Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Wakaf. Pertama, menurut Al Minawi wakaf adalah : “Menahan harta benda yang dimiliki dan menyalurkan manfaatnya dengan tetap menjaga pokok barang dan keabadiannya yang berasal dari para dermawan (wakif) atau pihak umum, semata-mata karena ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT”. Kedua, menurut Al Kasibi dalam kitabnya Anis al Fuqaha menjelaskan bahwa wakaf adalah : “Menahan benda dalam kepemilikan waqif dan menyedekahkan manfaatnya kepada orang-orang miskin dengan tetap menjaga keutuhan bendanya.”.

Ketiga, Imam Nawawi dalam kitab Tahrir al-Fazh al-Tanbih, mendefinisikan wakaf sebagai : “Penahanan harta yang bisa dimanfaatkan dengan tetap menjaga keutuhan barangnya, terlepas dari campur tangan wakif atau lainnya, dan hasilnya disalurkan semata-mata untuk bertaqarrub kepada Allah SWT.”. Keempat, Imam Ash-Shan’any mendefinisikan wakaf sebagai menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusak bendanya dan digunakan untuk hal-hal yang mubah (dibolehkan). Kelima, Imam Taqiyyuddin Abi Bakr lebih menekankan tujuannya, yaitu menahan atau menghentikan harta yang dapat diambil manfaatnya guna kepentingan kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Keenam, Ibnu Qudamah mendefinisikan, wakaf adalah menahan pokok harta dan menyakurkan hasilnya. Ketujuh, Dr. Monzer Kahf pakar fikih wakaf kontemporer memaparkan sebuah definisi sesuai dengan esensi dan karakter wakaf dalam tinjauan social ekonomi sebagai berikut, “Wakaf adalah menahan harta dari segala bentuk tindakan hokum dalam jangka waktu tertentu maupun untuk selamanya dan diambil manfaat/hasilnya secara berulang kali untuk berbagai amal kebajikan baik bersifat umum maupun khusus sesuai dengan syarat-syarat yang diajukan wakif (pemberi wakif) dan batasan hukum-hukum syar’i.” Abu Bakr Jabir al-Jazairy menambahkan pengertian ‘menahan’ itu dengan tidak boleh diwariskan, dijual, dan tidak boleh di hibahkan.

Wakaf Tunai

Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Wakaf. Wakaf Tunai

ACTNews, JAKARTA SELATAN – Wakaf tunai adalah wakaf yang dilakukan seseorang, suatu kelompok, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai, termasuk dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga, seperti saham dan cek. Oleh karena itu, ada persyaratan agar benda yang diwakafkan harus tahan lama dan tidak habis ketika dipakai. Kedua: Uang diciptakan sebagai alat tukar, bukan untuk ditarik manfaatnya dengan mempersewakan zatnya. Dari Imam Zuhri bahwasanya ia berkata: “ Tentang seseorang yang mewakafkan seribu dinar di jalan Allah, dan uang tersebut diberikan kepada pembantunya untuk diinvestasikan, kemudian keuntungannya disedekahkan untuk orang-orang miskin dan para kerabat.

Dari Al-Anshari, dia adalah salah satu sahabat Zufar, ditanya tentang orang yang berwakaf dengan dirham atau dalam bentuk barang yang dapat ditimbang atau ditakar, apakah itu dibolehkan? Beliau menjawab: dengan cara menginvestasikan dirham tersebut dalam mudharabah, kemudian keuntungannya disalurkan pada sedekahan. “Ditanyakan kepada beliau tentang hukum seorang laki-laki yang menjadikan uangnya sebesar seratus dinar sebagai wakaf untuk dipinjamkan kepada masyarakat yang membutuhkan dan akan dikembalikan kepadanya lagi untuk disimpan lagi, apakah harta seperti ini terkena kewajiban zakat?

WAKAF TUNAI: KAJIAN TEORITIS

Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Wakaf. WAKAF TUNAI: KAJIAN TEORITIS

Kemudian dilanjutkan dengan pembangunan masjid Nabawi di atas tanah anak yatim piatu yang dibeli Rasulullah saw. Selanjutnya Usman bin Affan juga membeli sumur dan mewakafkannya untuk kepentingan kaum muslimin.

Wakaf dari kalangan nonmuslim pada Rasul dilakukukan dilakukan oleh seorang Yahudi bernama Mukhairiq yang pernah berkata, Jika dirinya terbunuh dalam perang Uhud, tanah miliknya akan menjadi milik Nabi Muhammad saw. Abu Thalhah juga mewakafkan harta yang dicintainya, sehingga peristiwa ini menjadi sebab turunnya ayat 92 surat Ali Imran. Hal ini berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang hanya mengakui fungsi uang itu hanya sebagai medium of exchange dan unit of account, sedangkan fungsi uang sebagai store of value dan standard of devered payment diperdebatkan oleh ahli ekonomi islam.

Istibdal Harta Benda Wakaf

Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Wakaf. Istibdal Harta Benda Wakaf

Bagaimana jika ada barang wakaf berupa perkebunan yang sudah tidak produktif lagi, karena umurnya sudah tua atau lahannya menjadi rusak karena terkena banjir, dan hasil kebun tersebut sudah tidak lagi dapat memberi manfaat kepada mauquf ‘alaih, apakah wakaf tersebut dapat ditukar dengan lahan perkebunan lain yang lebih produktif, atau dijual dan dibelikan barang wakaf lain yang dapat memberikan manfaat kepada mauquf ‘alaih lebih banyak? Bagaimana jika ada barang wakaf berupa tanah dan bangunan masjid , kemudian karena suatu sebab masjid tersebut rusak / roboh, atau masyarakat sekitarnya meninggalkan tempat tersebut karena tempat itu tidak layak lagi sebagai pemukiman dan tidak ada lagi orang yang melakukan sholat di situ. Bagi mereka yang lebih menitikberatkan pada “prinsip keabadian” mengatakan, bahwa menjaga kelestarian atau keberadaan barang wakaf (mauquf) itu merupakan keniscayaan kapan dan dimana saja, tidak boleh dijual dengan alasan apapun dan tidak boleh ditukar dalam bentuk apapun, apalagi kalau barang wakaf tersebut berupa masjid, namun dalam madzhab Hanabilah (Hambaliyah) masjidpun dapat ditukar bahkan dijual untuk dibelikan wakaf yang baru sebagai penggantinya, dengan alasan darurat, seperti dibutuhkan untuk jalan lalu-lintas umum, untuk perluasan kuburan dan lain sebagainya.

Abu Zahrah, 3) mengatakan : “Sejarah telah menceritakan kepada kita, tidak sedikit dari orang-orang yang memegang kekuasaan di atas bumi ini, melakukan pelanggaran dan penyerobotan terhadap barang wakaf, mereka memakannya dengan curang, mereka dibantu oleh para hakim yang zalim (qudlat dholimun) dan saksi-saksi bohong (syuhud juur ). Juga tidak boleh menukarnya dengan bangunan yang berada di desa lain, karena hal itu menyimpang dari syarat wakif. Al-Khorsyi, Abu Abdullah Muhammad, dalam Syarkh Al-Khorsyi ‘Ala Mukhtashar Kholil, mengatakan : “Sudah dikatakan, bahwa wakaf tanah tidak boleh ditukar atau dijual kecuali untuk tujuan perluasan masjid. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia .

Nilai dan manfaat harta benda penukar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b ditetapkan oleh Bupati/Walikota berdasarkan rekomendasi tim penilai yang anggotanya terdiri dari unsur :. a. Nazhir mengajukan permohonan tukar ganti kepada Menteri melalui Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dengan menjelaskan alasan perubahan status / tukat menukar tersebut ;.

Perwakafan memang sangat dinamis, setiap waktu bisa terjadi perubahan persepsi dan penafsiran sejalan dengan dinamika sosial, serta perubahan dimensi waktu dan tempat, karena sebagian besar dalil-dalil yang digunakan dalam fikih wakaf adalah ijtihadiyah (bersifat ijtihad) bukan qath’iyah (bersifat pasti), oleh karenanya bisa terjadi banyak perbedaan diantara ulama mujtahid.

Istibdal Harta Wakaf dalam Fikih

Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Wakaf. Istibdal Harta Wakaf dalam Fikih

Bagaimana jika ada barang wakaf berupa perkebunan yang sudah tidak produktif lagi, karena umurnya sudah tua atau lahannya menjadi rusak karena terkena banjir, dan hasil kebun ters ebut sudah tidak lagi dapat memberi manfaat kepada mauquf ‘alaih, apakah wakaf tersebut dapat ditukar dengan laha n perkebunan lain yang lebih produktif, atau dijual dan dibelikan barangwakaf lain yang dapat memberikan manfaat kepada mauquf ‘alaih lebih banyak? Bagaimana jika ada barang wakaf berupa tanah dan bangunan masjid, kemudian karena suatu sebab masjid tersebut rusak / roboh, atau masyarakat sekitarnya meninggalkan tempat tersebut karen a tempat itu tidak layak lagi sebagai pemukiman dan tidak ada lagi ora ng yang melakukan sholat di situ. Bagi mereka yang lebih menitikberatkan pada “prinsip keabadian” mengatakan, bahwa menjaga kelestarian atau keberadaan barang wakaf (mauquf) itu merup akan keniscayaan kapan dan dimana saja, tidak boleh dijual dengan alasan ap apun dan tidak boleh ditukar dalam bentuk apapun, apalagi kalau barang wak af tersebut berupa masjid, namun dalam madzhab Hanabilah (Hambaliyah) m asjidpun dapat ditukar bahkan dijual untuk dibelikan wakaf yang baru sebagai penggantinya, dengan a lasan darurat, seperti dibutuhkan untuk jalan lalu- lintas umum, untuk perluasan kuburan dan lain sebagainya.

Bagi mereka yang lebih berorientasi pada “prinsip kemanfaatan”, mengatakan bahwa penukaran barang wakaf itu mungkin dilakukan dengan alasan- alasan tertentu antara lain : apabila barang wakaf tersebut sudah tidak dapat memberikan ma nfaat basar maslahahnya dan manfaatnya bagi masyarakat luas, seperti untuk perlua san. Abu Zahrah, mengatakan : “Sejarah telah menceritakan kepada kita, tidak sedikit dari orang-orang yang memegang kekuasaan di atas bumi ini, melakukan pelanggaran dan penyerobotan terhadap barang wakaf, mereka memakannya dengan curang, mereka dibantu oleh para hakim yang zalim (qudlat dholimun) dan saksi- saksi bohong (syuhud juur ).

Juga tidak boleh menukarnya dengan bangunan yang bera da di desa lain, karena hal itu menyimpang dari syarat wakif. Al-Khorsyi, Abu Abdullah Muhammad, dalam Syarkh Al- Khorsyi ‘Ala Mukhtashar Kholil, mengatakan : “Sudah dikatakan, bahwa wakaf t anah tidak boleh ditukar atau dijual kecuali untuk tujuan perluasan masjid. Qadri Phasya910) mengutip keterangan dati kitab “Asnal Mathalib“ tentang pendapat madzh ab Syafi’iyah dalam Istibdal wakaf ini sebagai berikut : “Seandainya barang wa kaf itu sudah tidak dapat memberi manfaat, seperti pohon yang daunnya su dah mengering, atau roboh tertiup angin dan sudah tidak dapat ditegakkan ke mbali,.

Namun apabila terjadi perubahan kondisi barang wakaf itu seperti hilangnya kedayagunaan dan keman faatannya, atau ada situasi darurat yang menimpa barang wakaf, seperti diper lukan untuk perluasan masjid atau pelebaran jalan, maka sikap madzhab- madzhab tersebut berbeda satu sama lain, dan madzhab Hanabilah dipandang.

Related Posts

Leave a reply