Pelaksanaan Wakaf Uang Ditinjau Berdasarkan Perspektif Syariah. Wakaf merupakan salah satu sumber dana sosial potensial yang erat kaitannya dengan kesejahteraan umat di samping zakat, infak dan sedekah. Di Indonesia, wakaf telah dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam sejak agama Islam masuk di Indonesia. Namun amat disayangkan bahwa persepsi sebagian besar masyarakat Muslim di Indonesia mengenai obyek wakaf masih terbatas pada tanah dan bangunan dan meskipun saat ini sudah mulai berkembang pada uang, saham dan benda bergerak lainnya. Hal itu tentunya tidak terlepas dari kenyataan bahwa sebagian besar harta yang diwakafkan baru berkisar pada asset tetap (fixed asset), seperti tanah dan bangunan. Hanya saja potensi wakaf yang besar tersebut belum banyak didayagunakan secara maksimal oleh pengelola wakaf akibat terbatasnya pemahaman masyarakat mengenai obyek benda yang boleh diwakafkan serta masih terbatasnya nazir wakaf yang memiliki sumber daya yang profesional dan manajerial. Karena itu makalah ini dibuat untuk melihat bagaimana legalitas wakaf uang dalam Hukum Islam dan sejauh mana wakaf uang mampu berperan sebagai alternatif menyejahterakan umat dalam Ekonomi Islam.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mendefinisikan wakaf uang dalam fatwanya tentang kebolehan wakaf pada 11 Mei 2002 yang menyatakan bahwa wakaf uang (cash wakaf/waqf al-nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai, termasuk dalam pengertian ini adalah surat-surat berharga. Salah satu benda bergerak yang dapat diwakafkan adalah uang, yaitu penyerahan secara tunai sejumlah uang wakaf dalam bentuk mata uang rupiah yang dilakukan oleh wakif kepada nazhir melalui lembaga keuangan syariah penerima wakaf uang (LKS-PWU) yang ditunjuk oleh Menteri Agama atas saran dan pertimbangan Badan Wakaf Indonesia (BWI) yaitu berupa sertifikat wakaf uang yang diterbitkan oleh LKS-PWU dan disampaikan kepada wakif dan Nazhir sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf. Adapun hasil dari pengembangan dan pengelolaan investasi wakaf uang dimanfaatkan keseluruhannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setelah dikurangi sepuluh persen sebagai hak nazhir dari setiap hasil investasi seperti diatur dalam Undang-undang No 41 Tahun 2004 Tentang wakaf. ”Dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”.(QS. Dasar hukum dari hadits Rasulullah SAW:. Dan tidak berdosa bagi orang yang mengurusi harta wakaf tersebut makan dari hasil wakaf tersebut dalam batas-batas kewajaran atau memberi makan orang lain dari hasil wakaf tersebut”.
kemudian mereka mempertanyakan, “Apa yang dapat kita lakukan dengan dana cash dirham?” Terhadap pertanyaan ini Al-Anshari menjelaskan dengan mengatakan, ”Kita investasikan dana itu dengan cara mudharabah , dan labanya kita sedekahkan. Ibn Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni meriwayatkan satu pendapat dari sebagian besar kalangan ulama yang tidak membolehkan wakaf uang dirham, dengan alasan dirham dan dinar akan lenyap ketika dibayarkan, sehingga tidak ada lagi wujudnya.
Di samping itu, Ibn Qudamah juga menjelaskan salah satu pendapat dari kalangan yang tidak membolehkan mempersewakan uang; yang isinya dengan tidak membolehkan wakaf uang dirham. Dari beberapa pendapat ulama diatas, jelas bahwa alasan boleh dan tidaknya mewakafkan mata uang berkisar pada apakah wujud uang tersebut, setelah digunakan atau dibayarkan, masih ada seperti semula atau tidak.
Menurut Abu Ishaq Asy-Syirazi (wafat 476 H/1083 M) petunjuk tersebut mengandung makna bahwa yang boleh diwakafkan adalah yang dapat bermanfaat dan tahan lama (tidak lenyap ketika dimanfaatkan). Berbeda dengan wakaf selain uang atau asset tetap, yang memang secara fisik tetap utuh meskipun dimanfaatkan. pendapat Muhammad ibn Abdullah al-Anshari, dari kalangan Hanafi dan pendapat Imam al-Zuhri seperti diriwayatkan oleh Bukhari, bisa dijadikan legalitas yang valid bagi kebolehan wakaf uang, di samping ada beberapa argumen lain:.
Hanya saja, manfaat uang baru akan terwujud bersamaan dengan lenyapnya zat uang secara fisik. Meski zat uangnya lenyap ketika digunakan, tapi nilainya bisa tetap terpelihara dan mungkin terus menerus mendatangkan hasil.
Memang barang yang yang sifat fisiknya dapat bertahan lama dan mendatangkan banyak manfaat tentu lebih baik, namun jauh lebih baik dan prinsipil dari semua itu ialah keabadian manfaat dan nilai dari benda yang diwakafkan. Kedua, Wakaf merupakan salah satu konsep fikih ijtihadiyah yang lahir dari pemahaman ulama terhadap nash-nash yang menjelaskan tentang pembelanjaan harta dan sebagai respons terhadap hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Umar tentang pertanyaan umar berkaitan dengan pemanfaatan tanahnya di Khaibar, serta beberapa hadis lain yang mendukung.
Karena tidak ada nash al-Qur’an dan sunah Rasulullah yang secara tegas melarang wakaf uang maka atas dasar maslahah mursalah , wakaf uang dibolehkan, karena mendatangkan manfaat yang sangat besar bagi kemaslahatan umat, atau dalam istilah ekonomi dapat meningkatkan investasi sosial dengan mentransformasikan tabungan masyarakat menjadi modal umat. Dewasa ini terbuka kesempatan untuk berwakaf dalam bentuk uang.
Menurut Muhammad Abdullah al-Anshori, “Uang wakaf akan bermanfaat jika ia digunakan, untuk itu kita investasikan dana tersebut dan labanya kita sedekahkan”. Adapun diantara bentuk-bentuk investasi yang dapat dilakukan oleh pengelola wakaf (nadzir) ialah sebagai berikut:.
Investasi mudharabah merupakan salah satu alternatif yang ditawarkan oleh produk keuangan syari’ah guna mengembangkan harta wakaf. Dalam hal ini pengelola wakaf uang berperan sebagai shohibul mal (pemilik modal) yang menyediakan modal 100% dari usaha/proyek dengan sistem bagi hasil.
Alternatif investasi lainnya ialah investasi dengan sistem musyarakah. Investasi ini hampir sama dengan investasi mudharabah. Hanya saja pada investasi musyarakah ini risiko yang ditanggung oleh pengelola wakaf lebih sedikit, oleh karena modal ditanggung secara bersama oleh dua pemilik modal atau lebih.
Tetapi, masih banyak alternatif-alternatif investasi lain yang dapat dilakukan serta dikembangkan oleh pengelola wakaf guna memaksimalkan hasil wakaf. Maka sebelum melakukan investasi, pengelola wakaf (nazhir), selaku manajemen investasi, hendaknya mempertimbangkan terlebih dahulu keamanan dan tingkat profitabilitas usaha guna mengantisipasi adanya resiko kerugian yang akan mengancam kesinambungan harta wakaf, yaitu dengan melakukan analisa kelayakan investasi dan market survey untuk memastikan jaminan pasar dari out put dan produk investasi.
Wakaf uang yang digunakan untuk investasi bisnis seperti yang difatwakan Muhammad ibn Abdullah al-Anshari ternyata mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara, yaitu dengan mentransformasikan tabungan masyarakat menjadi modal investasi dengan cara menggalang dana dari orang-orang kaya untuk dikelola dan keuntungan dari pengelolaannya disalurkan kepada rakyat miskin yang membutuhkan. 50.000 untuk wakaf.
Maka, dalam kalkulasi sederhana akan diperoleh Rp 1 triliun dana wakaf yang siap diinvestasikan. Lalu bagaimana jika 20 juta dari umat Islam tersebut berwakaf uang dalam tiap tahun. 100 Miliar sebagai hasil dari pengelolaan dana wakaf Rp.
Secara Ekonomi, Wakaf uang memiliki potensi yang sangat besar dalam meningkatkan kegiatan ekonomi umat secara mikro dan ekonomi negara secara makro. Apalagi, saat ini di Indonesia legalitas wakaf uang ini telah kokoh yaitu dengan ditetapkannya fatwa MUI tentang kebolehan wakaf uang Pada 11 mei 2002, UU No.
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Islam tentang wakaf, ijarah dan syirkah, Bandung: al Ma’arif,1987. Daud Ali , Muhammad ,Sistem ekonomi Islam , zakat dan wakaf, Jakarta : UI Press, 1988.
Solusi Ekonomi dan Keuangan Islam Saat Pandemi COVID-19. Dalam kajian teori ilmu ekonomi, physical distancing atau pengetatan dan pembatasan aktifitas masyarakat akan berakibat pada penurunan Agregat Supply (AS) dalam perekonomian yang berdampak pada penurunan jumlah produksi atau quantitiy (Q).
Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, umat Islam dapat memberikan peran terbaiknya melalui berbagai bentuk atau model filantropi dalam Ekonomi dan Keuangan Syariah. Pertama, penyaluran bantuan langsung tunai yang berasal dari zakat, infak dan sedekah, baik yang berasal dari unit-unit pengumpul zakat maupun dari masyarakat.
Di tengah-tengah krisis, tidak sedikit sektor usaha atau Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang berjuang agar tetap eksis. Oleh karena itu, pemberian modal pada usaha dijadikan sebagai sarana mengurangi dampak krisis. Pemberian permodalan dari perbankan/lembaga keuangan syariah ini perlu didukung dan dikuatkan dengan pendampingan sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Kelima, selain dari sektor perbankan syariah dan qardhul hasan, sebagian dana yang dikumpulkan oleh unit-unit atau organisasi pengumpul zakat, khususnya yang ada di daerah, dapat digunakan untuk memperkuat usaha UMKM. Menyelamatkan kelompok UMKM yang krisis atau terancam bangkrut karena terkena dampak ekonomi dari wabah COVID-19, dapat dikategorikan sebagai golongan asnaf (penerima zakat), yaitu sebagai kelompok miskin, berjuang di jalan Allah (fii sabilillah), atau orang yang berhutang (gharimin). Pada akhirnya, jika program-program di atas, khususnya bantuan langsung tunai, zakat, infak, wakaf, atau CSR, baik untuk masyarakat maupun sektor usaha atau UMKM, betul-betul dapat digalakkan, maka upaya tersebut diharapkan dapat meningkatkan kembali aggregate demand dan aggregate supply ke kanan (dalam kurva demand and supply) diikuti dengan pembangunan pasar daring yang fokus kepada UMKM yang mempertemukan permintaan dan penawaran, sehingga surplus ekonomi terbentuk kembali dan membantu percepatan pemulihan ekonomi.
Kendala pengembangan wakaf uang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf adalah kurangnya pemahaman masyarakat mengenai wakaf uang dengan solusi BWI bersama pihak terkait dalam hal ini adalah LKS-PWU maupun Nazhir harus terus menyosialisasikan hukum wakaf tunai pada masyarakat; kurang profesionalnya Nazhir dalam pengelolaan wakaf uang solusinya adalah peningkatan kualitas nazhir agar profesional dan amanah dalam pengelolaan wakaf uang; kurangnya pemahaman dan kemampuan praktisi wakaf dalam pengembangan wakaf uang dengan solusi peningkatan kemampuan semua praktisi wakaf terlebih Nazhir sehingga mampu mengelola dan mengembangkan wakaf secara profesional dan amanah serta sinergitas sehingga pengelolaan dan pengembangan wakaf di Indonesia sukses. Jurnal Abdullah Ubaid, “Kemitraan Nazhir dengan Bank Syariah dalam Mengembangkan Wakaf Uang : Studi Perbandingan Di Indonesia, Bangladesh Dan Yordania”, Jurnal Kuriositas 8 (1), 2015. https://doi.org/10.35905/kur.v8i1.143 Fahmi Medias, “Wakaf Produktif dalam Perspektif Ekonomi Islam”, Jurnal La Riba 4 (1), 2010.
Muhammad Junaidi, Abdullah Kelib, Diah Sulistyani R.S, “Reposisi Peran Waqaf Dalam Pemberdayaan Ekonomi Islam Dalam Kajian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Waqaf” Jurnal IUS 6 (1), 2018. DOI : 10.21580/ihya.18.1.1740 Syarif Hidayatullah, “Wakaf Uang Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia (Endowments Money in Perspective Islamic Law and Indonesian Law)” Salam L Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i 3 (1), 2006. Peraturan perundang-undangan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Jakarta, 2004.
Jurnal USM LAW REVIEW : Journal Law by Department of Pascasarjana, Magister Hukum Universitas Semarang is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.