Syarat Imam Shalat Nu Online. Kita melihat banyak sekali orang-orang yang sepertinya berebut menjadi imam shalat meskipun dari sisi tampilan terlihat tak begitu layak karena hanya memakai kaos dan celana ala kadarnya. Tulisan ini akan mengulas pandangan Imam Ghazali tentang etika shalat berjamaah yang beliau tuangkan dalam kitab Bidayah al Hidayah.
Poin lain yang disampaikan oleh Imam Ghazali adalah tentang cara makmum bersuara, baik dalam membaca bacaan penanda gerakan shalat (Allahu akbar, sami’a Allahu liman hamidah, atau assalamu’alaikum warahmatullah) atau dalam bacaan-bacaan shalat. Lalu kapan sebaiknya makmum memulai gerakan shalat, berpindah posisi menjadi ruku’, sujud, dan seterusnya?. Dalam keadaan normal dan ideal, sang imam akan berhenti membaca bacaan penanda gerakan shalat ketika posisinya sudah sempurna. Penjelasan lebih jelas tentang hal ini bisa didapatkan di Hujjatu Ahlissunnah wal Jama’ah karangan KH Ali Maksum, Krapyak.
Dengan dalih memiliki dasar nas dalam Al-Qur'an dan hadits mereka menafikkan kondisi sosial kemasyarakatan yang sudah terbangun dilingkungan sekitar. Kondisi ini diungkapkan oleh Penyuluh Keagamaan Kecamatan Pringsewu Ustadz Ahmad Syaifuddin saat menyampaikan penyuluhan agama dengan mengangkat materi tentang kriteria imam shalat berjamaah di Masjid Nurul Ikhlas Pringsewu Barat, Selasa (13/3).
"Ada kelompok yang menggembar-gemborkan kesunahan tertentu namun tidak memperhatikan kesunahan yang lain di antaranya etika menjadi imam berjamaah di masjid atau mushala," kata Ustadz Saiful, sapaan akrabnya. "Orang ini tidak memperhatikan petunjuk teknis atau juknis yang telah diterangkan oleh Nabi mengenai kriteria menjadi seorang imam," katanya. Dalam hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Mas’ud al-Anshari RA disebutkan bahwa ada kriteria orang yang paling berhak menjadi imam shalat.
Secara berurutan, Ustadz Saiful merinci siapa saja sesuai dengan hadits tersebut yang paling berhak. Jika sama dalam hal kedatangannya, siapa yang dahulu masuk Islam. Etika kesopanan seharusnya dikedepankan umat Islam saat berada di tempat yang bukan merupakan daerahnya.
"Jangan karena merasa paling fasih baca Al-Qur'an dan paham tentang ilmu hadits sehingga menyepelekan yang lebih tua dengan langsung maju menjadi imam," katanya. Ketua Lembaga Dakwah NU Kecamatan Pringsewu ini mengingatkan kepada umat Islam untuk mengedepankan keshalehan sosial dengan berpedoman pada juknis dari Rasulullah tentang tata cara menjadi imam.
Pak ustadz yang kami hormati, semoga selalu dalam lindungan Allah SWT. Setidaknya ada tiga orang yang menjadi imam shalat fardhu. Selain itu ada beberapa hal yang menurut kami tidak perlu disebutkan. Akibatnya banyak orang yang tidak menyukainya.Yang ingin kami tanyakan adalah bagaimana hukumnya orang yang menjadi imam shalat, padahal mayoritas jamaah tidak menyukainya? Kami sampaikan terima kasih.. (Nama dirahasiakan/Jakarta Selatan)Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah SWT. Ada orang yang banyak disukai, adapula yang orang yang banyak dibenci.Lantas bagaimana jika ada sosok atau orang yang tidak banyak disukai di lingkungannya karena berbagai sebab, di antaranya karena akhlaknya kurang baik atau seperti karena beberapa hal yang kurang berkenan seperti dijelaskan dalam pertanyaan di atas, menjadi imam shalat, padahal mayoritas jamaahnya kurang menyukainya?Dalam literatur kitab fikih madzhab Syafi‘i dijelaskan bahwa jika ada seseorang yang tidak disukai orang banyak atau di lingkungan sekitar, maka ia dimakruh menjadi imam.Sedangkan salah satu dalil yang dikemukakan untuk mendukung pendapat ini adalah riwayat Ibnu Abbas RA yang menyatakan bahwa Nabi SAW pernah mengatakan bahwa ada tiga orang di mana Allah tidak mengangkat shalat mereka ke atas kepalanya, salah satunya adalah seseorang yang menjadi imam shalat padahal jamaahnya tidak menyukainya.Artinya, “Dimakruhkan seseorang shalat menjadi imam bagi suatu kaum, sedangkan mayoritas dari kaum itu tidak menyukainya.
Pandangan ini didasarkan pada riwayat Ibnu Abbas RA yang menyatakan bahwa Nabi SAW pernah mengatakan bahwa ada tiga orang yang Allah tidak mengangkat shalat mereka ke atas kepalanya, salah satunya yang disebutkan dalam riwayat tersebut adalah seseorang yang mengimami suatu kaum padahal kaum tersebut tidak menyukainya,” (Lihat Abu Ishaq Asy-Syirazi,, Beirut, Darul Fikr, juz II, halaman 98).Lain halnya apabila yang tidak menyukainya hanya sebagian kecil orang. Dalam konteks yang kedua ini, maka ia tidak makruh menjadi imam, sebab tidak ada seorang pun yang sama sekali disukai semua orang.Artinya, “Karenanya apabila orang tersebut tidak disukai oleh sedikit orang maka ia tidak makruh menjadi imam mereka, karena tidak ada seorang pun yang semua orang menyukainya,” (Lihat, Abu Ishaq As-Syirazi,, juz II, halaman 98).Sampai di sini terlihat jelas kemakruhan menjadi imam bagi orang yang tidak disukai oleh kebanyakan orang atau lingkungan sekitar.
Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Yang ingin saya tanyakan, apakah shalat di serambi masjid tetap sah jika pintu ditutup karena ruangan ber AC? Artinya:“ Masjid adalah tempat yang disediakan untuk shalat dan beribadah.” (lihat Imam an-Nasafi, Tafsir An-Nasafi, juz 3, hal. ثم ان العرف خصص المسجد بالمكان المهيئ للصلوات الخمس حتى يخرج المصلى المجتمع فيه للأعياد ونحوها فلا يعطى حكمه، وكذلك الربط والمدارس فإنها هيئت لغير ذلك. قلت: كم بينهما؟ قال: أربعون عاماً ثم الأرض لك مسجد، فحيث ما أدركت الصلاة فصل متفق عليه. Artinya: “Bahwa dari Abu Dzar radliyallahu anhu berkata; saya bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang masjid yang pertama kali dibangun, lalu Rasul menjawab; Masjidil haram, kemudian saya bertanya kembali; kemudian masjid mana lagi? Sebelum membahas sah dan tidaknya permasalahan di atas, mari kita cermati terlebih dahulu status serambi masjid menurut istilah fikih.
ورحبته وهي ما خرج عنه لكن حجر لأجله سواء أعلم وقفيتها مسجد أو جهل أمرها عملا بالظاهر. KH Habibul Huda Bin Najid, Pengurus Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBM PWNU) Jawa Tengah.
Bagaimana hukumnya bermakmum kepada imam yang rusak bacaannya? Shalat berjama'ah merupakan anjuran yang sangat ditekankan oleh Rasulullah.
Diantara ketentuan tersebut adalah tidak sah shalatnya makmum yang baik bacaan fatihahnya (qari') mengikuti (bermakmum) dengan orang yang bacaan fatihahnya cacat. Dengan demikian, ketika si makmum mengetahui bahwa bacaan fatihah imam cacat, maka ia harus mufaraqah (niat keluar dari jama'ah dan tidak mengikuti shalat imam lagi). Cara mufaraqah yang baik dan tidak membuat gejolak dalam shalat jama'ah menurut hemat kami adalah dengan tetap menjaga dan mengatur ritme shalat seperti ritme imamnya, agar nantinya gerak gerik dan bacaan tetap bersamaan dengan imam sampai selesai shalat, namun yang perlu diperhatikan disini adalah jangan sampai ada jeda waktu kosong makmum yang mufaraqah dari aktivitas-aktivitas yang ditentukan dalam shalat biar tidak ada kesan menunggu imam (intidhar).
Jawaban ini mudah-mudahan bermanfaat bagi kita, sehingga dapat melaksanakan shalat jama'ah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.
Bila sang insan kamil (Nabi Muhammad) diperjalankan menghadap Allah SWT melalui mi’rajnya dari Masjidil Aqsha ke Sidratul Muntaha, maka dengan shalat, orang-orang beriman akan dapat merasakan pertemuan itu juga. Untuk memulai ini, baik kiranya kita menyimak kisah seorang sufi besar abad ketiga hijriah, Syekh Abu Abdirrahman Hatim bin ‘Unwan al-Asham (237 H). Karena, sulit sekali rasanya untuk masuk dalam penghayatan mendalam ketika shalat kita terburu-buru, tidak tenang, dan bacaan-bacaannya pun tak ubah bagai membaca koran. Adapun untuk shalat batiniah, satu hal yang tak boleh hilang, yaitu kesadaran akan esensi kerendahan kita sebagai hamba di hadapan keagungan Tuhan (rububiyyah).
Logika sederhananya, menurut ar-Razi, sungguh absurd bila seseorang rela sibuk lagi rutin melakukan sesuatu yang baginya tiada berguna sama sekali. Namun, bagi yang merasa bahwa hal itu sangat penting, bahkan pada dirinya terdapat candu spiritual (al-‘isyqu), pastilah akan ringan dan membahagiakan.
Khatib yang disyaratkan berdiri (bila mampu) saat berkhutbah disunnahkan menyela kedua khutbah dengan duduk sebentar. السنة أن يخطب الإمام في العيدين خطبتين يفصل بينهما بجلوس. Keberadaan khutbah yang mengiringi pelaksanaan shalat bisa dianggap penanda bahwa shalat tersebut ada pada momen yang penting, seperti khutbah Jumat yang digelar pada hari berjuluk sayyidul ayyâm (rajanya hari) dan khutbah istisqa’ kala umat Islam dilanda kekeringan.Idul Fitri dan Idul Adha adalah waktu istimewa.
Perempuan haid juga bisa turut melakukan hal yang sama, meski terpisah dari tempat shalat (lihat hadits riwayat Imam Bukhari Nomor 928). Mereka berhak mendengarkan khutbah, melantunkan takbir, doa, atau dzikir lainnya.Dalam kitab al-Fiqh al-Manhajî ‘ala Madzhabil Imâm asy-Syâfi‘î karya Musthafa al-Khin, Musthafa al-Bugha, dan 'Ali asy-Asyarbaji diterangkan bahwa berbeda dari shalat Jumat, khutbah pada shalat id dilaksanakan setelah shalat dua rakaat usai, bukan sebaliknya.
Hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim menjelaskan bahwa Nabi Muhammad, Abu Bakar, dan Umar juga menunaikan dua shalat id sebelum khutbah.Hukum khutbah dalam shalat id memang sunnah.
Pandangan beliau tersebut disandarkan pula pada hadits Rasulullah SAW. Imam Syafi’i berkata: “As’Tsaqafi mengabari kami, dari Ayyub, dari Abu Qalabah, dia berkata: Abul Yaman Malik bin Huwairits berkata: Rasulullah SAW bersabda: shallu kama ra-aitumuniy usholliy fa idza hadharati as-shalatu fal-yu’dzinu lakum ahadukum wal-ya-umakum akbarukum.” Yang artinya: “Sholatlah kalian seperti kalian melihat aku sholat. Imam Syafi'i menjabarkan dalam kitab Al-Umm, hadits tersebut merujuk suatu kaum yang datang bersama-sama sehingga tampaknya kualitas bacaan dan kefakihan mereka sama. Karena itulah, mereka, kata Imam Syafi’i, menunjuk pemimpin atau imam sholat oleh orang yang paling tua di antara mereka yang dengan senioritasnya itu dia menjadi yang paling tepat untuk memimpin mereka. Berdasarkan prinsip tersebut, Imam Syafi’i berpendapat bahwa apabila suatu kaum berkumpul di suatu tempat tanpa ada wali di antara mereka, hendaklah mereka menunjuk imam sholat berdasarkan beberapa syarat. Jika semua sifat itu tidak terhimpun pada seorang pun dari mereka, yang harus mereka pilih adalah orang yang paling fakih, kalau orang itu memiliki kemampuan membaca yang cukup bagi sahnya sholat.
Menjadi baik jika mereka menunjuk orang yang paling bagus bacaannya di antara mereka jika orang itu memiliki pengetahuan fiqih yang diharuskan berkenaan dengan sholat. Oleh sebab itu, Imam Syafi’i berpendapat, ketika ada seseorang yang menguasai fiqih lalu dia mampu membaca sebagian dari Alquran dengan baik, dialah yang berhak menjadi imam sholat. Sebab, di dalam sholat, dia akan mengetahui apa yang harus dilakukannya sesuai dengan fiqih.