Waktu Sholat Subuh Di Indonesia Terlalu Cepat. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) merespons keputusan Muhammadiyah yang memundurkan waktu subuh 8 menit di Indonesia. Peneliti LAPAN Rhorom Priyatikanto menjelaskan mundurnya waktu subuh ala Muhamadiyah tidaklah salah, namun berbeda pada perspektif identifikasinya saja.
Rhorom kemudian mengamini Pedoman Hisab Muhammadiyah yang menjelaskan bahwa waktu subuh dalam posisi matahari minus 18 derajat. "Kriteria tersebut berdasarkan hasil observasi rukyat fajar yang dilakukan oleh Tim Falakiyah Kemenag di Labuan Bajo pada tahun 2018 dan juga hasil observasi rukyat fajar di Banyuwangi yang dilakukan oleh peneliti dari Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama," kata dia. Melihat perbedaan itu, Kamaruddin mengimbau umat Islam tidak ragu menggunakan kriteria waktu Subuh yang diterbitkan Kemenag.
"Kami sampaikan kepada masyarakat untuk tidak ragu menggunakan jadwal salat yang telah ditetapkan oleh Kementerian Agama RI," kata dia.
Contoh Waktu Salat Bulan Mei di DKI Jakarta Berdasarkan ISRN Uhamka Foto: Istimewa Contoh Waktu Salat Bulan Mei di DKI Jakarta Berdasarkan ISRN Uhamka Foto: Istimewa. - I slamic Science Research Network (ISRN) Uhamka melakukan penelitian terhadap waktu salat di Indonesia.
Menurut Tono, Salat Subuh seharusnya dimulai saat sun depression angle atau DIP berada di 13,3 derajat. DIP yang ditetapkan pemerintah, kata dia, berbeda sekitar 6,7 derajat dengan hasil penelitian ISRN Uhamka. Artinya, kegairahan untuk melakukan penelitian sebagai aktivitas keilmuan bagi pusat-pusat studi keislaman itu sangat bermanfaat.
Hal itu dilakukan untuk memverifikasi hasil penelitian yang menyebut ada perbedaan waktu salat. "Terhadap hasil penelitian yang menyatakan waktu subuh lebih cepat mestinya hal itu segera dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: Seminar, diskusi ilmiah dan sosialisasi lainnya ke pusat-pusat kegiatan umat seperti di MUI, Muhammadiyah, NU dan lain-lainnya, termasuk ke Kemenag tentunya. Tujuannya, untuk menguji kesahihan dari hasil penelitian tersebut agar tercapai ittifaq atau setidaknya ada kata taslim baik dalam metodologi atau substansi," imbuhnya.Berikut perbedaan waktu salat yang ditetapkan Kementerian Agama dengan contoh waktu salat yang dipaparkan oleh ISRN Uhamka di DKI Jakarta:.
Waktu subuh sesuai kriteria yakni posisi matahari berada pada minus 20 derajat. REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin mengatakan, waktu subuh yang digunakan saat ini sudah tepat dan sesuai kriteria yakni posisi matahari berada pada minus 20 derajat. Selama ini yang diyakini yakni subuh pada saat posisi matahari minus 20 derajat.
"Ketika ada keraguan, Tim Kemenag (Kementerian Agama) melakukan pengamatan di Labuan Bajo menggunakan alat SQM (Sky Quality Meter) dan Kamera DSLR (Digital Single Lens Reflex) dan diperoleh hasil pada posisi matahari minus 20 telah dijumpai cahaya fajar," ucapnya. Sementara itu, putusan munas tarjih ke-31 Muhammadiyah salah satunya dengan memberikan koreksi waktu subuh untuk Indonesia dari yang semula posisi matahari di ketinggian minus 20 derajat menjadi minus 18. Untuk itu Tim Hisab Rukyat Kementerian Agama RI melakukan pengamatan fajar di daerah yang minim polusi cahaya.
Hasilnya, munculnya fajar pada saat ketinggian matahari -20 derajat mempunyai dukungan data pengamatan, jadi jadwal shalat yang dikeluarkan Kementerian Agama tidak terlalu cepat.
Lembaga riset Islamic Science Research Network atau ISRN Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka, mengoreksi waktu salat yang dirilis Kementerian Agama. Lembaga tersebut mengatakan, waktu Isya di Indonesia terlambat sekitar 18-19 menit. Sedangkan waktu salat Subuh selama ini terlalu cepat rata-rata 26 menit.
Terkait hal tersebut, Anggota Tim Hisab Rukyat Kementerian Agama, Thomas Djamaluddin menegaskan, jadwal waktu salat yang dirilis Kementerian Agama sudah sesuai dengan ketentuan syar'i dan astronomi. "Umat Islam di Indonesia tidak perlu risau dengan hasil penelitian ISRN," kata Thomas yang merupakan Profesor Riset Astronomi-Astrofisika Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (LAPAN) dihubungi, Kamis 9 Mei 2019.
Dia menjelaskan, waktu Isya didasarkan pada pengamatan dan perhitungan fajar astronomi yakni saat posisi Matahari rata-rata 18 derajat di bawah ufuk (-18 derajat). Sedangkan waktu Subuh ditentukan pada awal fajar astronomi di Indonesia, yang mana saat posisi Matahari yakni 20 derajat di bawah ufuk atau (-20 derajat). Fajar astronomi ini ditandai dengan meredupnya bintang-bintang di ufuk timur karena mulai munculnya cahaya akibat hamburan cahaya Matahari oleh atmosfer.
Kriteria ini dipakai Mesir pada masa lalu dan diadopsi oleh kawasan Asia Tenggara termasuk di Indonesia.
Terjadi perdebatan terhadap pendapat baru bahwa waktu Subuh di Indonesia terlalu pagi. Keputusan ini merupakan salah satu hasil Musyawarah Nasional (Munas) ke-31 Tarjih Muhammadiyah yang disampaikan pada Ahad (20/12) lalu. Saat itu dia mengakui terjadi perdebatan terhadap pendapat baru bahwa waktu Subuh di Indonesia terlalu pagi. "Supaya lebih akurat, kemudian dilakukan penelitian karena memang kelihatannya Indonesia ini paling pagi (waktu Subuhnya).
Jadi akhirnya dikurangilah (waktu Subuh), mendekati yang banyak diamalkan di beberapa negara, yaitu 18 derajat," kata dia kepada Republika.co.id, Senin (21/12). "Ada Ahli Astronomi Mesir Ahmad Sulaiman yang menilai patokan di negaranya itu kepagian. Jadi beliau secara pribadi memundurkan shalatnya kurang lebih setengah jam dari jadwal resmi berdasarkan patokan 19,5 itu tadi.
Atas dasar itu, Syamsul menambahkan, Muhammadiyah melakukan penelitian melalui tiga institusinya, yaitu Islamic Science Research Network (ISRN) UHAMKA, Pusat Astronomi Universitas Ahmad Dahlan (Pastron UAD), dan Observatorium Ilmu Falak Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (OIF UMSU). Akhirnya, memang ternyata banyak data bahwa kemunculan fajar tiap hari itu tidak sama. Selain itu, dia mengatakan, rencananya keputusan tersebut juga akan diusulkan ke pemerintah untuk turut mengoreksi patokan waktu dimulainya shalat Subuh di Indonesia.
JURNAL MEDAN - Refly Harun baru-baru ini membahas waktu shalat subuh di Indonesia bersama Prof Tono Saksono. Prof Tono Saksono merupakan seorang yang ahli dalam bidang citra satelit (remote sensing).
Baca Juga: Hari Apes Paridhi, Dari Kokila, Jigar sampai Hetal 'Nyap-Nyap' Semua! Prof Tono Saksono mengatakan bahwa waktu shalat Subuh di Indonesia itu terlalu cepat 20 menit.
"Hal ini dapat dibuktikan, dengan beberapa alat yang dapat diakses oleh semua masyarakat dan mampu dipahami oleh orang awam," kata Prof Tono Saksono di channel YouTube Refil Harun dikutip Jurnal Medan, Senin 20 Desember 2021. Refly Harun menanyakan apakah penelitian yang dilakukan oleh Prof Tono Saksono itu hanya waktu sholat Subuh di Indonesia saja.
Baca Juga: Prediksi Line Up Pemain PSMS Medan vs PSIM Yogyakarta di Babak 8 Besar Liga 2 2021 Live Indosiar Malam Ini.
Waktu masuknya awal shalat subuh yang digunakan di Indonesia selama ini terlalu dini 20-30 menit dari yang seharusnya sehingga perlu dikoreksi, kata Ketua Himpunan Ilmuwan Muhammadiyah Prof Tono Saksono. "Ini hasil riset kami dengan alat Sky Quality Meter (SQM), pengukur kecerlangan benda langit," kata Ketua Islamic Science Research Network (ISRN) Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka) itu pada Seminar Evaluasi Awal Waktu Shalat Subuh Menurut Sains dan Fikih di Jakarta, Selasa (9/5/2017).
Padahal dari hasil observasi sementara, fajar dimulainya shalat subuh bagi umat Islam Indonesia baru terjadi saat sudut depresi matahari pada kisaran 11-15 derajat di bawah ufuk atau bila dikonversi dalam domain waktu setara dengan 44-60 menit sebelum matahari terbit. "Tidak ada satupun indikasi yang menunjukkan bahwa sinar fajar sebagai tanda awal subuh telah muncul saat matahari berada pada sudut depresi 20 derajat," katanya. Menurut dia, penentuan 20 derajat di bawah ufuk merupakan keputusan ulama melayu di masa lalu untuk menentukan awal masuknya waktu shalat subuh dan dimulainya puasa, termasuk digunakan pula oleh ulama Malaysia. "Tapi zaman dulu memang belum ada peralatan secanggih saat ini dan masih mengandalkan pengamatan dengan mata telanjang, jadi wajar jika tidak akurat," katanya.
Sementara itu Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Prof Dr Thomas Djamaluddin mengatakan penggunaan standar 20 derajat di bawah ufuk itu memang sudah waktunya dikoreksi, namun perlu pengamatan dari lokasi yang gangguan atmosfernya minimal sehingga tidak akan mendistorsi hasil data yang diperoleh.
Prof Toto adalah alumni Teknik Geodesi Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta dan menjadi dosen sampai 1994. Kemudian sekarang menjadi dosen di Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka). Kemudian tahun 2018 sudah diterbitkan buku Evaluasi Awal Waktu Subuh dan Isya. Akhirnya saya coba switch, dan tahun 2021 ini saja sudah menerbitkan 4 buah buku berbahasa Inggris,” kata Prof Toto, di kanal Refly Harun. Di buku tersebut melansir data fajar dari seluruh dunia, setidaknya 60-70 negara.