Shalat Sunnah Pada Shalat Wajib. Pengertian sholat sunnah dapat ditemukan dalam berbagai hadits Rasulullah SAW. Dikutip dari buku Super Lengkap Shalat Sunah karya Ubaidurrahim El-Hamdy, pengertian sholat sunnah adalah amalan yang bila dikerjakan mendapat pahala.
Rasulullah SAW menganjurkan untuk melakukan minimal 24 kali sujud dalam sholat sunnah setiap harinya. Artinya: "Jika seorang hamba Allah SWT sholat demi allah SWT 12 raka'at (sunah) setiap hari, sebelum dan setelah sholat wajib, maka Allah SWT akan membangunkannya sebuah rumah di surga atau rumah akan dibangun untuknya di surga. Sunnah muakkad artinya hukum pengerjaan menjadi sunah yang sangat dianjurkan.
Sholat sunah rawatib cukup mudah dilaksanakan karena waktunya yang berdekatan dengan sholat fardu. Hanya dengan melaksanakan sholat sunah 2 atau 4 rakaat, Anda akan mendapatkan berbagai keutamaan yang sangat besar. Sebelum melaksanakan sholat sunah rawatib, kamu tentunya juga harus mengenali niat serta tata caranya. Sholat sunah rawatib ini sangat istimewa karena Nabi Muhammad SAW saja tidak pernah meninggalkannya.
Berikut dasar hukum pelaksanaan sholat sunah rawatib dari hadis:. Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma dia berkata: “Aku menghafal sesuatu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berupa salat sunnat sepuluh rakaat yaitu; dua rakaat sebelum salat zuhur, dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sesudah salat maghrib di rumah beliau, dua rakaat sesudah salat isya’ di rumah beliau, dan dua rakaat sebelum salat subuh.” (HR.
Berikut Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Jumat (11/3/2022), tentang waktu sholat sunah rawatib. * Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Artinya: "Jika seorang hamba Allah SWT sholat demi allah SWT 12 raka'at (sunah) setiap hari, sebelum dan setelah sholat wajib, maka Allah SWT akan membangunkannya sebuah rumah di surga atau rumah akan dibangun untuknya di surga. Merujuk pada suatu hadits riwayat yang berasal dari Aisyah ra.
Pendapat ini merujuk pada salah satu hadits Nabi SAW, bahwa dianjurkan untuk mengerjakan sholat di antara adzan dan iqamah. Disebutkan pula bahwa sholat ini dilakukan bagi siapa saja yang mau mengerjakannya. Artinya: "Aku niat sholat sunnah sebelum Isya dua rakaat karena Allah Ta'ala.".
Shalat rawatib tentu memiliki keutamaan dan ganjaran pahala bagi umat Muslim yang mengerjakannya. At-Tarmidzi dan An-Nasa’i meriwayatkan hadis yang mengatakan bahwa, dari ‘Aisyah radiyallahu ‘anha, ia berkata: Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa tidak meninggalkan dua belas (12) rakaat pada salat sunah rawatib, maka Allah akan bangunkan baginya rumah di surga..." (HR.
Aisyah radhiyallahu ‘anha telah meriwayatkan sebuah hadis tentang salat sunah rawatib sebelum (qobliyah) shubuh, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Dua rakaat sebelum subuh lebih baik dari dunia dan seisinya.” Dalam riwayat yang lain, “Dua raka’at sebelum shubuh lebih aku cintai daripada dunia seisinya.” (HR. Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha telah meriwayatkan tentang keutamaan rawatib dzuhur.
Dia berkata, saya mendengar Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menjaga (salat) empat rakaat sebelum zuhur dan empat rakaat sesudahnya, Allah haramkan baginya api neraka.".
Diriwayatkan, Nabi Muhammad SAW bersabda, "Sesungguhnya amal hamba yang pertama kali dihisab pada hari Kiamat adalah shalat fardhu. Jika tidak, maka disampaikan, “Lihatlah oleh kalian, apakah hamba itu memiliki amalan (salat) sunah?". "Usholli Sunnatal Isyaa’i Rok’ataini Ba’diyatta Mustaqbilal Qiblati Lillahi Ta’ala", yang artinya: "Aku niat mengerjakan shalat sunnah sesudah Isya 2 rakaat, menghadap Kiblat karena Allah Ta’ala". Itulah penjelasan singkat tentang shalat sunnah rawatib mulai dari bacaan niat dan keutamaannya.
Baca Juga: Bukannya Sholat Subuh Berjemaah, Pasutri Asal Surabaya Ini Curi Motor di Masjid Gresik.
Shalat tersebut merupakan wajib yang harus dilaksanakan tanpa kecuali bagi muslim mukallaf baik sedang sehat maupun sakit. Untuk keabsahan shalat disyariatkan suci badan, pakaian dan tempat dari na’is yang tidak dimaafkan.
Adapun membaca shalawat atas keluarga beliau menurut syafi’i tidak wajib melainkan hanya sunah ab’az. Keutamaannya adalah sebagai pelengkap dan penambal shalat fardhu yang mungkin kurang khusu’ atau tidak sempurna adabnya. Sebagaimana telah diterangkan bahwa waktu shalat hari raya idul fitri adalah tanggal 1 syawal mulai dari terbit matahari sampai tergelincirnya.
Dari sudut religious shalat merupakan hubungan langsung antara hamba dengan khaliq-nya yang di dalamnya terkandung kenikmatan munajat, pernyataan ubudiyah, penyerahan segala urusan kepada Allah, keamanan dan ketentraman serta perolehan keuntungan. Di samping itu dia merupakan suatu cara untuk memperoleh kemenangan serta menahan seseorang dari berbuat kejahatan dan kesalahan.
Di samping itu shalat merupakan peristirahatan diri dan ketenangan jiwa sesudah melakukan kesibukan dalam menghadapi aktivitas dunia. Ma’zur adalah keadaan seorang makmum yang tidak bisa menghabiskan fatihahnya dikala imam sudah ruku’ dikarenakan beberapa keuzuran seperti Orang yang lambat bacaan nya atau lupa fatihah dikala imam mau ruku’ atau lain sebagainya.
Imam As-Syirazi dalam Kitabnyamenerangkan sebagai berikut:Artinya, “Boleh seorang yang shalat fardhu bermakmum kepada orang yang shalat sunnah, dan orang yang shalat fardhu bermakmum kepada orang yang shalat fardhu dalam shalat yang lain berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah RA bahwa Mu’adz RA melakukan shalat Isya’ di waktu akhir bersama Rasulullah SAW, kemudian ia mendatangi kaumnya di Bani Salimah lantas menjadi imam shalat bersama mereka, shalat itu baginya (hukumnya) merupakan shalat sunnah, sementara bagi mereka merupakan shalat Isya’ fardhu; di samping itu karena bermakmum tersebut terjadi dalam perbuatan-perbuatan yang zahir, padahal perkara itu berbeda niatnya... (Lihat Imam As-Syirazi, Al-Muhadzdzab dalam An-Nawawi,, [Jeddah, Maktabah Al-Irsyad: tanpa catatan tahun], juz IV, halaman 167).Kedua, niat imamah, yakni niat menjadi imam dalam shalat ini agar mendapatkan fadhilah shalat jamaah. Niat imamah dalam shalat berjamaah hukumnya sunnah, kecuali dalam shalat Jumat hukumnya wajib.Artinya, “Seyogianya imam niat menjadi imam, jika ia tidak niat menjadi imam, maka sah shalatnya dan shalatnya makmum.
Yang benar adalah bahwa niat imamah tidaklah wajib, dan niat imamah tidaklah disyaratkan untuk keabsahan bermakmum, pendapat ini telah ditetapkan oleh Jumhur madzhab Syafiiyah, tidak disyaratkan niat imamah tersebut, baik makmumnya para pria, maupun makmumnya para wanita, meskipun demikian mereka tetap mendapatkan fadhilah berjamaah. Tetapi mengenai imam mendapatkan fadhilah jamaahnya atau tidak, ada tiga pendapat, (tidak mendapat fadhilah jamaah, mendapat fadhilah jamaah, mendapat fadhilah jamaah jika tahu dan lalu pasang niat imamah), (Lihat An-Nawawi,[Jedah, Maktabah Al-Irsyad: tanpa catatan tahun], juz IV, halaman 98).Ketiga, bacaan shalatnya. Perhatikan ketentuan mengenai bacaan surat Al-Fatihah dan surat setelahnya dibaca jahar (keras, nyaring) atau sirr (tidak keras, tidak nyaring), sebagai berikut:Artinya, “Adapun dalam shalat sunnah siang hari, maka disunnahkan dibaca sirr tanpa ada khilaf (perbedaan pendapat).
Adapun shalat sunnah malam hari selain shalat Tarawih, maka penulis kitab at-Tatimmah mengatakan: dibaca jahar (keras, nyaring); tetapi Al-Qadhi Husain dan penulis Kitab At-Tahdzib berkata bahwa bacaan dilakukan secara sedang antara jahar (keras, nyaring) dan sirr (tidak keras, tidak nyaring). Sementara shalat-shalat sunnah rawatib yang mengiringi shalat fardhu: maka dilakukan dengan bacaan sirr, berdasarkan kesepakatan para kolega kami (madzhab Syafiiyah). Al-Qadhi ‘Iyadh dalam Syarah Shahih Muslim mengutip pendapat sebagian ulama salaf mengenai menjaharkan bacaan dalam shalat sunnah rawatib subuh, dan pendapat mayoritas ulama bahwa bacaan dalam shalat sunnah subuh tetap sirr (tidak nyaring), sama seperti pendapat madzhab kami (Syafiiyah),” (Lihat An-Nawawi,, [Jedah, Maktabah Al-Irsyad: tanpa catatan tahun], juz III, halaman 357).Demikian penjelasan singkat ini, semoga keterangan ini bisa dipahami dengan baik.
Kami terbuka menerima masukan dari pembaca yang budiman.
Dan dari Sa’id bin Yasar, bahwasannya Ibnu Abbas mengkhabarkan kepadanya: “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada sholat sunnah sebelum subuh dirakaat pertamanya membaca: (قولوا آمنا بالله وما أنزل إلينا) (QS. Akan tetapi disyari’atkan bagi kaum muslimin yang masuk masjid agar mengerjakan sholat beberapa rakaat semampunya” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Bin Baz 12/386&387).
Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang di antara kalian mengerjakan sholat jum’at, maka sholatlah sesudahnya empat rakaat“. Ibnu Qoyyim berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meng-qodho’ sholat ba’diyah dzuhur setelah ashar, dan terkadang melakukannya terus-menerus, karena apabila beliau melakukan amalan selalu melanggengkannya.
Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang belum mengerjakan dua rakaat sebelum sholat subuh, maka sholatlah setelah matahari terbit“. Adapun pada Abu Dawud dengan lafadz: “Maka rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diam (terhadap yang dilakukan Qois)”. As-Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang masuk masjid mendapatkan jama’ah sedang sholat subuh, maka sholatlah bersama mereka. Akan tetapi lebih utama untuk tidak melakukannya terus-menerus dalam hal itu (mengangkat tangan), karena tidaklah ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan demikian, seandainya beliau melakukannya setiap selesai sholat rawatib pasti akan ada riwayat yang dinisbahkan kepada beliau.