Shalat Ghaib Untuk Jenazah Covid. Hingga hari Senin (23/3/2020), infeksi virus corona telah mencapai 579 kasus dengan 30 berhasil sembuh dan 49 meninggal dunia. Selain itu, umat Islam bisa membaca doa qunut nazilah di setiap shalat fardhu agar terhindar dari wabah dan berdoa agar wabah segera sirna," kata Sekretaris Komisi Fatwa MUI atau Majelis Ulama Indonesia Asrorun Ni'am Sholeh, dalam pesan pendek yang diterima detikcom.
Jenazah tersebut memiliki jasa yang besar selama hidup terhadap agama atau aspek kehidupan lainnya. Dalam hadits dikatakan, Nabi Muhammad SAW sempat melaksanakan sholat ghaib untuk Raja Negus yang menguasai wilayah Abyssinia.
Selain punya jasa besar, An-Najashi kemungkinan meninggal tidak dikelilingi kaum mulim sehingga tak ada yang menyolatinya. Artinya: Aku sholat ghoib atas mayyit yang disholati imam empat kali takbir fardu kifayah makmum karena Allah Ta'ala.
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengimbau umat Islam menggelar sholat ghaib bagi muslim yang meninggal dunia karena virus corona atau COVID-19. "Pengurusan jenazah (tajhiz janazah) terpapar COVID-19, terutama dalam memandikan dan mengkafani harus dilakukan sesuai protokol medis dan dilakukan oleh pihak yang berwenang, dengan tetap memperhatikan ketentuan syariat.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Asrorun Niam Sholeh mengimbau masyarakat untuk melakukan shalat ghaib. "Sedangkan untuk menshalatkan dan menguburkannya dilakukan sebagaimana biasa dengan tetap menjaga agar tidak terpapar COVID-19," kata Asrorun lagi.
PIKIRAN RAKYAT – Sholat ghaib dilaksanakan ketika seorang muslim kehilangan saudara ataupun teman, dan tidak bisa berkunjung ke rumah duka untuk mendoakannya secara langsung. Di tengah pandemi Covid-19 ini sholat ghaib bisa dilakukan, lantaran tak bisa mendoakan jenazah yang langsung dikuburkan.
Membincang shalat Ghaib mengingatkan kisah kematian Raja Najasyi, Ashhamah bin Abjar, sang penguasa negeri Habasyah (sekarang Etiopia). Sebenarnya, bukan hanya untuk Raja Najasyi itu Nabi Saw melakukan shalat Ghaib, tetapi juga kepada tiga sahabat lainnya. Hal ini dikarenakan dalil Nabi saw shalat Ghaib atas Raja Najasyi adalah hadits shahih, bahkan disepakati oleh Imam al-Bukhari dan Muslim.
Artinya, “Sungguh Nabi saw memberitakan kabar kematian Raja Najasyi di hari kewafatannya, lalu beliau bersama para sahabatnya keluar ke tempat shalat, membariskan sahabatnya dan bertakbir sebanyak empat kali (shalat Ghaib).” (Alawi Abbas al-Maliki, Hasan Sulaiman an-Nuri, Ibânatul Ahkâm Syarhul Bûlugil Marâm, juz II, halaman 173). Adapun riwayat Nabi saw shalat Ghaib atas dua sahabatnya yang gugur dalam perang Mu’tah juga tak dapat dijadikan pijakan hukum, karena hadistnya dinyatakan mursâl (putus dari perawi sahabat), dan perawinya, Imam al-Waqidi, yang meriwayatkannya dalam kitab al-Maghâzi dinyatakan dha’îf. Syekh al-Adhim al-Abdi mengatakan: “Hadistnya tergolong hadits mursal, sedangkan al-Waqidi adalah perawi yang sangat lemah.” (Syamsul Haqq al-Adhim al-Abdi, Aunul Ma’bûd Syarhu Sunan Abi Dawûd, juz IX, halaman 21). Dari sini dapat disimpulkan, bahwa satu-satunya dalil yang layak menjadi sumber hukum shalat Ghaib adalah hadits tentang Raja Najasyi. Untuk niatnya, dapat diklasifikasi tergantung jenis kelamin, jumlah jenazah dan status mushalli-nya apakah menjadi imam, makmum, atau shalat sendiri. Artinya, “Saya menyalati jenazah ‘Si Fulan (sebutkan namanya)’ yang berada di tempat lain empat takbir dengan hukum fardhu kifâyah sebagai imam/makmum karena Allah ta’âlâ.”.
Artinya, “Saya menyalati jenazah ‘Si Fulanah (sebutkan namanya)’ yang berada di tempat lain empat takbir dengan hukum fardhu kifâyah sebagai imam/makmum karena Allah ta’âlâ.”. Bila jenazahnya banyak, misalnya korban bencana alam yang menimpa satu desa, maka lafal niatnya adalah:. Ushallî ‘alâ jamî’i mautâ qaryati kadzâl ghaibînal muslimîna arba’a takbîrâtin fardhal kifayâti imâman/ma’mûman lillâhi ta’âlâ. Karena itu, jika masih berada dalam daerah, walaupun jauh dan tak sulit dijangkau, maka tidak sah melakukan shalat Ghaib. Demikian pula kalau jenazahnya berada di batas daerah, dan kita dekat dengan tempat tersebut, maka tidak sah melakukan shalat Ghaib. Namun, bila ia menggantungkan shalat Ghaibnya dengan sucinya jenazah tersebut (bahwa telah dimandikan), shalatnya dihukumi sah.