Niat Shalat Qobliyah Dan Tahiyatul Masjid. Telah menceritakani kami 'Ali bin Abdillah, ia berkata: Telah menceritakan kami Sufyan, dari 'Amr, dia mendengar Jabir berkata: Seorang lelaki pada hari Jumat masuk ketika Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam sedang berkhutbah. Dari hadits di atas jelas menyebutkan anjuran melaksanakan shalat tahiyatul masjid meskipun tidak tahu atau lupa langsung duduk sewaktu khatib sedang berkhutbah. Hal ini dibolehkan karena ada udzur yakni lupa yang tidak menghalangi kesempatan untuk mengerjakannya. Sulaik Al-Ghathafani datang pada hari Jum’at, sementara Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam sedang berkhutbah, dia pun duduk.
Maka beliau pun bertanya padanya, “Wahai Sulaik, bangun dan shalatlah dua raka’at, kerjakanlah dengan ringan.” Kemudian beliau bersabda, “Jika salah seorang dari kalian datang pada hari Jum’at, sedangkan imam sedang berkhutbah, maka hendaklah dia shalat dua raka’at, dan hendaknya dia mengerjakannya dengan ringan.” ( Shahih Muslim no.
Makna shalat tahiyyatul masjid adalah perwujudan dari salam penghormatan kepada masjid.Sedangkan yang dimaksudkan adalah memberikan salam penghormatan kepada Sang Pemilik Masjid, yaitu Allah SWT. Karena itu maka yang menjadi poin penting adalah adanya shalat ketika masuk masjid sebagai bentuk salam kepada Allah.Artinya, “Walhasil bahwa yang diminta (dianjurkan) dari orang yang masuk ke dalam masjid adalah hendaknya ia melakukan shalat di dalamnya sebagai bentuk salam penghormatan kepada Pemiliknya Yang Maha Luhur,” (Lihat Ibnu Abidin,, Beirut, Darul Fikr, 1421 H/2000 M, juz II, halaman 18).Atas dasar penjelasan singkat ini, maka setidaknya dapat dipahami bahwa ketika ada seseorang yang masuk ke dalam masjid kemudian melakukan shalat qabliyyah maka shalat tahiyyatul masjid sudah termasuk di dalamnya. Dalam hal ini tidak ada perselisihan pendapat di antara mereka,” (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi,, Jeddah, Maktabah Al-Irsyad, juz III, halaman 544).Lebih lanjut, menurut mereka, bahwa ketika seseorang niat shalat fardlu dan tahiyyatul masjid atau niat shalat rawatib dan tahiyyatul masjid, maka keduanya bisa peroleh sekaligus. Atau dengan kata lain mengabungkan niat shalat fardlu dengan tahiyyatul masjid atau shalat rawatib dengan tahiyyatul masjid adalah diperbolehkan dan tetap mendapatkan dua pahala sekaligus.Artinya, “Para ulama dari kalangan madzhab kami menyatakan, ‘Begitu juga apabila ia berniat shalat fardli dan shalah tahiyyatul masjid atau berniat shalat rawatib dan tahiyyatul masjid maka keduanya bisa diperoleh semuanya.
Dalam hal ini tidak ada perselisihan pedapat di antara mereka,” (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi,, juz III, halaman 544).Lantas apa logika atau argumentasi yang bisa diketengahkan untuk mendukung pandangan tersebut? Salah satu argumen yang bisa diajukan di sini adalah bahwa yang menjadi poin penting atau intinya adalah adanya shalat ketika masuk masjid sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.Sedangkan ketika seseorang masuk masjid kemudian langsung menjalakan shalat apakah itu shalat fardlu atau rawatib, maka hal itu telah tercapai.
Sebab, intinya adalah adanya shalat sebelum duduk di masjid dan hal itu sudah terwujud sebagaimana disebutkan. Dalam kasus ini shalatnya tidak sah,” (Lihat Jalaluddin Al-Mahali,, dalam, Syarikatu Maktabah wa Mathba’ah Ahmad Said bin Nabhan, juz I, halaman 215).Berangkat dari penjelasan di atas maka impulannya adalah diperbolehkan menggabungkan niat shalat sunah qabliyyah dengan tahiyyatul masjid.
Artinya juga mendapatkan pahala shalat qabliyyah sekaligus tahiyyatul masjid.Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Kami selalu terbuka dalam menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Liputan6.com, Jakarta - Umat Muslim wajib menunaikan sholat 5 waktu dalam sehari. Mulai dari waktu subuh, siang, sore, petang dan malam hari. Sesuai dengan namanya, sholat sunnah tidak wajib untuk dilakukan, menjalankan sholat sunnah dapat menambah amal kebaikan dan pahala yang bermanfaat di kehidupan akhirat nanti.
Sholat sunnah ini dianjurkan dilakukan sendiri atau tidak berjamaah. Perlu kita ketahui lebih lanjut mengenai hal yang harus diperhatikan dalam melaksanakan sholat tahiyatul masjid, seperti merangkum dari Merdeka, Selasa (28/9/21).
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
TRIBUNSUMSEL.COM - Ada beberapa sunah yang dianjurkan sebelum melaksakan shalat jumat berjamaah. Salat rawatib ini dianjurkan untuk dilakukan agar bisa menutupi kekurangan yang ada dalam salat wajib. Berikut ini Tribunsumsel.com rangkum dari berbagai sumber tuntunan yang dilakukan sebelum melaksanakan shalat jumat menurut ajaran islam. - Memotong kuku serta mencukur kumis.
- Masuk masjid dengan melangkahkan kaki kanan terlebih dahulu serta membaca do’a masuk masjid. - Melaksanakan sholat sunah tahiyatul masjid. - Ketika khatib telah naik ke atas mimbar hendaknya para jamaah sholat jumat menghentikan dzikir serta bacaan lainnya yang kemudian mendengarkan khotbah jumat. “Seseorang datang dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhutbah pada hari Jum’at, maka Nabi berkata kepada orang tersebut, ”Apakah engkau telah shalat?” Ia menjawab, ”Belum.” Nabi berkata, ”Bangun dan shalatlah!” (HR.
Sholat sunnah ini dapat dikerjakan semampunya sebelum khatib naik keatas mimbar.
Lebih dari itu, shalat sunnah ini adalah ajang peningkatan spiritualitas dan manifestasi pengakuan seorang hamba kepada Tuhan-Nya akan ketidakberdayaan dirinya di hadapan-Nya. Artinya, “Seorang laki-laki pada hari Jumat masuk (masjid) ketika Nabi Muhammad ﷺ sedang melakukan khutbah. Dalam kitab Tanbihul Ghafilin juga disebutkan bahwa shalat yang dilakukan ketika memasuki masjid adalah murni sebagai penghormatan kepadanya. Artinya, “Setiap sesuatu memiliki penghormatan, dan menghormati masjid dengan melakukan (shalat sunnah) dua rakaat” (Syekh as-Samarqandi, Tanbihul Ghafilin, [Bairut: Dar Ibnu Katsir, Damaskus, 2000], juz 1, h. 304).
Ia bisa dilaksanakan setiap saat, baik siang dan malam, tentu dilakukan ketika seseorang masuk ke dalam masjid, dan sebelum duduk yang disengaja, atau tidak disengaja namun dengan batas waktu yang dianggap lama. (Kemakruhan tersebut) disebabkan adanya hadits yang diriwayatkan Abi Qatadah tentang larangan tersebut, baik seseorang itu masuk (masjid) di waktu yang dilarang mengerjakan shalat (sunnah) atau di selain waktu tersebut.” (Imam Nawawi, Majmu’ Syarhil Muhadzdzab, [Bairut: Darul Kutub al-Ilmiah, 1995], juz IV, halaman 52). Jika berpedoman pada pendapat Imam Nawawi di atas, maka tidak ada waktu khusus bagi kesunnahan shalat Tahiyatul Masjid.
Artinya, ketika seseorang memasuki masjid dan langsung duduk tanpa mengerjakan shalat sunnah tersebut, maka hilanglah kesunnahan Tahiyatul Masjid baginya, kecuali jika ia duduk disebabkan tidak tahu kesunnahan shalat tersebut, atau lupa dan waktu duduknya tidak dianggap lama, maka ia masih mempunyai kesempatan untuk melakukan shalat sunnah Tahiyatul Masjid. Setidaknya, ada tiga faktor yang bisa mengubah hukum asalnya (menjadi tidak dianjurkan), yaitu:.
(Syekh Waliyuddin Abu Zara’ah al-Qahiri asy-Syafi’i, Tahrirul Fatawa, [Bairut: Darul Ihya’, Mamlakah Arabiah, 2004], juz 1, h. 316).