Shalat Tarawih 36 Rakaat Dikerjakan Oleh Khalifah. Rasulullah Salallahu alaihi wa salam (SAW) lebih banyak melakukan salat malam pada bulan suci Ramadhan di rumah saja. Para sahabat mencatat, beliau hanya tiga malam saja di Masjid Madinah.
Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa Nabi SAW memberikan motivasi kepada kita untuk melaksanakan qiyam ramadhan tanpa memerintahkan dengan kuat. Dua hadis yang disebutkan itu dan hadits-hadis lain dengan nada sejenis merupakan anjuran yang sifatnya khusus dari segi waktu pengerjaan; yakni malam-malam ramadhan untuk menghidupinya dengan ibadah, salah satunya salat. Dan di sisi lain, hadis-hadis sejenis juga adalah anjuran yang sangat umum sekali. Jadi anjurannya umum untuk semua jenis ibadah dan dengan jumlah rakaat yang tidak ditentukan.
“Dari ‘Abdirrahman bin ‘Abdil Qari’, beliau berkata: ‘Saya keluar bersama Sayyidina Umar bin Khattab radliyallahu ‘anh ke masjid pada bulan Ramadhan. (Didapati dalam masjid tersebut) orang yang shalat tarawih berbeda-beda. Ada yang shalat sendiri-sendiri dan ada juga yang shalat berjamaah. Lalu Sayyidina Umar berkata: ‘Saya punya pendapat andai mereka aku kumpulkan dalam jamaah satu imam, niscaya itu lebih bagus.” Lalu beliau mengumpulkan kepada mereka dengan seorang imam, yakni sahabat Ubay bin Ka’ab.
Kemudian satu malam berikutnya, kami datang lagi ke masjid. Orang-orang sudah melaksanakan shalat tarawih dengan berjamaah di belakang satu imam.
Umar berkata, ‘Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini (shalat tarawih dengan berjamaah)”.
SETELAH Khalifah Ali bin Abi Thalib wafat, tidak ada perubahan yang signifikan pada teknis salat Tarawih. Begitu seterusnya.Sampai akhirnya benar-benar terjadi perubahan itu di tahun ke 99 Hijriyah, ketika Umar bin Abdul Aziz menjabat sebagai khalifah dari Bani Umayah. Yang artinya kalau digabungkan dengan witir, salat tarawih di zaman Umar bin Abdul Aziz totalnya menjadi 39 rakaat.Menurut Ahmad Zarkasih Lc, dalam bukunya berjudul "Sejarah Tarawih", beberapa sumber menyebutkan bahwa adanya tambahan rakaat yang dilakukan oleh Umar bin Abdil Aziz dari 20 menjadi 36 di masjid Nabawi Madinah, itu disebabkan karena Umar bin Abdul Aziz iri dengan orang Makkah.Diceritakan, bahwasanya salat tarawih di Masjidil haram itu dikerjakan dengan format 20 rakaat, dan mereka istirahat di setiap 2 salam; yakni 4 rakaat. Kemuliaan orang-orang Makkah di masjidil Haram itu tidak mungkin didapati oleh orang Madinah.
Karena itulah kemudian Umar bin Abdul Aziz berpikir untuk menyamai muslim Makkah dalam hal kemuliaan tersebut. Cerita ini juga bisa kita dapati di beberapa kitab Fiqih seperti al-Binayah syarh al-Hidayah, jil 2 Hal.
Dan juga dijelaskan panjang oleh Imam Nawawi (676 H) dari kalangann al-Syafi’iyyah dalam kitabnya al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, jil.
Ada pula riwayat mengenai shalat tarawih 11 raka’at di masa shahabat ‘Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu. Asy-Syafi’i telah bersaksi bahwa pada zamannya penduduk Mekah salat tarawih sebanyak 20 rakaat.
Sudah diketahui bahwa salat tarawih di zaman itu selalu disertai jeda istirahat setiap selesai mengerjakan 4 rakaat yang disebut dengan istilah tarwihah. Waktu jeda istirahat ini cukup lama, sehingga penduduk Mekah masih sempat melakukan tawaf 7 kali putaran dan salat dua rakaat.
Oleh karena mereka di Madinah tidak mungkin mengerjakan tawaf, maka mereka mengganti tawaf dan dua rakaat yang dilakukan penduduk Mekah dengan salat empat rakaat. “Malik berkata, “aku mengalami masa orang-orang di madinah yang salat sebanyak 36 rakaat”. Sampai di sini bisa disimpulkan, bahwa ikhtilaf fikih di masa generasi tabi’ut tabi’in dan sesudahnya adalah perbedaan jumlah rakaat antara 20 ataukah 36 rakaat.
Sholat tarawih menjadi salah satu ibadah sunah yang dikerjakan umat Islam selama bulan Ramadhan. "Siapa saja yang menjalankan sholat qiyam pada bulan Ramadhan dengan landasan iman dan mengharapkan pahala, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya.". Di dalam buku Fiqih Islam Wa Adillatuhu karya Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhali jilid 2, sejumlah ulama berbeda pendapat mengenai jumlah rakaat sholat tarawih.
Sang Ummul Mukminin itu berkata, "Rasulullah SAW tidak pernah menambah sholat qiyam lebih dari 13 baik saat bulan Ramadhan mau pun di bulan-bulan lainnya. Ibnu Abbas dalam hadits yang diriwayatkan Imam al Bukhari mengatakan pernah bersama Rasulullah mengerjakan sholat malam.
Namun karena darurat Covid-19 atau virus Corona yang saat ini masih melanda dunia, umat Islam disarankan sholat tarawih di rumah. Kementerian Agama RI (Kemenag) telah mengeluarkan pedoman ibadah di bulan suci Ramadhan selama wabah Corona. Tetapi Sholat Tarawih sendiri juga boleh dikerjakan secara lama dengan memilih surat-surat panjang dalam Al-Quran.
Tulisan ini dimuat di Tribun Timur cetak edisi Selasa, 14 Mei 2019, halaman 1 dan 7. Dalam praktiknya, khususnya di Sulsel, Shalat Tarawih dilaksanakan oleh umat Islam mengikuti ( ittiba' fiqhiyyah) pada format 2 madzab besar yakni madzhab 8 rakaat dan madzhab 20 rakaat (plus witir). TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - “Sungguh telah datang kepada kalian “bulan agung” Ramadan, di dalamnya ada satu malam yang nilainya lebih baik dibanding seribu bulan, diwajibkan ibadah puasa (shiyam) di siang harinya dan disunnahkan pada malam harinya shalat Tarawih (qiyam)...” Begitulah ungkapan Rasulullah Muhammad saw di hadapan para sahabatnya pasca turunnya ayat wajibnya ibadah puasa (QS. Dalam praktiknya, khususnya di Sulsel, shalat Tarawih dilaksanakan oleh umat Islam mengikuti ( ittiba' fiqhiyyah) pada format 2 madzab besar yakni madzhab 8 rakaat dan madzhab 20 rakaat (plus witir). Pertama, madzhab 8 rakaat ini didasari pada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Abu Daud melalui sanad Aisyah r.a. bahwa ketika isteri Rasulullah itu ditanya para sahabat: “Bagaimana shalat Rasulullah pada bulan Ramadan?” Dia menjawab: “Beliau tidak pernah menambah di bulan Ramadan atau di luar Ramadan lebih 11 rakaat, beliau salat 4 rakaat, 4 rakaat. Kedua, madzhab 20 rakaat berdasar pada hadis marfu' yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqiy dalam kitab al-sunan al-kubra bahwa format bilangan 20 rakaat plus witir pertama kali dilakukan pada masa khalifah Umar bin Khaththab r.a yang diimami oleh sahabat Ubay bin Ka'ab, tidak ada seorang sahabat pun yang mengingkari atas “ijtihad" Umar bin Khaththab ini, sehingga menjadi kesepakatan (konsensus atau ijma' para sahabat).
Bagaimana menyikapinya dan apa hukumnya membaca doa qunut ketika memasuki hari ke-16 hingga akhir Ramadhan saat shalat witir? Setelah itu, beliau melakukannya sendiri di rumah karena tidak ingin memberatkan umatnya dan membiarkan para sahabatnya melakukan sendiri-sendiri (HR Al-Bukharidan Muslim).
Jadi, tidak perlu ada sikap saling menyalahkan selama shalat dilakukan dengan penuh khusyuk dan thuma’ninah (tenang). Yang melakukan 39 atau 41 rakaat juga baik karena telah mengikuti kebiasaan al-salaf al-shalih di Madinah.
Ubay bin Ka’ab ketika mengimami shalat Tarawih berjamaah tentu tidak mungkin mengikuti kebiasaan Nabi sebab akan sangat memberatkan banyak orang.