Syarat Solat Jamak Lebih 3 Hari. Bahkan, menurut pendapat ulama yang kuat, mengqashar shalat ketika dalam perjalanan ini hukumnya adalah sunah muakkadah karena Nabi SAW tidak pernah meninggalkannya. Banyak sekali hadis Nabi SAW yang menjelaskan tentang kebo leh an untuk menjama shalat ketika se dang dalam perjalanan ini, di antara nya: Dari Salim, dari ayahnya (Abdullah bin Umar), ia berkata, “Adalah Nabi SAW menjama shalat Maghrib dan Isya ketika beliau di tengah perjalanan.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dari Ibnu Abbas RA, ia berkata, “Rasulullah SAW biasa menjama antara Zuhur dan Ashar jika sedang dalam perjalanan. Begitu juga, jika seseorang me netap di suatu tempat untuk melaku kan atau mengurus keperluannya, tetapi dia tidak meniatkan dan tidak tahu berapa lama ia akan tinggal di tempat tersebut, maka jumhur ulama dari ka langan Mazhab Hanafi, Maliki, Hambali, dan sebagian ulama Mazhab Syafi’i berpendapat ia masih dianggap dalam perjalanan.
Adapun jika seseorang berniat untuk menetap beberapa waktu di suatu tempat, seperti untuk wisata, tugas kerja, dan belajar, maka jumhur ulama berpendapat bahwa berakhirlah hukum safarnya dan ia harus melakukan ibadah-ibadahnya sebagaimana ibadah orang yang menetap. Mazhab Hambali berpendapat, jika ia berniat menetap lebih daripada 20 kali shalat fardu (lebih dari empat hari), maka ia mesti menyempurnakan shalatnya dan melaksanakannya pada waktu yang telah ditentukan. Sedangkan, menurut Mazhab Hanafi, jika seseorang berniat menetap selama 15 hari di suatu tempat, maka habislah masa safarnya dan ia harus melaksanakan kewajiban shalatnya sebagaimana orang yang menetap.
Apakah jika lebih dari empat hari, misalnya sebulan dalam perjalanan, maka shalatnya tanpa dijamak ataupun diqashar? Bahkan, menurut pendapat ulama yang kuat, mengqashar shalat ketika dalam perjalanan ini hukumnya adalah sunah muakkadah karena Nabi saw tidak pernah meninggalkannya. Banyak sekali hadis Nabi saw yang menjelaskan tentang kebolehan menjamak shalat ketika sedang dalam perjalanan ini.
Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, “Rasulullah saw biasa menjamak shalat Zuhur dan Ashar jika sedang dalam perjalanan. Begitu juga, jika seseorang menetap di suatu tempat untuk melakukan atau mengurus keperluannya, tetapi dia tidak meniatkan dan tidak tahu berapa lama ia akan tinggal di tempat tersebut, jumhur ulama dari kalangan mazhab Hanafi, Maliki, Hambali, dan sebagian ulama mazhab Syafi’i berpendapat masih dianggap dalam perjalanan.
Adapun jika seseorang berniat untuk menetap beberapa waktu di suatu tempat, seperti untuk wisata, tugas kerja, dan belajar, jumhur ulama berpendapat bahwa berakhirlah hukum safarnya dan ia harus melakukan ibadah-ibadahnya sebagaimana ibadah orang yang menetap. Mazhab Hambali berpendapat, jika ia berniat menetap lebih dari 20 kali shalat fardu (lebih dari empat hari), maka ia mesti menyempurnakan shalatnya dan melaksanakannya pada waktu yang telah ditentukan.
Yang berniat menetap empat hari atau lebih di suatu tempat, hilanglah keringanan seorang musafir baginya.
Di dalam Al-Qur'an disebutkan kata jam'u ketika mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an yang turun tidak beraturan. Ada beberapa pendapat yang menyebutkan sakit sebagai salah satu penyebab kita boleh melakukan jamak sholat. "Nabi mengalami beberapa kali sakit, namun tidak ada riwayat yang sharih bahwa beliau menjamak sholatnya.". Sehingga tidak ada satupun dalil yang dengan tegas menyebutkan bahwa Rasulullah menjamak sholat karena sakit.
Artinya: "Saya niat sholat fardhu Dzuhur empat rakaat dijamak bersama Ashar dengan jamak taqdim karena Allah Ta'ala.".
Kondisi diperbolehkannya seseorang menjamak salat subuh seperti dirangkum Muhammad Bagir dalam Fiqih Praktis (2016: 2013-2015) yakni ketika seseorang dalam perjalanan, ketika turun hujan, sakit, hingga keperluan-keperluan mendesak lainnya. Menjamak salat fardu memang diperuntukkan bagi umat muslim yang sedang dalam perjalanan jauh atau karena halangan lain sehingga tidak dapat mengerjakan salatfardu tepat pada waktunya. - Melakukan perjalanan jauh minimal 81 kilometer (sesuai kesepakatan para ulama).
- Perjalanan tidak bertujuan untuk hal negatif atau berbuat dosa. - Sedang dalam keadaan bahaya seperti hujan lebat disertai angin kencang, perang atau bencana lainnya. Dalam Mazhab Hanafi menjelaskan bahwa pelaksanaan penggabungan salat tidaklah memiliki kekuatan hukum, baik dalam perjalanan atau tidak, dengan segala macam masalah kecuali dua kasus di Hari Arafah dan pada saat malam Muzdalifah dalam kondisi tertentu. Sedangkan pada Mazhab Syafi'i pelaksanaan penggabungan salat diperbolehkan bagi para musafir atau orang yang sedang dalam perjalanan jauh dan saat hujan serta salju dalam kondisi tertentu. Dalil yang memperkuat diperbolehkannya penggabungan pelaksanaan salat adalah hadits dari Muadz bin Jabal: "Bahwa Rasulullah SAW pada saat perang Tabuk, jika matahari telah condong dan belum berangkat maka menjamak salat antara Zuhur dan Asar.
Kalau masih dalam perjalanan, jelas boleh mengqashar shalat terus menerus meski untuk waktu yang lama. Jika seseorang berniat mukim selama empat hari atau kurang dari itu, shalatnya boleh diqashar. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah tinggal di Makkah selama sepuluhan hari dan beliau mengqashar shalat. Begitu pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetap di Tabuk selama 20 malam, ketika itu beliau mengqashar shalat. Ulama Syafi’iyyah menyatakan bahwa jika musafir berniat mukim di suatu negeri selama tiga hari, selain dari hari ia masuk atau keluar dari negeri tersebut, boleh baginya mengambil keringanan saat safar, yaitu mengqashar shalat, tidak berpuasa dan keringanan lainnya. Shahih Fiqh As Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin As Sayyid Salim, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyyah.