Klinik Haji Razali Wakaf Bharu. Sebelum dipindahkan ke Pekanbaru, administrasi pemerintahannya masih berpusat di Tanjung Pinang sebagai tempat kedudukan Resident. Di samping itu, juga ada pekerjaan sambilan seperti me-melihara kerbau, sapi, kambing dan lain-lain yang dilakukan sebahagian saja. Pengaruh ninik mamak di Lubuk Jambi sebagai pengatur tatanan kehidupan sosial masyarakat mempunyai kedudukan sentral dan kuat.
Demikian kuatnya kedudukan ninik mamak ini, sehingga kehidupan beragama, pemahaman, dan penga-malan masyarakat turut dipengaruhinya. Pendidikan formal yang diadakan oleh Belanda di Lubuk Jambi, sebagai lanjutan dari sekolah desa memang cukup baik. Kadang-kadang dalam suatu surau muridnya bukan hanya orang kampungnya saja, tetapi juga datang dari berbagai kampung dan negeri.
Hanya saja sejarah perjuangan kedua tokoh itu belum banyak terungkap, padahal mereka sangat ternama di daerah ini. Dalam menunaikan ibadah, terutama melaksanakan shalat dan puasa, kurang mendapat perhatian, kecuali hanya di kalangan tua. Islam masih terbatas pada ritual saja seperti dalam upacara penyelenggaraan jenazah/kematian, kenduri perkawinan, do’a setelah melaksanakan shalat, khatam al-Qur‘an di bulan puasa, dan do’a petang Kamis malam Jumat.
Belum lagi para pemuda ini melihat sebagian besar masyarakat ketika itu terkesan berpikiran sempit dengan tidak mau menerima perubahan. Menghadapi kondisi masyarakat seperti itu, tentu perlu adanya perubahan pembaharuan agar tercipta perkembangan pemikiran yang tumbuh dinamis. Singkat kata, segera diutuslah Dasin Jamal dan Sulaiman Khatib ke Padang Panjang menemui Konsul Muhammadiyah, Buya AR St. Mansyur.
Beliau kemudian berjanji segera mengirim Ibad Amin, putra Lubuk Jambi, untuk mengurus per-siapannya, yang pada saat itu ia sedang bertugas mengajar di Kerinci, Sungai Penuh. Maka pada tanggal 9 September 1933, terbentuklah kengurusan Muhammadiyah Ranting Lubuk Jambi, yang langsung berhubungan dengan Pengurus Besar di Yog-yakarta.
Adapun susunan pengurusnya sebagai berikut: Penasehat dan Ketua : Ibad Amin Wakil Ketua : Mudasin Sekretaris : Sulaiman Khatib Keuangan : Raja Ibrahim Pembantu : Sa’ad Manan Pembantu : Arsyad Setelah selesai mengurus segala sesuatu yang me-nyangkut dengan perizinan kepada pemerintah, Penghulu, dan Orang Gadang, maka diadakan suatu acara yang disebut apriahting Muhammadiyah bertempat di Surat Gadang, Pasar Lubuk Jambi. Semua tokoh yang mengambil inisiatif dan pengurus pertama Muhammadiyah adalah putra Lubuk Jambi sendiri. Tindak tanduk Muhammadiyah mereka anggap dapat merusak tatanan kehidupan yang telah mapan, serta menjatuhkan kewibawaan ninik mamak dan pokiah/malin. Namun demikian, betapapun hebatnya tantangan yang dihadapi atas kelahiran Muhammadiyah ini, para pendirinya tak pernah surut langkah.
Mereka memberlakukan warga di luar prikemanusiaan: nyawa tidak berharga, kerja paksa diterapkan, perempuan dijadikan pemuas sex para tentaranya, serta rakyat disuruh menyembah matahari. Para pengurus dan anggota masih tetap melakukan kegiatan, walaupun agak kesulitan dalam berhubungan satu sama lain.
Hasan Arifin yang diangkat sebagai Konsul Muham-madiyah Riau Indragiri pada tahun 1943, kurang dapat melakukan pembinaan organisasi karena sulitnya ber-komunikasi. Secara geografis, Cengar terletak 5 Km di sebelah utara Lubuk Jambi, yang dapat dijangkau melalui jalan darat. Suatu waktu, sekitar tahun 1934, tibalah seorang kiai yang bernama Limin asal Tanjung Barulak, Sumatera Barat. Pada tahun 1935, dengan semakin pesatnya pengajian Muhammadiyah, maka dibentuklah Group Kesenian Suliang (seruling bambu) dan Drum Band.
Keinginan dari warga Muhammadiyah Cengar untuk memiliki cabang sendiri begitu besar, yang sebelumnya masih berinduk ke Taluk Kuantan. Tidak lama berselang didirikan pula Sekolah Ibtidaiyah di bawah pimpinan Ali Madina sebagai guru sukarela.
Menyadari masih kurangnya kader-kader persyarikatan yang berpendidikan cukup, maka diutus pula beberapa orang putera-putera Cengar untuk menuntut ilmu ke Sumatera Barat, Padang Panjang dan Lubuk Basung. Walaupun sarana transportasi pada waktu itu belum begitu lancar, mereka menempuhnya dengan berjalan kaki atau naik sepeda.
Di samping jalan darat, transportasi melalui sungai menjadi alternatif yang penting, terutama sebagai sarana lalu lintas ekonomi. Sekembalinya Haji Rasul dari Yogyakarta untuk kedua kalinya pada tahun 1925, ia mendirikan Muham-madiyah di kampungnya sendiri, Sungai Batang (Maninjau). Menurut para ahli Vander Plas seperti dikutip Alfian, organisasi yang baru berdiri mendapat ilham dari Haji Rasul, alasannya karena di samping Muhammadiyah telah terlebih dahulu diperkenalkan di Sungai Batang, salah seorang anggota pimpinan Muhammadiyah Cabang Padang Panjang, yaitu Sutan Mangkuto, adalah murid kesayangan Haji Rasul.
Selain itu juga menunjukkan bahwa antara Muhammadiyah daerah Riau (sekarang) belum terdapat hubungan satu sama lain. Kehadiran Jepang menggantikan pemerintah Kolonial Belanda di daerah Kampar membawa perubahan bagi tumbuh dan berkembangnya Muhammadiyah. Perkembangan Muhammadiyah semakin pesat setelah pulangnya seorang tokoh yang memiliki kewibawaan keilmuan dan kemimpinan, Mahmud Marzuki.
Karena itu, beliau diberi tanggung jawab yang lebih besar dengan diangkatnya ia menjadi kepala sekolah. Sudah barang tentu paham pembaharuannya ini menjadi lawan dan tantangan bagi Tarbiatul Islamiyah yang berpahamkan tradisional. Di daerah ini beliau bertemu dengan para tokoh Muham-madiyah terkemuka, seperti Hamka, Rasyid, Duski Samad, AR Sutan Mansur, dan lain-lain.
Pada tahun 1942, Mahmud Marzuki dipanggil pulang kembali ke kampung halamannya oleh Datuk Palo (wali nagari) yang pernah bekerja sama dengan Belanda untuk mengusirnya, dengan alasan untuk memenuhi permintaan Jepang sebagai wakil rakyat (Anggota DPR atau Syu Sangi Kai) di Riau. Meskipun secara teritoris jauh dari pusat perkembangan partai itu, namun dampak politiknya sampai ke daerah Kampar.
Dalam kaitan inilah Madrasah Mualliminin Muhammadiyah Bangkinang yang didirikan pada tahun 1947, akhirnya menjadi basis pergerakannya. Pada akhir masa Orde Lama, perkembangan Mu-hammadiyah masih stabil, tetapi dengan munculnya kebijaksanaan multi partai dalam perpolitikan Nasional, dimana orang Muhammadiyah menyalurkan aspirasi politiknya kepada Masyumi. Adapun kiprah Muhammadiyah Kampar dalam mengembangan misi dan organisasinya dilaksanakan melalui usaha-usaha dapat dijabarkan di antaranya: 1.
Pesatnya perkembangan Muhammadiyah di daerah Kampar banyak ditentukan oleh kegiatan tabligh yang dilakukan, terutama pada priode awal. Kedatangan para mubaligh tenar dari kalangan Muhammadiyah di Minang-kabau memberikan daya tarik terhadap masyarakat Kampar. Umumnya mereka datang ke ranting-ranting Muhammadiyah di daerah Limo Koto secara periodik untuk mengadakan tabligh akbar.
Pada awalnya, setiap ranting Muhammadiyah yang muncul di daerah Kampar selalu diikuti munculnya sebuah lembaga pendidikan agama seperti TPA, MDA, dan TK-ABA. Pada periode selanjutnya muncul sekolah umum yang bermuatan agama dalam bentuk modern seperti MTs dan Mu’allimin Muhammadiyah Bangkinang sebagai alternatif pengganti SMP Islam. Sekolah-sekolah umum yang didirikan oleh Muhammadiyah Kampar seperti SD, SMP dan SMA selanjutnya, juga tidak meninggalkan ciri khas kemuhamma-diyahannya, yaitu dengan warna ke-Islaman dalam kurikulum atau mata pelajarannya.
Sebagai realisasinya, maka setiap jenjang kepemimpinan yang memungkinkan selalu diusahakan berdiri lembaga-lembaga pelayanan kesehatan, seperti klinik, balai pengo-batan dan lain-lain. Gerakan ini memasuki daerah Kampar sekitar awal tahun tiga puluhan melalui para pemuda Kampar yang belajar (mengaji) ke negeri Minangkabau, seperti ke Padang Panjang, Bukittinggi dan Payakumbuh, kemudian diperkuat pula oleh para mubaligh yang datang dari Minangkabau tersebut.
Pertemuan antara Ustaz Labay Zakaria, seorang da’i dari Bukittinggi, dengan Abdul Hamid Engku Muda Sutan merupakan tonggak sejarah lahirnya persyarikatan Muham-madiyah di Kampar. Hamid E Sutan bersama dengan Labai Zakaria, selama aqidah pemuka ilmu sihir ini belum dapat dibetulkan dan diperbaiki menurut aqidah yang sebenarnya, tentu akan sulit mengembangkan gerakan Mu-hammadiyah di tengah tengah masyarakat kampung Penyasawan khususnya dan Kewedanaan Bangkinang pada umumnya. Dalam menghadapi pemuka sihir , oleh E. Sutan bersama Labai Zakaria, mereka dibawa bergaul dengan baik dengan perlahan-lahan diberi penjelasan dan pengertian tentang ilmu tauhid yang dikehendaki Allah, dan apa yang menyebabkan timbulnya kemusyrikan dalam kehidupan manusia.
Lebih kurang satu setengah tahun lamanya kedua tokoh tersebut terus menerus berkomunikasi dan bergaul dalam upaya menghadapi ilmu sihir yang berkembang di kampung ini. Secara bertahap mereka mulai menerima ajakan ajaran tauhid, di antaranya seperti Buyung Hitam, Khatib Sanding, Rasun Malin Itam, Miuluk gelar Dt.
Walaupun sebahagian yang lain belum dapat diyakinkan, namun mereka sudah mulai agak segan menentang usaha pendirian gerakan Muham-madiyah. Tidak berapa lama kemudian, setelah mereka kembali dari Padang, diresmikanlah berdirinya Muhammadiyah Ranting Penyasawan pada tanggal 18 April 1937 dengan susunan pengurus sebagai berikut: Ketua I : Abd Hamid Engku Sutan Ketua II : Miun Engku Surau Betung Sekretaris I : Mohd. Hakim Komisaris : Miudin Sebelum usaha ini dilaksanakan oleh pendiri-pendiri tersebut, salah seorang penduduk Penyasawan yang belajardi Padang Panjang, yaitu Abd. Hal ini berkat dari pengalamannya ketika belajar, beliau telah banyak memahami bagaimana mengelola sebuah organisasi Muham-madiyah. Pada tahun 1976 Kantor Muhammadiyah tersebut dibongkar dan dibangun kembali untuk pembangunan Sekolah/Madrasah Tsanawiyah yang sekarang menjadi Gedung SDM sebelah timur. Kemudian pada tahun 1939, dibangun lagi sebuah Mushalla Aisyiah dengan ukuran 8 x12 m di atas sebidang tanah wakaf dari Lainah/Gd.
Pada tahun 1942 dengan meletusnya bom di lapangan terbang Simpang Tiga Pekanbaru dan masuknya tentara Dai Nippon, derah ini mulai dijajah oleh Jepang. Pada zaman Jepang inilah sekolah Muhammadiyah terpaksa ditutup, karena gurunya (Baharuddin) bersama keluarganya telah pulang ke kampungnya Bukittinggi. Sindodirejo, M. Zein Arief, dan Abdullah Sani, telah dapat mendirikan Sekolah Menengah Pertama dengan nama (PGA 4 Tahun Muhammadiyah) dengan gurunya antara lain Ya’cub B sebagai Kepala Sekolah, M. Zein Arief, Abdullah Sani, H. Husin, Hasan Basri, Danin Bakri dan Daud Bimbang. Pada tahun 1970, karena kekurangan biaya dan tingkat ekonomi masyarakat mulai merosot, maka sekolah tersebut terpaksa ditutup.
Barulah pada tahun 1971 sekolah didirikan kembali dengan nama Muallimin/SMP Filial Muallimin Bangkinang dengan gurunya Miras.M, sebagai kepala, guru-gurunya yaitu Umar Mauni, Baihaki, M.Saat, Jaali Ba, Ilyas, Nasaruddin, Basri D. Pada tahun 1976 murid Muallimin/SMP ini telah mengeluarkan lulusannya dan mereka meneruskan pen-didikannya di Muallimin Bangkinang. Pada tahun 1979/1980 sekolah Muallimin tersebut berubah nama menjadi Madrasah Tsanawiyah yang dikepalai oleh Syahril T, dengan guru-gurunya antara lain Baihaki, Ilyas, M. Saat, M. Dani, Umar Mauni dan Tabrani.
Melihat sekolah ini semakin hari menjadi pusat perhatian masyarakat, maka didirikanlah madrasah tersebut di atas tanah wakaf Khairuddin yang berlokasi di Bukit Pematang Petai dengan ukuran 40x50 m. Adapun panitia pembangunan sekolah tersebut adalah Haji Kasman, Miras.M, Anwar.R, Nazaruddin, Asmar, Khairuddin, Husin Mayur, Tamrin J, Rusli PK dan Abdullah Sani. Kegiatan ini didukung oleh para pelajar yang mengaji di Muallimin Bangkinang seperti Hamzah Yunus dan Husin Syuib. Pada tahun 1944 pulang pula dari Malaya beberapa pemuda pelajar antara lain A. Rahim Arief (Pulau Belimbing).
Kehadiran Muhammadiyah pada mulanya memang mendapat tantangan dari sebagian pemuka negeri, karena keterbatasan wawasan mereka di bidang keagamaan. Akan tetapi, berkat kesungguhan pemuka Muhammadiyah ini, dakwah dapat berjalan terus meskipun hambatan dan kendala belum juga reda. Salah satu keputusan musyawarah pada waktu itu membentuk Cabang Muhammadiyah Kuok berpusat di Kebuh Tengah Pulau Balai. Di kantor inilah digerakkan organisasi Muham-madiyah, sehingga masyarakat Kenegerian Kuok meng-anggap Muhammadiyah itu sebagai milik mereka. Berkat dukungan masyarakat, Muhammadiyah waktu itu berhasil mendirikan rumah sakit bersalin (yang sekarang dipakai oleh BKIA) di samping Kantor Kepala Desa Kuok. Gedung sekolah tersebut bertempat di sebelah arat Pasar Kuok yang sekarang telah menjadi lokasi Mesjid Al-Ittihad.
Sebagai organisasi kemasyarakatan, Muhammadiyah Kuok tidak berpangku tangan menggerakkan umat untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi melalui dakwah Muhammadiyahlah ditiupkan semangat heroisme untuk merebut kemerdekaan dan mengutuk penjajahan. Tempat penaikan bendera merah putih pertama kali adalah di depat kedai Ilyas Thaib Pasar Kuok. Patutlah kiranya di tempat ini dibangun tugu peringatan untuk mengenang sejarah yang telah dilupakan itu.
Patut dicatat bahwa Muhammadiyah Kuok memiliki seorang ulama yang cukup tangguh dan mempunyai ilmu dan wawasan luas tentang Islam, yaitu A. Rahim Arif yang baru kembali ke tanah air di tahun 1944 dari menyelesaikan studinya di Ma’hadul Ihya’ussyarif Bunng Semenggul Perak Malaysia. Pada tahun 1956 diadakan muzakarah tentang azan 2 kali hari Jumat di Surau Tinggi Pulau Balai, yang dihadiri oleh ustazd A. Hamid Sulaiman (pernah menjadi Ketua MUI Propinsi Riau). Amal usaha nyata dari Muhammadiyah Cabang Kuok sejak dahulu sampai sekarang terfokus kepada ma-salah pendidikan, dakwah, dan sosial.
Sesuai dengan tujuan dan azas berdirinya, maka Muhammadiyah mengalami perkembangan yang begitu pesat, dari kota besar sampai ke desa-desa seluruh Indonesia. Sehubungan dengan pesatnya perkembangan Muhammadiyah di daerah ini, maka pada tahun 1935 didiri-kan dua buah lembaga pendidikan Islam, yaitu Rakyat Muhammadiyah (SRM) dan mushalla yang disamping untuk tempat ibadah juga digunakan sebagai tempat pengajian dua kali seminggu, yaitu setiap malam Jum’at dan malam Selasa.
Melalui mesjid tersebut diadakan pengajian secara intensif dengan tujuan melenyapkan segala paham yang mengandung unsur syirik, bid’ah, takhayul, dan khurafat. Oleh karena Ranting Muhammadiyah Desa Gobah berkembang sangat pesat, dan anggotanya meluas sampai ke daerah sekitarnya, maka didirikanlah ranting-ranting yang baru. Setelah mendapat persetujuan, maka pada tahun 1967 Muhammadiyah Cabang Kampar IV tersebut secara resmi didirikan dan berkedudu-kan di Danau Bingkuang.
Adapun susunan personalia pimpinan Muham-madiyah Cabang Kampar IV pada periode pertama adalah: Ketua Umum : Harun Dt. Usulan tersebut disetujui oleh PWM Riau dan resmi terbentuk Cabang Muhammadiyah Kampar V yang berkedudukan di Desa Gobah Kecamatan Tambang.
Adapun Pimpinan Muhammadiyah Tambang II pada periode pertama masa jabatan 1990-1995 sebagai berikut: Ketua Umum : DRS. Sebelum tahun 1858, Pulau Bengkalis adalah pusat peme-rintahan Keresidenan yang dikepalai oleh seorang Resident dengan wilayahnya meliputi Kepulauan Riau dan Sumatera Timur. Desa Bantaian adalah sebuah kampung yang berada di wilayah Distrik Bagai Siapi-api, terletak lebih kurang 20 Km dari Kota Bagan-Siapi-api. Kehidupan sosial ekonomi masyarakat Bagan Siapi-api pada waktu itu lebih tergantung kepada hasil hutan dan perkebunan. Walaupun demikian, mereka tidak begitu dipersoalkan, karena agama telah masuk ke sini pada abad ke-15 dan 16 masehi yang dibawa oleh Syarif Ali Dt Batu Hampar dari Negeri Pasai, Aceh. Adapun mengenai perkawinan tetap dilak-sanakan menurut Islam, tetapi harus terdaftar di kerajaan Siak Sri Indrapura.
Sedangkan orang pribumi diadili oleh Sulthan Siak atau pejabat di bawah beliau yang dalam hal ini ditunjuk Distrik Hofd. Kelak salah seorang anak Abdur Rauf ini yang bernama Mansyur, menjadi tokoh pergerakan Muham-madiyah di Bagan Siapi-api. Mahidin sendiri adalah menantu Datuk Indra Pahlawan yang terkenal, ia mempunyai hubungan dengan Raja Siak Sri Indrapura. Zakaria Nali walaupun pendidikannya rendah, tetapi beliau memiliki kemampuan yang baik dan berkemauan keras untuk memajukan masyarakatnya.
Beliau juga melakukan “Metode Desimal System”, yaitu adanya satu lingkaran besar, di atas kain besar itu dibuat pula lingkaran kecil, spora-spora berkedip sehingga satu orang yang berada di desa terpencil akan punya pengikut minimal empat orang sehingga simpatisan lebih banyak daripada anggota. Pada tanggal 8 Agustus 1935 karena telah memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri, disyahkan menjadi daerah cabang.
Perkembangan seperti ini bukanlah atas instruksi dari Muhammadiyah Cabang Bagan Siapi-api, tetapi lebih banyak disebabkan oleh pindah tugas ke Dumai sebagai Kepala Urusan Agama (KUA). Muhammadiyah berkembang di Selat Panjang melalui Bengkalis, kemudian sebahagian ke Sungai Apit, Lalang, Kayu Ara. Beliau juga muballigh dari Sumatera Timur yang telah diundang memberikan pengajian (tabligh akbar) di Bantaian.
Sebenarnya masih banyak lagi tokoh-tokoh yang belum terlacak dalam kajian sejarah Muhammadiyah di Bagan Siapi-api ini. Maka tinggallah raja di istana, diberi makan tetapi tidak memiliki kekuasaan karena telah dirampas oleh tentara Jepang.
Gerakan Muhammadiyah yang pada mulanya telah berkembang pesat di Bagan Siapi-api dan sekitarnya mulai lesu, hal ini terutama sekali karena tidak lagi mendapat dukungan perlindungan dari Raja. Walaupun sekolah Muhammadiyah tetap berjalan tetapi pola pelajaran sudah berubah menjadi Aiueo, Kakikukeko, Tatituteto, Sasisuseso.
Pada zaman Jepang inilah berakhirnya periode konsulat, Muhammadiyah Bagan Siapi-api tidak lagi berhubungan dengan Medan. Misalnya mereka ingin dibuatkan jalan dari satu tempat ketempat lain dan harus siap dalam jangka waktu tertentu. Kecenderungan untuk menjajah ini dilanjutkan oleh pendudukan Nippon Jepang, meskipun dalam kurun waktu yang relatif singkat tetapi cukup membekas dalam hati dan sanubari kaum bumi putra, apalagi kewajiban hormat pada Matahari sambil mengumandangkan lagu Kebangsaan Jepang Kimigayo setiap pagi yang diterapkan oleh pemerintah Nippon untuk seluruh kaum bumiputra diseluruh Persada Nusantara ini, perbuatan pemerintah Jepang seperti ini dianggap pendangkalan aqidah oleh Pemimpin Agama Islam waktu itu. Secara global pejuang-pejuang Islam telah berusaha melakukan perlawanan bersenjata terhadap kaum penjajah diseluruh kawasan Nusantara. Tuan Guru Abdurrahman Siddiq bin Muhammad Apip diterima dengan baik oleh kerajaan Melayu Indragiri dan diangkat sebagai mufti kerajaan dari tahun 1908 – 1939 berkedudukan di tembilahan, sampai beliau meninggal dunia pada tanggal 10 maret tahun 1939 dan dimakamkan di Parit Hidayat Sapat Kuala Indragiri sekarang. Meskipun Tuan guru ini sudah menerima ajaran pembaharuan dari jazirah Araia bersama dengan Syekh Iobrahim Jambek (pendiri Madrasah Sumatera Thawalib Parabek Bukit Tinggi).
Belum adanya sekolah atau madrasah untuk menyiarkan ajaran agama Islam secara formal struktural, sebab kondisi waktu itu masih berada di bawah jajahan kolonial Belanda. Setelah meninggalnya tuan Guru pada tanggal 10 maret 1939 dan dikebumikan di Parit Hidayat Sapat Kuala Indragiri, ajaran agama dilanjutkan oleh murid-murid beliau sekaligus menanamkan perasaan kultus (Penghormatan yang berlebihan) terhadap almarhum tuan Guru tersebut sampai sekitar tahun 1965 dan bahkan sampai sekarang masih ada masyarakat islam yang menghormati atau meminta sesuatu di makam (kuburan) beliau atau acara zairah kubur ke hidayat.
Meskipun demikian usaha yang dilakukan oleh kaum pendatang ini tetap tegar dan konsekuen memegang keyakinan dan paham Muhammadiyah , meskipun tetap membaur dengan masyarkaat setempat baik dalam kehidupan sosial ekonomi maupun kehidupan amalan ajaran agama Islam. Belum adanya tempat (ruangan) yang bisa digunakan untuk berkumpul dan bermusyawarah membicarakan gerak langkah persyarikatan Muhammadiyah di Tembilahan 3. Belum adanya dukungan dari penguasa kewedanaan Tembilahan waktu itu untuk mendirikan secara resmi persyaraikatan Muhammadiyah.
Dari beberapa kendala itulah mungkin yang menjadi sebab utama maka persyarikatan Muhammadiyah itu belum berdiri secara organisatoris di kewedanaan Tembilahan sampai sekitar tahun 1949 M. Meskipun pada sekitar tahun 1946 tersebut secara organisatoris Muhammadiyah belum ada kifrahnya di Tembilahan, tetapi paham dan ajaran Muhammadiyah itu secara berangsur-angsur tetapi pasti telah merambah kebeberapa daerah di wilayah keweadnaan tembilahan, bukan saja pada tingkat masyarakat bawah (masyarakat awam) tetapi juga ditingkat birokrat (kalangan pegawai) yang statusnya juga perantau dari berbagai penjuru Nusantara). Hikmat kadir datang dari Banjamasin sebagai pensiunan tentara dan menetap di Tembilahan membawa misi Muhammadiyah . Engku Mudo Muhammad Yazid dari Taluk Kuantan datang ke Jerambang/laking ingin menjadi guru agama disekolah-sekolah dan membawa misi Muhammadiyah . Dan banyak lagi tokoh-tokoh lain dari daerah yang punya misi Muhammadiyah untuk dikembangkan di Tembilahan.
Struktur pimpinan masih bersifat sementara sesuai dengan kondisi waktu itu yang terdiri dari : Ketua : Ahmad Djazuli Sekretaris : Nawazar Yamin Bendahara : Amir Hamzah Anggota : 1. Khairu Karimun Perkembangan Setelah Kelahiran Kemudian pada tahun 1960, H. Sa’luddin mewakafkan sebuah bangunan gedung kepada persyarikatan Muhammadiyah untuk dijadikan tempat kegiatan operasional dan kegiatan amal usaha lainnya (lokasi bangunan gedung di jalan kapten mukhta sekarang).
Maka pada waktu kondisi umat Islam seperti itu datanglah seorang guru (ustazah) tamatan Mualimin Padang Panjang dengan penampilan yang dirasa asing bagi masyarakat Teluk Pinang. Daerah ini penghasil sagu, yang pada masa lampau merupakan komuditi ekspir, tetapi sekarang umumnya dikirim ke Jawa.
Ketimpangan social tentu tak dapat dielakkan, walau ada juga orang-orang melayu yang mencoba berusaha dibidang ekspor-impor, traansportasi dan lai-lain, tidak jarang setelah berjalan beberapa bulan atau tahun,. Sunggupun beliau bukan pendirinya, namun keberadaannya bertahun tahun sangat menentukan perkembangan Muhammadiyah hingga kini. Pengalaman, pengetahuan, ketekunan dan keikhlasan bapak Raharjo Periotomo membuahkan hasil dalam mengemban misi dakwahnya. Biaya hidup dan menghidupkan Muhammadiyah hanya dengan bermodal 6 ringgit emas yang dibawanya dari Solo.
Beberapa ranting sudah mulai tidak aktif lagi, walaupun SMP Muhammadiyah yang didirikan oleh seorang anak didiknya, Drs. 9 diantaranya masih aktif, sedang du ranting lain memerlukan pembinaan yang serius dengan mendidik kader Muhammadiyah.
Sehingga sdalam konferensi meja bundar di Belanda Pemerintahan federal Riau mengirimkan utusan Muchtar Husin dan Raja Muhammad. Pada tahun itulah baru Kepulauan Riau bergabung dengan negara kestuan Republik Indonesia, dimasukkan ke Provinsi Sumatera Tengah.
Status keresidenan belum dihapus, pemerintah RI mengangkat residen koordinator yaitu Wibisono dan Sis Cakraningrat. Keterangan di atas dibenarkan oleh Haji Syarif sutan mudo seorang pensiunan Perwira CPM yang masa tuanya dihabiskan untuk berdakwah mendirikan sekolah, mesjid, mushalah dan lain-lain. Mata pencarian rakyat tempatan selain dari pada nelayan juga petani Karet sedangkan para pendatang lebih banyak bergerak dibidang Bisnis.
Estapet kepemimpinan Muhammadiyah selanjutnya bersada di H. Syarif Sutan Mudo dimasa kepemimpinan H. Syarif kegiatan dakwahnya dimulai dengan pembebasan tanah tanah yang terletak ditepi jalan raya untuk dijadikan p[ermbangiunan mesjid yang paripurna dimana terdapat taman kanak-kanak balai pengobatan disamping bangunan mesjid. Keinginan H. Syarif St muda tersebut berkat dukungan kawan-kawannya yang duduk di pemerintahan seperti Sahbandar (Pak Tangiran) DPR Datuk Gunung Hijau, Camat, Bupati bahkan Bapak Panglima Kodamar (Komando daerah Maritim).