seorang warga (dengan alasan agar urusannya cepat dan tidak bertele-tele) surat-surat dibuat atas namanya. Saat ini kami warga sekitar masjid resah karena warga tersebut ngotot ingin menjual sebagian tanah masjid yang diklaim sebagai miliknya (karena surat-surat dibuat atas namanya).
Adapun saat ini kami mempunyai beberapa saksi yang mengetahui bahwa tanah masjid tersebut adalah tanah wakaf dari musala Setia Budi yang digusur. Bagaimana tindakan hukum yang harus kami lakukan untuk mempertahankan masjid kami?
Dalam pasal 11 Peraturan Pemerintah nomor 28 Tahun 1977 dinyatakan bahwa : Pada dasarnya terhadap tanah milik yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan peruntukan atau penggunaan lain dari pada yang dimaksud dalam ikrar wakaf .Penyimpangan dari ketentuan tersebut dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap hal- hal tertentu yang terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Agama yakni ( a) karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf , seperti diikrarkan oleh wakif ; (b) karena kepentingan umum. Perubahan penggunaannya sebagai akibat ketentuan tersebut dalam ayat (2) harus dilaporkan oleh Nadzir kepada Bupati/Walikota Kepala Daerah C.Q. Sejalan dengan ketentuan yang termaktub dalam Pasal 11 PP Nomor 28 Tahun 1977 diatas, UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf juga melarang harta benda wakaf untuk diubah.
Hal ini sesuai ketentuan dalam pasal 40 UU Nomor 41 Tahun 2004 ,dinyatakan bahwa ,harta benda wakaf , yang sudah diwakafkan dilarang : (a) dijadikan jaminan ;(b) disita (c) dihibahkan;(d) dijual; (e) diwariskan ;(f) dituka; atau (g) dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya. Dalam pasal 41 ayat (1) UU Nomor 41 Tahun 2004, dinyatakan bahwa , ketentuan sebagaimana dmaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf (f) dikecualikan apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum Tata Ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariah (ayat) (1) . Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada aayat (1) hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Mentri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia (ayat) (2).
Salah satu masalah di bidang keagamaan yang berkaitan dengan pelaksaan ketentuan hukum. Hal Ini karena, wakaf merupakan salah satu sarana pengembangan kehidupan beragama, khsusunya bagi umat Islam, sebagai upaya meraih kesejahteraan sprituil dan materiil yang diridhai oleh Allah.
Bahkan lembaga wakaf yang notabene bersumber dari system ekonomi Islam telah lama dipraktekkan bahkan telah meresap kedalam hukum adat, hal ini terlihat dari Putusan Mahkamah Agung No: 163 K/Sip/1963 tanggal 22 Mei 1963. Oleh karena begitu urgentnya masalah perwakafan tanah ini, dalam UU Pokok Agraria, diperlukan pengaturan lebih lanjut dalam bentuk peraturan pemerintah yang kemudian melahirkan Peraturan Pemerintah No 28 tahun 2977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No 28 tahun 2977 tentang Perwakafan Tanah Milik dan berbagai peratruran pelaksanaannya, maka secara yuridis, telah terjadi suatu pembaharuan hukum pertanahan, dimana persoalan tentang perwakafan tanah telah diatur, ditertibkan dan diarahkan sedemikian rupa, sehingga benar-benar telah memenuhi hakekat dan tujuan perwakafan menurut Islam.