Hukum Wakaf Orang Yang Mumayyiz Adalah. Dua golongan baik mukalaf atau mumayiz dianggap sudah mampu memikul beban syariat dalam khazanah hukum Islam. Mukalaf secara kaidah ushul fikih adalah orang yang mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah SWT maupun dengan larangan-Nya. Para ulama fikih berpendapat, dasar penetapan beban hukum (taklif) adalah akal dan pemahaman. Misalnya, anak kecil yang belum sempurna pemahamannya terhadap hukum-hukum Islam. Maka, ia tidak dibebankan taklif. Begitu juga dengan orang gila yang kehilangan akalnya, ia tidak dapat disebut sebagai mukalaf.

Fase at-tufulah adalah fase anak kecil yang belum mampu membedakan antara yang bermanfaat dan yang mudarat untuk dirinya. Dan jika sampai usia 15 tahun tidak ada tanda-tanda fisik dari akil baligh, ia sudah dianggap akil baligh.

Imam Muhammad Abu Zahrah, pakar usul fikih dari Mesir, membagi dua fase seseorang yang bisa dibebani taklif. Sementara, jika ia memberikan hibah, jual-beli dengan kerugian yang mencolok atau mewasiatkan harta kepada orang lain maka dianggap tidak sah.

Mengenal Mumayyiz sebagai Syarat Sah Puasa Ramadhan

Hukum Wakaf Orang Yang Mumayyiz Adalah. Mengenal Mumayyiz sebagai Syarat Sah Puasa Ramadhan

Rukun Islam ketiga ini diwajibkan oleh Allah SWT melalui firman-Nya dalam Q.S Al Baqarah ayat 183 sebagai berikut:. Kewajiban ini berlaku untuk umat Islam yang memenuhi ketentuan atau syariat agama.

Dikutip dari Jurnal Al Ulum, Mustafa Ahmad al-Zarqa mengatakan bahwa menurut ushul fiqh, mumayyiz adalah periode setelah masa at-thuful-lah. Sementara itu, ketika anak sudah memasuki masa baligh, maka ia dikenakan syarat wajib untuk beribadah. Beberapa ulama kalangan fuqaha memperkirakan usia anak yang sudah mumayyiz adalah 7 tahun.

Sahabat hikmah, itulah pengertian mumayyiz sebagai salah satu syarat sah puasa Ramadhan.

Empat Syarat Orang yang Memberikan Wakaf (Wakif) Halaman 1

Hukum Wakaf Orang Yang Mumayyiz Adalah. Empat Syarat Orang yang Memberikan Wakaf (Wakif) Halaman 1

Nah, melihat dari definisi tersebut, wakaf menjadi sah apabila telah terpenuhi seluruh rukun dan syaratnya. Sebelum membahas tentang rukun wakaf, berikut 4 adalah syarat-syarat wakif, harus dipenuhi terlebih dahulu oleh orang-orang yang mewakafkan hartanya di jalan Allah.

Sedangkan hamba sahaya tidak pernah mempunyai hak milik, dirinya dan apa yang dimiliki adalah kepunyaan tuannya. Namun demikian, Abu Zahrah mengatakan bahwa para fuqaha’ sepakat, budak itu boleh mewakafkan hartanya bila ada izin dari tuannya, karena Ia sebagai wakil darinya. Namun di zaman seperti sekarang ini, nampaknya sudah tak mungkin ada lagi manusia berkategori budak.

pendapat ulama, syarat dan rukun akad, KHES

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa konsep akad dalam Islam. Para pihak yang melakukan akad harus mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan akad. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu penelitian yang menggambarkan konsep- konsep akad menurut para ulama fiqh untuk kemudian dianalisis terkait penerapannya pada akad-akad yang berlaku dalam lingkup ekonomi syariah. Terdapat perbedaan pendapat diantara ulama diantaranya terkait rukun akad, menurut hanafiyah rukun akad hanya satu yaitu shighat akad sedangkan menurut jumhur ulama rukun akad meliputi shighat akad, kedua belah pihak yang melakukan akad serta obyek akad.

Hubungan antar manusia yang satu dengan yang lain tidak dapat terlepas dari suatu transaksi yang dalam bahasa arab disebut sebagai mu�amalah (Pradja, 2012). Secara umum, makna akad yaitu segala sesuatu yang diinginkan oleh seseorang untuk dilakukan, baik keinginan tersebut muncul dari dalam dirinya sendiri maupun yang mengharuskan adanya kehendak dari kedua belah pihak (Rivai, 2010).

Perbedaan pendapat ulama juga terdapat pada penentuan syarat dan rukun akad, sebagaimana hanafiyah yang menjadikan sigat akad sebagai satu-satunya rukun akad sedangkan jumhur ulama menjadikan para pihak yang berakad, obyek akad dan sigat akad sebagai rukun akad yang harus dipenuhi (Al-zuhailī, 2008). Sebagaian ulama melarang pelaksanaan multi akad berdasarkan larangan nabi untuk melakukan dua jual beli dalam satu transaksi (Al-�Imronī, 2006), sedangkan pendapat ulama yang lain yang membolehkan multi akad berdasarkan pada kaidah yang menyatakan bahwa setiap transaksi muamalah itu halal kecuali apabila ada dalil yang mengharamkannya (Al-�Imronī, 2006). Dengan demikian, dalam tulisan ini akan dibahas mengenai beberapa poin penting terkait akad diantaranya yaitu definisi, syarat, rukun dan asas-asas akad beserta pendapat-pendapat ulama terkait hal tersebut, dasar hukum melakukan akad serta pembagian akad.

Pertama, al-�uqūd dalam lingkup makna umum yaitu setiap keharusan dan ikatan, baik dilakukan oleh dua pihak yang saling berinteraksi seperti jual beli, maupun yang dilakukan oleh satu pihak saja seperti sumpah atau al-yamin (Al-�Imronī, 2006). Makna akad secara khusus menurut hanabilah, syafiiyah dan hanafiyah yaitu tekad kedua belah pihak yang berakad atau bersumpah untuk melakukan sesuatu yang diawali dengan adanya ijab kabul (Jār Allāh, 1438). Menurut fiqh hanafiyah sebagaimana dalam majallāt al-ahkām al-�adliyāt yang dikutip oleh abd al-azīz menyatakan bahwa akad yaitu, kesepakatan kedua belah pihak terhadap sesuatu yang diungkapkan dalam ijab dan qabul. Makna akad menurut fiqh hanabilah yaitu muamalah yang menimbulkan kewajiban dianatara kedua belah pihak berdasarkan adanya ijab dan qabul (Jār Allāh, 1438). Berdasarkan beberapa makna di atas, akad menurut istilah fikih yang bersifat khusus mencakup seluruh akad-akad māliyah yang dilaksanakan oleh dua belah pihak atau lebih seperti akad jual beli, ijarah, gadai dan lain sebagainya, serta akad-akad gair māliyah seperti akad nikah dan lain-lain. Penggunaan kalimat akad dapat digunakan secara langsung sebagaimana makna asalnya yang bermakna ikatan seperti mengikat tali dan dapat pula digunakan secara kiasan yaitu ikatan antara ijab dan qabul.

Dengan demikian, ahli bahasa menggunakan kalimat akad secara maknawi atau kiasan seperti jual beli, nikah dan lain sebagainya (Jār Allāh, 1438). Dalam pasal 262 Mursyid al-Hairan sebagaimana dikutip Syamsul Anwar, akad merupakan pertemuan antara ijab yang diajukan oleh salah satu pihak dengan qabul dari pihak lain yang kemudian menimbulkan akibat hukum pada objek akad (Anwar, 2010).

Pengertian Akad menurut kompilasi hukum ekonomi syariah adalah suatu kesepakatan dalam suatu perjanjian yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu (Perundang-Undangan, 2010) �Di Indonesia, akad dikenal dengan istilah kontrak. Menurut Ibnu Abidin sebagaimana dikutip Manan, makna kontrak secara terminologi yaitu pertalian antara ijab dan qabul yang sesuai dengan kehendak Allah dan RasulNya dan dibenarkan oleh syariah yang kemudian menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya (Manan, 2012). Dari uraian mengenai makna akad di atas, akad menurut penulis yaitu kesepakatan atau hubungan antara dua pihak atau lebih yang diungkapkan dalam suatu ijab dan qabul untuk melakukan maupun tidak melakukan sesuatu, serta menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya.

Dalam lingkup hukum Indonesia, akad disebut dengan istilah perjanjian, perikatan (Saebani, 2018) atau hukum kontrak sebagaimana dalam KUHPerdata. Hukum adat yang berkaitan dengan hukum kontrak yang berlaku pada masa itu meliputi kontrak yang berkaitan dengan tanah, perkawinan, jual beli dan lain sebagainya.

Namun demikian, kontrak tersebut pada umumnya dilakukan secara lisan saja dan bersifat riil sehingga apabila kontrak tersebut belum dilakukan dan baru hanya kesepakatan saja maka kontrak tersebut dianggap tidak pernah ada (Fuady, 2007). Pendapat-pendapat mengenai makna akad dalam lingkup hukum Indonesia menunjukan beberapa hal yaitu pertama, akad merupakan pertemuan antara ijab dan qabul yang mengakibatkan timbulnya suatu akibat hukum.

Kedua, akad merupakan tindakan hukum yang dilakukan oleh dua pihak. Ketiga, akad bertujuan untuk melahirkan akibat hukum yaitu mengungkapkan maksud bersama yang dituju dan yang hendak diwujudkan oleh para pihak melalui pembuatan akad tersebut (Anwar, 2010), (Abidin, Andreas, Djaja, Darmawan, & Gamal, 2008), (Basyir, 2000) syarat dan rukun akad. Rukun dan syarat akad yang harus dipenuhi dalam melakukan akad, menurut madzhab hanafi rukun akad hanya satu yaitu sighat akad yang berupa ijab dan qabul, atau perbuatan yang menunjukan adanya keridoan untuk melakukan pertukaran baik berupa ucapan maupun perbuatan, sedangkan syaratnya adalah �aqidain dan al-ma�qud �alaih atau objek akad (Al-zuhailī, 2008).

Hal ini dikarenakan tidak mungkin dapat terjadi shighat ijab qabul apabila tidak ada kedua org yang berakad dan tidak ada obyek akad. Jumhur ulama berpendapat bahwa rukun akad yaitu al-�aqidain atau dua pihak yang berakad, al-ma�qud �alaih atau obyek akad dan sighat al-�aqdi yaitu ijab dan qabul (Rajafi, 2013). Dalam KHES rukun akad terdiri dari empat unsur yaitu para pihak yang melakukan akad, obyek akad, tujuan pokok akad dan kesepakatan (Perundang-Undangan, 2010). Syarat bagi para pihak menurut KHES yaitu memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum (Perundang-Undangan, 2010) Demikian halnya menurut jumhur ulama yang mensyaratkan �aqidain haruslah orang yang berakal dan mumayyiz (Al-zuhailī, 2008). Berdasarkan KHES, syarat obyek akad adalah amwal atau jasa yang dihalalkan dan dibutuhkan oleh masing-masing pihak (Perundang-Undangan, 2010) Jumhur ulama mensyaratkan bahwa obyek akad harus berupa sesuatu yang suci, obyek akad ada dan dapat diserahkan pada saat dilakukan akad, dapat ditentukan dan diketahui (Al-jazīrī, 2004), (Al-zuhailī, 2008), (Basyir, 2000). Setelah memahami beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam akad, dapat dipahami bahwa pelaksanaan akad dapat dikelompokan menjadi dua bagian yaitu akad dilakukan dengan ucapan seperti nikah dan lain sebagainya dan akad yang dilakukan dengan perbuatan seperti jual beli mu�athah menurut sebagian ulama (Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Kuwait, 1986).

Di Indonesia, pelaksanaan ijab dan qabul dapat dilakukan dengan empat cara yaitu lisan, tulisan, isyarat dan perbuatan (Rajafi, 2013), (Basyir, 2000). B. Asas-Asas Akad.

Asas-asas akad dikemukakan dalam BAB II pasal 21 KHES diantaranya yaitu, asas sukarela (Pradja, 2012), amanah atau menepati janji, asas kehati-hatian, luzum atau tidak berubah, saling menguntungkan, adanya kesetaraan, transparansi, adanya kemampuan, kemudahan, i�tikad yang baik dan sebab yang halal (Perundang-Undangan, 2010) Syamsul Anwar mengemukakan beberapa asas-asas perjanjian dalam hukum islam secara lebih rinci diantaranya yaitu pertama, asas ibahah yang merupakan asas umum hukum islam dalam bidang muamalat. Berdasarkan asas-asas tersebut dapat diketahui bahwa apabila para pihak tidak melakukan akad, sama halnya dengan tidak melakukan syariah.

C. Hukum akad. Pertama, akad yang sah yaitu akad yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya.

Menurut Jumhur ulama, hukum akad dibagi menjadi dua yaitu akad yang sah dan akad yang tidak sah. An-nisa: 33 lafadz ﻋﻘﺪﺕ bermakna janji setia yang diucapkan oleh seseorang kepada orang lain untuk saling mewarisi (Kaṡīr, 2005). Secara spesifik, Zaid bin Aslam berpendapat bahwa akad-akad yang dimaksud pada ayat ini meliputi enam hal yaitu, janji hamba kepada Allah, akad syirkah, akad jual beli, akad nikah, akad sumpah, bersumpah dengan nama Allah, akad sumpah (Kaṡīr, 2005). Dalam ayat ini tali yang maksud adalah simpul-simpul atau buhul-buhul yang digunakan oleh penyihir (Shihab, 2016). Berdasarkan beberapa ayat di atas, dapat diketahui bahwa lafadz ﻋﻘﺪ dan beberapa turunannya yang terdapat dalam al-quran memiliki beragam makna umum dan khusus, namun demikian hanya terdapat satu ayat yang menunjukan makna akad secara umum yakni lafadz ﺍﻟﻌﻘﻮﺩ sebagaimana dalam Q.S. Kedua, akad pokok dan akad asesoir seperti akad jual beli dan akad kafalah.

Menurut Najih Hammad sebagaimana dikutip oleh Hasanudin dalam desertasinya, akad murakkab yaitu, kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu akad yang mengandung dua akad atau lebih di dalamnya seperti jual beli dengan sewa, syirkah, mudharabah dan lain- lain, sehingga semua akibat hukum akad-akad yang terhimpun tersebut, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, sebagaimana akibat hukum dari satu akad (Abidin et al., 2008). Secara garis besar, pendapat para ulama terkait hukum asal al- �uqūd al-māliyah dapat dibagi menjadi dua yaitu pertama, pendapat jumhur ulama hanafiyah, sebagian malikiyah, syafi�iyyah dan hanabilah yang menyatakan bahwa, hukum al-�uqūd al-māliyah al-murakkabah adalah boleh dan sah, tidak haram dan tidak batal kecuali ada dalil syar�i yang mengharamkannya berdasarkan Q.S.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa akad yaitu kesepakatan atau hubungan antara dua pihak atau lebih yang diungkapkan dalam suatu ijab dan qabul untuk melakukan maupun tidak melakukan sesuatu, yang kemudian menimbulkan hak dan kewajiban di antara para pihak. Kedua, landasan hukum melakukan akad yaitu berdasarkan Q.S. Land subsidence characteristics of Jakarta between 1997 and 2005, as estimated using GPS surveys. Ahkām wa Ḍawābit Al-�Uqūd Al-elektrōniyah fī Al-fiqh Al-Islāmī wa Al-qānūn �bi Al-taṭbīq �Alā Niẓām Al-ta�āmulāt Al-elektrōniyah Al-Su�ūdi.� Riyāḍ: Dār Al kutub Al-jāmi �ili Al-nayr wa Al-tauzi. Kairo: Dār Al - ḥadīṡ. Hukum Ekonomi Dan Akad Syariah Di Indonesia.

Related Posts

Leave a reply