Pengertian Sighat Dalam Rukun Wakaf Adalah. Wakaf menurut hukum Islam dapat juga berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama zatnya kepada seseorang atau nadzir (penjaga wakaf) baik berupa perorangan maupun berupa badan pengelola dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya digunakan untuk hal-hal yang sesuai dengan syari’at Islam (M. Zein, 2004:425). Wakaf adalah berdasarkan ketentuan agama dengan tujuan taqarrub kepada Allah SWT untuk mendapatkan kebaikan dan ridha-Nya.
Pahalanya akan terus mengalir kepada wakifnya meskipun dia telah meninggal. Tujuan wakaf berdasarkan hadits yang berasal dari Ibnu Umar ra. Menurut jumhur ulama dari mazhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali, mereka sepakat bahwa rukun wakaf ada empat, yaitu:.
Sighat (pernyataan wakif sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan harta bendanya). Menurut hukum (fiqih) Islam, wakaf baru dikatakan sah apabila memenuhi dua persyaratan, yaitu:.
Wakaf terbagi menjadi beberapa macam berdasarkan tujuan, batasan waktunya dan penggunaan barangnya. Wakaf gabungan (musytarak), yaitu apabila tujuan wakafnya untuk umum dan keluarga secara bersamaan.
Wakaf berdasarkan batasan waktunya terbagi menjadi dua macam, yaitu:. Wakaf sementara juga bisa dikarenakan oleh keinginan wakif yang member batasan waktu ketika mewakafkan barangnya.
Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 pasal 5 dijelaskan bahwa fungsi wakaf adalah mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Ali, Muhammad Daud, 1998, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI Press.
Wakaf merupakan salah satu istilah yang dekat dengan agama Islam. Namun, masih banyak yang belum memahami arti wakaf, hukum dan syaratnya. Hal itu sesuai dalam hadits riwayat Muslim, dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad SAW bersabda,.
"Apabila seorang manusia itu meninggal dunia, maka terputus lah amal perbuatannya kecuali dari tiga sumber, yaitu sedekah jariah (wakaf), ilmu pengetahuan yang bisa diambil manfaatnya, dan anak soleh yang mendoakannya.". Kemudian menurut istilah, wakaf adalah menahan suatu barang, dan menyalurkan manfaatnya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Hal itu berdasarkan firman Allah SWT dalam Al Quran surat Yasin ayat 12 yang berbunyi.
Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab yang jelas (Lauh Mahfuzh). Lalu ucapan bersifat pasti dan keempat tidak diikuti syarat yang bisa membatalkan.
- Orang atau Badan yang hendak menerima wakaf. Wakif → Istilah (nama) untuk orang yang berwakaf Mauquf ‘alaih → Istilah (nama) untuk orang atau badan yang menerima wakaf Mauquf → Istilah (nama) untuk harta yang diwakafkan Sighat → Pernyataan Wakaf dari Wakif.
B. Rukun Wakaf menurut pasal 6 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004. Wakif → Istilah (nama) untuk orang yang berwakaf Nadzir → Pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya Harta Benda Wakaf → Mauquf Ikrar Wakaf → Sighat Peruntukkan Harta Benda Wakaf → Tujuan Wakaf Jangka Waktu Wakaf → Berapa lama harta itu diwakafkan. Kata Kunci : Wakaf, Wakif, Maukuf, Shighat, Nadzir, pasal 6 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004.
Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung dan Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Miftahul Huda Subang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa konsep akad dalam Islam. Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ketentuan mengenai rukun akad cenderung mengikuti pendapat jumhur. Tegaknya aturan dalam negara atau masyarakat islam, adalah bagian dari tujuan Islam yang ada dalam maqasid Syari’ah, yaitu dengan prinsip terwujudnya keadilan, persamaan antar pemeluk atau kelompok yang berbeda pemahaman (Purwanto, 2018). Secara umum, makna akad yaitu segala sesuatu yang diinginkan oleh seseorang untuk dilakukan, baik keinginan tersebut muncul dari dalam dirinya sendiri maupun yang mengharuskan adanya kehendak dari kedua belah pihak (Rivai, 2010). Disamping itu, terkait kebolehan melakukan multi akad para ulama juga berbeda pendapat.
Penelitian ini akan mendeskripsikan konsep-konsep akad yang telah dikemukakan oleh para ulama untuk kemudian dianalisis. Menurut Creswell dalam bukunya Educational Research mendeskripsikan penelitian kualitatif merupakan jenis penelitian yang sangat bergantung pada informasi dari objek atau partisipan, dengan pengumpulan data yang sebagian besar adalah teks atau kata-kata dari partisipan, menjelaskan dan melakukan analisa terhadap kata-kata dan melakukan penelitian secara subyektif (Creswell, 2008;46).
Para ulama’ membagi makna al-‘uqūd secara istilah ke dalam dua bagian. Pertama, al-‘uqūd dalam lingkup makna umum yaitu setiap keharusan dan ikatan, baik dilakukan oleh dua pihak yang saling berinteraksi seperti jual beli, maupun yang dilakukan oleh satu pihak saja seperti sumpah atau al-yamin (Al-‘Imronī, 2006). Kedua, al-‘uqūd dalam lingkup makna khusus yaitu ikatan antara dua ujung. Makna akad secara khusus menurut hanabilah, syafiiyah dan hanafiyah yaitu tekad kedua belah pihak yang berakad atau bersumpah untuk melakukan sesuatu yang diawali dengan adanya ijab kabul (Jār Allāh, 1438). Menurut fiqh hanafiyah sebagaimana dalam majallāt al-ahkām al-‘adliyāt yang dikutip oleh abd al-azīz menyatakan bahwa akad yaitu, kesepakatan kedua belah pihak terhadap sesuatu yang diungkapkan dalam ijab dan qabul. Badr ad-dīn asy-syāfi‘i menyatakan bahwa akad merupakan pertalian antara ijab dan qabul.
Makna akad menurut fiqh hanabilah yaitu muamalah yang menimbulkan kewajiban dianatara kedua belah pihak berdasarkan adanya ijab dan qabul (Jār Allāh, 1438). Penggunaan kalimat akad dapat digunakan secara langsung sebagaimana makna asalnya yang bermakna ikatan seperti mengikat tali dan dapat pula digunakan secara kiasan yaitu ikatan antara ijab dan qabul. Dengan demikian, ahli bahasa menggunakan kalimat akad secara maknawi atau kiasan seperti jual beli, nikah dan lain sebagainya (Jār Allāh, 1438). Dalam pasal 262 Mursyid al-Hairan sebagaimana dikutip Syamsul Anwar, akad merupakan pertemuan antara ijab yang diajukan oleh salah satu pihak dengan qabul dari pihak lain yang kemudian menimbulkan akibat hukum pada objek akad (Anwar, 2010). Pengertian Akad menurut kompilasi hukum ekonomi syariah adalah suatu kesepakatan dalam suatu perjanjian yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu (Perundang-Undangan, 2010) Di Indonesia, akad dikenal dengan istilah kontrak. Dari uraian mengenai makna akad di atas, akad menurut penulis yaitu kesepakatan atau hubungan antara dua pihak atau lebih yang diungkapkan dalam suatu ijab dan qabul untuk melakukan maupun tidak melakukan sesuatu, serta menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya.
Di Indonesia, terdapat hukum kontrak yang berisi tentang aturan-aturan terkait pelaksanaan perjanjian dan persetujuan. Pendapat-pendapat mengenai makna akad dalam lingkup hukum Indonesia menunjukan beberapa hal yaitu pertama, akad merupakan pertemuan antara ijab dan qabul yang mengakibatkan timbulnya suatu akibat hukum.
Kedua, akad merupakan tindakan hukum yang dilakukan oleh dua pihak. Hal ini dikarenakan keduanya merupakan unsur utama terlaksananya suatu akad. Jumhur ulama berpendapat bahwa rukun akad yaitu al-‘aqidain atau dua pihak yang berakad, al-ma’qud ‘alaih atau obyek akad dan sighat al-‘aqdi yaitu ijab dan qabul (Rajafi, 2013). Syarat bagi para pihak menurut KHES yaitu memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum (Perundang-Undangan, 2010) Demikian halnya menurut jumhur ulama yang mensyaratkan ‘aqidain haruslah orang yang berakal dan mumayyiz (Al-zuhailī, 2008).
Namun demikian, terdapat perbedaan pendapat dalam hal kebolehan akad yang dilakukan oleh anak kecil. Akan tetapi apabila akad jual beli yang dilakukan oleh anak kecil tersebut berkaitan dengan jumlah yang banyak maka hal tersebut tidak diperbolehkan meskipun walinya mengijinkan (Al-jazīrī, 2004).
Larangan tersebut berimplikasi pada batalnya akad jual beli yang dilakukan salah satu di antara mereka (Al-jazīrī, 2004). Hal ini dikarenakan akad adalah keterkaitan kehendak kedua pihak yang tercermin dalam ijab dan qabul. Disamping itu, ijab qabul juga disyaratkan dilakukan dalam satu majelis (Anwar, 2010), (Al-zuhailī, 2008), (Al-jazīrī, 2004). Asas-asas akad dikemukakan dalam BAB II pasal 21 KHES diantaranya yaitu, asas sukarela (Pradja, 2012), amanah atau menepati janji, asas kehati-hatian, luzum atau tidak berubah, saling menguntungkan, adanya kesetaraan, transparansi, adanya kemampuan, kemudahan, i’tikad yang baik dan sebab yang halal (Perundang-Undangan, 2010) Syamsul Anwar mengemukakan beberapa asas-asas perjanjian dalam hukum islam secara lebih rinci diantaranya yaitu pertama, asas ibahah yang merupakan asas umum hukum islam dalam bidang muamalat.
Asas ini dirumuskan dalam suatu kaidah “pada asasnya segala sesuatu itu boleh dilakukan sampai ada dalil yang melarangnya”. Kedua, asas Kebebasan Berakad, yaitu prinsip hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat akad apa saja tanpa terikat apapun sejauh tidak berakibat merugikan orang lain. Hal ini dikarenakan tujuan utama syariah adalah untuk kemashlahatan umat manusia. Demikian halnya tujuan para pihak dalam melakukan akad harus berpegang teguh pada asas kemashlahatan bagi kedua belah pihak sehinmgga akad yang dibuat tidak menimbulkan madharat bagi keduanya. Lain halnya dengan hanafiyah yang membedakan antara akad fasid dan batil. An-nisa: 33 lafadz ﻋﻘﺪﺕ bermakna janji setia yang diucapkan oleh seseorang kepada orang lain untuk saling mewarisi (Kaṡīr, 2005).
Menurut Abu Muslim Al-ashfahani dan Syaikh Muhammad Abduh sebagaimana dikutip Quraish Shihab dalam tafsirnya, menyatakan bahwa janji setia yang dimaksud pada ayat tersebut adalah janji setia antara suami dan istri sehingga menurutnya yang berhak mendapatkan bagian warisan adalah ibu, bapak, karib kerabat dan pasangan suami istri (Shihab, 2016). Berdasarkan beberapa ayat di atas, dapat diketahui bahwa lafadz ﻋﻘﺪ dan beberapa turunannya yang terdapat dalam al-quran memiliki beragam makna umum dan khusus, namun demikian hanya terdapat satu ayat yang menunjukan makna akad secara umum yakni lafadz ﺍﻟﻌﻘﻮﺩ sebagaimana dalam Q.S.
Para ulama sepakat bahwa akad basīṭ hukumnya adalah boleh selama tidak bertentangan dengan syariat islam. Dalam akad majemuk, tetap memperhatikan semua persyaratan yang harus dipenuhi (Al-‘Imronī, 2006).
Menurut Najih Hammad sebagaimana dikutip oleh Hasanudin dalam desertasinya, akad murakkab yaitu, kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu akad yang mengandung dua akad atau lebih di dalamnya seperti jual beli dengan sewa, syirkah, mudharabah dan lain- lain, sehingga semua akibat hukum akad-akad yang terhimpun tersebut, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, sebagaimana akibat hukum dari satu akad (Abidin et al., 2008). Secara garis besar, pendapat para ulama terkait hukum asal al- ‘uqūd al-māliyah dapat dibagi menjadi dua yaitu pertama, pendapat jumhur ulama hanafiyah, sebagian malikiyah, syafi’iyyah dan hanabilah yang menyatakan bahwa, hukum al-‘uqūd al-māliyah al-murakkabah adalah boleh dan sah, tidak haram dan tidak batal kecuali ada dalil syar’i yang mengharamkannya berdasarkan Q.S. Pendapat lain dikemukakan oleh golongan ḍahiriyah yang menyatakan bahwa, hukum al-‘uqūd al-māliyah al-murakkabah adalah dilarang dan batal, tidak diperbolehkan dan tidak sah kecuali jika ada dalil syara’ yang menunjukan kebolehannya, berdasarkan Q.S.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui mengenai beberapa hal terkait akad. Dengan demikian dapat dipahami bahwa akad yaitu kesepakatan atau hubungan antara dua pihak atau lebih yang diungkapkan dalam suatu ijab dan qabul untuk melakukan maupun tidak melakukan sesuatu, yang kemudian menimbulkan hak dan kewajiban di antara para pihak. Secara garis besar terdapat dua pendapat utama yaitu kelompok yang membolehkan berdasarkan Q.S. Al-maidah: 1 dan kaidah bahwa setiap muamalah diperbolehkan kecuali apabila ada dalil yang melarangnya. Namun demikian, untuk dapat menjawab perkembangan dalam bidang ekonomi syariah, penulis berpendapat bahwa akad majemuk diperbolehkan selama mengikuti ketentuan yang tidak melanggar syariat. Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat.
Hukum Islam Terhadap Potongan Harga (Studi di Lativah Hijab Cirebon). Masa Depan Hukum Bisnis Islam di Indonesia; Telaah Kritis Berdasarkan Metode Ijtihad Yusuf Al-Qaradawi.
Penjelasan lebih lanjut dan contoh kasusnya dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Badan-badan Hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang telah dewasa dan sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dapat mewakafkan benda miliknya dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ikrar Wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau tulisan kepada Nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya.
Dalam hal Wakif tidak dapat menyatakan ikrar wakaf secara lisan atau tidak dapat hadir dalam pelaksanaan ikrar wakaf karena atasan yang dibenarkan oleh hukum, Wakif dapat menunjuk kuasanya dengan surat kuasa yang diperkuat oleh 2 (dua) orang saksi. Untuk dapat melaksanakan ikrar wakaf, wakif atau kuasanya menyerahkan surat dan/atau bukti kepemilikan atas harta benda wakaf kepada PPAIW. Meskipun pasal di atas menyatakan tegas bahwa wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan, namun jika ada perkara di bidang wakaf, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara wakaf tersebut. e. wakaf;. Sebagai contoh kasus pembatalan ikrar wakaf dapat kita lihat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 686/K/AG/2012. Dalam pengadilan agama tingkat pertama, penggugat memohon pembatalan atas ikrar wakaf Rr.
Fatimah dengan alasan Rr. Fatimah memiliki keterbelakangan mental/idiot atau setidak-tidaknya tidak sempurna cara berpikirnya yang menyebabkan ia tidak boleh melakukan tindakan hukum ikrar wakaf. Kemudian pada tingkat banding melalui Putusan Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta Nomor 19/Pdt.G/2011/PTA.Yk, Majelis Hakim mengabulkan gugatan penggugat dan membatalkan ikrar wakaf yang diucapkan oleh Rr.