Sholat Istikharah Muslim.or.id. Beliau berkata, “Jika salah seorang di antara kalian berniat dalam suatu urusan, maka lakukanlah shalat dua raka’at yang bukan shalat wajib, kemudian berdoalah…”. Yang pertama, Nabi mengajarkan shalat istikharah dalam setiap perkara / urusan.

Jadi tidak benar ada anggapan bahwa shalat istikharah hanya dilakukan terbatas untuk urusan yang meragukannya, sehingga ia perlu melakukan shalat istikharah. Padahal ini kurang tepat, karena yang tepat adalah ketika seseorang telah mantap hatinya dengan keputusan yang ia ambil dalam urusan yang dihadapinya.

Karena sebagian orang mengartikannya dengan menghadapi, padahal jika diartikan demikian, maka shalat istikharah dilakukan sebelum hati mantap dengan keputusan. Jika seseorang telah mantap dengan suatu urusan, maka ia memohon kepada Allah, apabila urusannya tersebut baik dan diridhai oleh Allah, maka Allah akan mempermudah jalannya untuk mendapatkan perkara tersebut. Semoga tulisan singkat ini bermanfaat bagi para pembaca sekalian.

Penjelasan Hadits Istikharah (Bag. 1)

Sholat Istikharah Muslim.or.id. Penjelasan Hadits Istikharah (Bag. 1)

“Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajari kami Istikharah dalam memutuskan segala sesuatu, (sebagaimana mengajari kami) surat dalam Alquran, beliau bersabda :. Apabila salah seorang diantara kalian hendak melakukan sesuatu (yang membingungkan), maka lakukanlah shalat (sunnah) dua roka’at -selain sholat wajib-, kemudian bacalah :.

Ya Allah, apabila (menurut pengetahuan-Mu) Engkau mengetahui bahwa urusan ini (hendaknya disebutkan urusannya) lebih baik bagiku dalam urusan agamaku, penghidupanku, dan akibatnya bagi akheratku atau -Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: …..duniaku dan akhiratku-, maka takdirkanlah untukku, mudahkanlah jalannya, kemudian berilah berkah untukku. Akan tetapi apabila (menurut pengetahuan-Mu) Engkau mengetahui urusan ini berdampak buruk bagiku dalam urusan agamaku, penghidupanku, dan akibatnya bagi akheratku, atau -Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:….duniaku atau akhiratku-, maka jauhkan urusan tersebut dariku, dan jauhkan aku darinya, takdirkan kebaikan untukku dimana saja kebaikan itu berada, kemudian jadikanlah aku ridho dengan takdir tersebut.”.

Dalam Fathul Bari, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan tentang makna kata “Istikharah” :. “Istikharah adalah bentuk istif’al dari khair atau khiyarah, sedangkan maksud beristikharah kepada Allah adalah meminta suatu pilihan kepada-Nya yaitu : meminta pilihan yang terbaik dari dua perkara untuk orang yang membutuhkan salah satu dari kedua perkara tersebut”. Istikharah adalah sebuah ibadah yang disyari’atkan bagi orang yang hendak melakukan sesuatu atau meninggalkannya, namun ia masih bingung dalam menentukan diantara dua pilihan sikap tersebut.

Hukum Seputar Darah Wanita: Istihadlah

Al Imam An Nawawi rahimahullaah dalam penjelasaannya terhadap Shahih Muslim mengatakan: “Istihadlah adalah darah yang mengalir dari kemaluan wanita bukan pada waktunya dan keluarnya dari urat.” (Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi 4/17, Fathul Bari 1/511). Dalil keadaan yang pertama (darahnya tidak terputus selama-lamanya) dibawakan Al Imam Al Bukhari dalam Shahihnya dari hadits ‘Aisyah radhiallaahu ‘anha, ia berkata: “Fathimah bintu Abi Hubaisy berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak pernah suci…’ “ (HR. Adapun dalil keadaan kedua adalah hadits Hamnah bintu Jahsyin radhiallaahu ‘anha ketika dia datang kepada Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam dan mengadukan keadaan dirinya: “Aku pernah ditimpa istihadlah (darah yang keluar) sangat banyak dan deras…” (HR. Kata Al Imam As Shan’ani dalam Subulus Salam (1/159): “Makna sabda Nabi: (‘Yang demikian hanyalah satu dorongan/gangguan dari syaithan’) adalah setan mendapatkan jalan untuk membuat kerancuan terhadapnya dalam perkara agamanya, masa sucinya dan shalatnya hingga setan menjadikannya lupa terhadap kebiasaan haidnya.” Al Imam As Shan’ani melanjutkan: “Hal ini tidak menafikkan sabda Nabi yang mengatakan bahwa darah istihadlah dari urat yang dinamakan ‘aadzil karena dimungkinkan syaithan mendorong urat tersebut hingga terpancar darah darinya.” (Subulus Salam 1/159). Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu ‘anha yang mengabarkan kedatangan Fathimah bintu Abi Hubaisy guna mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, “Wahai Rasulullaah, sesungguhnya aku tidak suci maka apakah aku harus meninggalkan shalat?” Nabi menjawab : “(Tidak, engkau tetap mengerjakan shalat). Dalam Shahih Muslim disebutkan bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berkata kepada Ummu Habibah bintu Jahsyin, “Diamlah engkau (tinggalkan shalat) sekadar hari-hari haidmu kemudian mandilah dan setelah itu shalatlah.” (HR.

Misalnya: seorang wanita melihat darah keluar dari kemaluannya terus-menerus, akan tetapi sepuluh hari yang awal dia melihat darahnya hitam sedangkan selebihnya berwarna merah, atau sepuluh hari awal berbau darah haid selebihnya tidak berbau, berarti sepuluh hari yang awal itu dia haid, selebihnya istihadlah, berdasarkan ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy, “Apabila darah itu darah haid maka dia berwarna hitam yang dikenal. Namun bila bukan demikian keadaannya berwudlulah dan shalatlah karena itu adalah darah penyakit.” (HR.

Maka untuk membedakan haid dan istihadlahnya adalah melihat kebiasaan kebanyakan wanita yaitu dia menganggap dirinya haid selama enam atau tujuh hari pada setiap bulannya dan dimulai sejak awal dia melihat keluarnya darah. Beliau Shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda, ‘Yang demikian itu hanyalah satu gangguan dari syaithan maka berhaidlah engkau selama enam atau tujuh hari, kemudian setelah lewat dari itu mandilah, hingga engkau lihat dirimu telah suci maka shalatlah selama 24 atau 23 siang malam, puasalah dan shalatlah. Kata Al Imam As Shan’ani: “Dalam hadits ini (untuk menentukan haid dengan yang selainnya) Nabi mengembalikan kepada kebiasaan umumnya para wanita.” (Subulus Salam 1/159). Nabi mengatakan demikian untuk mengumumkan bahwasannya para wanita memiliki salah satu dari dua ‘adat (enam atau tujuh). Para ahli fikih berkata: “Apabila wanita yang istihadlah memiliki ‘adat (kebiasaan) yang tetap dan pasti, maka ia berhenti shalat dan puasa pada hari-hari ‘adat-nya tersebut (bila ia melihat darah) karena ‘adat lebih kuat dari selainnya. Kondisi keempat dan kelima: Jika wanita tersebut memliki kebiasaan haid tertentu, namun haidnya tidak teratur bilangannya (muktaribah), maka jika masih memungkinkan melakukan tamyiz, maka kondisinya disesuaikan dengan wanita dengan kondisi kedua di atas.

Ada yang mengatakan dia menetapkan hari-hari haidnya setiap awal bulan dan jumlah harinya sama dengan wanita di sekitarnya. Misalnya wanita itu hanya ingat bahwa ia haid di awal bulan, namun lupa tanggal berapa. Akan tetapi, menurut Syaikh ‘Utsaimin dalam Syarhul Mumti’ yang lebih mendekati pada kenyataan sebenarnya adalah mengambil tanggal pasti dari awal, tengah, atau akhir bulan. Misal wanita tersebut yakin ia haid di tengah bulan namun lupa tanggal berapa. Wanita istihadlah bila ingin wudlu maka ia mencuci bekas darah dari kemaluannya dan menahan darahnya dengan kain (pembalut) berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada Hamnah radhiyallaahu’anha: “Aku beritahukan kepadamu (untuk menggunakan) kapas karena dia mampu menyerap darah’. Dalam hal senggama dengan istri yang sedang istihadlah, ulama telah berselisih tentang kebolehannya, namun tidak dinukilkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam adanya larangan, padahal banyak wanita yang ditimpa istihadlah pada masa beliau.

Dan juga Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Maka jauhilah (jangan menyetubuhi) para istri ketika mereka sedang haid.” (Al Baqarah: 222). ‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan bahwa Ummu Habibah istihadlah selama 7 tahun dan ia menanyakan perkaranya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Dan pada akhir hadits, Al Laits berkata: “Ibnu Syihab tidak menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan Ummu Habibah bintu Jahsyin radhiallahu ‘anha untuk mandi setiap akan shalat, akan tetapi hal itu dilakukan atas kehendak Ummu Habibah sendiri. Dengan demikian Al Laits berpendapat mandi setiap akan shalat bagi wanita istihadlah bukanlah dari perintah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Al Imam An Nawawi berkata: “Ketahuilah tidak wajib bagi wanita istihadlah untuk mandi ketika akan mengerjakan shalat, tidak pula wajib mandi dari satu waktu yang ada kecuali sekali saja setiap berhentinya haid. Adapun hadits yang ada tambahan lafadz: “Nabi memerintahkannya (Ummu Habibah) untuk mandi setiap akan shalat.” Adalah tambahan yang syadz karena Ibnu Ishaq -seorang perawi hadits ini- salah dalam membawakan riwayat sementara para perawi lainnya yang lebih kuat, meriwayatkan hadits ini dari Ibnu Syihab dengan lafadh: “Adalah Ummu Habibah mandi setiap akan shalat.” Dan perbedaan antara kedua lafadh ini jelas sekali.

Bahkan Laits bin Sa’ad dan Sufyan Ibnu ‘Uyainah -dua dari perawi yang kuat- jelas-jelas mengatakan dalam riwayat Abu Daud bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak memerintah Ummu Habibah untuk mandi. Bahkan Laits bin Sa’ad dan Sufyan Ibnu ‘Uyainah -dua dari perawi yang kuat- jelas-jelas mengatakan dalam riwayat Abu Daud bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak memerintah Ummu Habibah untuk mandi.

Tapi yang shahih adalah kewajiban mandi ketika selesai dari waktu haid yang biasanya (menurut ‘adat) atau selesainya waktu haid dengan tamyiz sebagaimana datang dalam hadits Aisyah dalam Shahihain dan selainnya dengan lafadz: “Maka apabila datang haidmu, tinggalkanlah shalat dan bila berlalu cucilah darah darimu dan shalatlah.” Adapun dalam Shahih Muslim disebutkan Ummu Habibah mandi setiap akan shalat maka ini bukanlah dalil karena hal itu dilakukan atas kehendaknya sendiri dan bukan diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bahkan yang ada, Nabi mengatakan kepadanya: “Diamlah engkau (tinggalkan shalat) sekadar hari haidmu kemudian (bila telah suci) mandilah.” (Bulughul Maram halaman 53 dengan catatan kaki pembahasan As Syaikh Al Albani dan lain-lain). Ibnu Taimiyyah berpendapat sebagaimana dinukil dalam kitab Bulughul Maram (halaman 53 dengan catatan kaki) bahwasannya mandi setiap shalat ini hanyalah sunnah, tidak wajib menurut pendapat imam yang empat, bahkan yang wajib bagi wanita istihadlah adalah wudlu setiap shalat lima waktu menurut pendapat jumhur, di antaranya Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad. Al Imam Al Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasannya Fathimah bintu Abi Hubaisy datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan mengadukan istihadlah yang menimpanya dan ia bertanya: “‘Apakah aku harus meninggalkan shalat?’ Maka Nabi mengatakan, ‘Tidak itu hanyalah urat bukan haid, maka apabila datang haidmu tinggalkanlah shalat dan jika berlalu maka cucilah darah haidmu kemudian shalatlah.’ “ (HR.

Sehingga dalam riwayat Nasa’i, lafadz hadits di atas adalah: “Cucilah darah haidmu, wudlulah, dan shalatlah.” (HR. An Nasa’i sendiri mengatakan: “Kami tidak mengetahui adanya seorang pun selain Hammad yang mengatakan/menyebutkan: ‘Berwudlulah’ ” (Syarah Muslim 4/22).

Darah yang Menimpa Wanita, [MUSLIMAH Rubrik Kajian Kita Edisi 37/1421 H/2001 M], Ummu Ishaq Zulfa Husein Al Atsariyyah.

Tata Cara Salat Istikharah dan Bacaannya, Wajib Dipahami Umat

Sholat Istikharah Muslim.or.id. Tata Cara Salat Istikharah dan Bacaannya, Wajib Dipahami Umat

Liputan6.com, Jakarta Tata cara salat istikarah dan bacaannya perlu diketahui oleh orang-orang yang sedang bimbang dalam menentukan suatu pilihan.

Related Posts

Leave a reply