Mengqodho Sholat Orang Yang Sudah Meninggal. Menurut mayoritas ulama, termasuk Syekh Zainuddin al-Malibari, pengarang kitab Fathul Mu’in, berpendapat, jika ada orang yang sudah wafat mempunyai utang sholat fardlu, maka tidak perlu di-qadla’ atau dibayarkan fidyah-nya. Sementara itu menurut sebagian ulama lainnya seperti as-Subki dan Ibnu Burhan berpendapat, jika ada orang yang sudah wafat dan mempunyai utang sholat Fardlu, maka keluarga perlu membayarkan fidyah-nya jika almarhum meninggalkan harta benda (tirkah).

Mereka berpendapat, jika ada orang sudah wafat mempunyai hutang shalat dan puasa, maka keluarga perlu membayarkan fidyah-nya kepada kaum fakir miskin. Menurut sebagian pendapat para imam mujtahid, bahwa sholat tersebut harus diqadha.

Sehubungan dengan hal itu, sebagian ulama kita (Mazhab Syafi’i) memilih pendapat ini, bahkan Imam as-Subki mempraktikkannya sebagai pengganti shalat yang ditinggalkan salah seorang kerabatnya.”. Sehubungan dengan perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqih, Komisi Fatwa MUI DKI Jakarta memilih pendapat ulama yang menyatakan bahwa sholat yang telah ditinggalkan sewaktu masih hidup dapat di-qadha atau diganti dengan membayar fidyah. Namun MUI DKI Jakarta menegaskan, bukan berarti orang yang masih hidup boleh meninggalkan sholat untuk digantikan dengan membayar fidyah atau berwasiat kepada keluarganya agar sesudah wafat, sholat-sholat yang ditinggalkannya diqadha atau dibayar dengan fidyah.

Apakah Sholat Almarhum Wajib Diganti Para Ahli Warisnya

Mengqodho Sholat Orang Yang Sudah Meninggal. Apakah Sholat Almarhum Wajib Diganti Para Ahli Warisnya

Direktur Aswaja Center Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, KH Ma’ruf Khozin, menjelaskan di kitab Ianah Ath-Thalibin 1/33 Syekh Abu Bakar Dimyathi mengutip dari Syekh Zainuddin Al-Malibar India sebuah ketentuan hukum salat bagi orang yang sudah wafat: ﻓﺎﺋﺪﺓ: ﻣﻦ ﻣﺎﺕ ﻭﻋﻠﻴﻪ ﺻﻼﺓ ﻓﻼ ﻗﻀﺎء ﻭﻻ ﻓﺪﻳﺔ. ﻭﻓﻲ ﻗﻮﻝ - ﻛﺠﻤﻊ ﻣﺠﺘﻬﺪﻳﻦ - ﺃﻧﻬﺎ ﺗﻘﻀﻰ ﻋﻨﻪ ﻟﺨﺒﺮ اﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻭﻏﻴﺮﻩ، ﻭﻣﻦ ﺛﻢ اﺧﺘﺎﺭﻩ ﺟﻤﻊ ﻣﻦ ﺃﺋﻤﺘﻨﺎ، ﻭﻓﻌﻞ ﺑﻪ اﻟﺴﺒﻜﻲ ﻋﻦ ﺑﻌﺾ ﺃﻗﺎﺭﺑﻪ.

"Menurut satu pendapat dari para mujtahid disebutkan sholatnya mayit boleh diqadha(ditunaikan ahli warisnya), berdasarkan hadits Bukhari dan lainnya. "Ibnu Burhan mengutip dari pendapat lama Imam Syafi'i bahwa ahli waris wajib untuk mensalatkan jika mayitnya memiliki harta warisan.

Namun sebagian ulama menggunakan metode qiyas / analogi karena baik salat, puasa dan haji adalah sama-sama ibadah yang terdapat dalam rukun Islam.

Hukum Qadha Shalat untuk Orang Wafat

Beda halnya dengan orang yang lupa atau ketiduran, mereka dianjurkan untuk menyegerakan (), dan tidak diwajibkan sebagaimana halnya orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja.Kewajiban qadha ini mengukuhkan bahwa bagaimanapun dan dalam kondisi apapun shalat wajib tidak boleh ditinggalkan, kecuali bagi perempuan haidh.Lalu bagaimana dengan orang yang sudah meninggal? Apakah ahli waris atau keluarganya dianjurkan untuk mengqadha shalat orang yang sudah wafat? Menurut satu pendapat, dianjurkan qadha’, baik diwasiatkan maupun tidak, sebagaimana yang dikisahkan Al-‘Abadi dari As-Syafi’i karena ada hadis mengenai persoalan ini. Ulama yang membolehkan hal ini berdalil pada hadis kewajiban qadha puasa bagi ahli waris. ‘Aisyah pernah mendengar Rasulullah bahwa:Artinya, “Siapa yang meninggal dan memiliki tanggungan puasa, wajib bagi keluarganya untuk mengqadhanya,” (HR Al-Bukhari).Anjuran mengqadha puasa ini disematkan pada shalat, karena keduanya sama-sama ibadah badaniyah (ibadah fisik). Selain pendapat, sebagian ulama besar seperti As-Subki juga melakukan untuk keluarganya yang telah wafat.

Penjelasan tentang Fidyah Pengganti Shalat Orang Meninggal

وذهب الحنفيّة إلى أنّه إذا مات المريض ولم يقدر على أداء الصّلاة بالإيماء برأسه لا يلزمه الإيصاء بها. أمّا إذا كان قادراً على الصّلاة ولو بالإيماء وفاتته الصّلاة بغير عذر لزمه الإيصاء بالكفّارة عنها ، فيخرج عنه وليّه من ثلث التّركة لكلّ صلاة مفروضة ، وكذا الوتر لأنّه فرض عمليّ عند أبي حنيفة.

وقد ورد النّصّ في الصّيام ، وهو قوله صلى الله عليه وسلم : « ولكن يطعم عنه » والصّلاة كالصّيام باستحسان المشايخ لكونها أهمّ. “Mayoritas ulama fiqih (Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanbaliyah) berpandangan bahwa shalat tidak gugur atas mayit dengan memberi makan (pada orang lain).

Sedangkan ulama mazhab Hanafiyah berpandangan bahwa ketika orang yang sakit meninggal, dan ia sebelumnya tidak mampu untuk melaksanakan shalat dengan berisyarat dengan kepalanya, maka ia tidak wajib untuk mewasiatkan tentang shalat yang tertinggal tersebut. Maka pihak wali mayit mengeluarkan harta dari sepertiga harta peninggalan mayit untuk setiap shalat fardhu yang ditinggalkan, begitu juga untuk shalat witir, sebab sahalat witir merupakan amaliah fardhu menurut imam Abu Hanifah. Jika mayit tidak mewasiatkan tentang shalat yang ia tinggalkan lalu pihak wali mayit atau orang lain ber-tabarru’ (lepas tanggung jawab) untuk membayarkan fidyah, maka hal tersebut insyaallah diperbolehkan hanya menurut pandangan Muhammad bin Hasan saja. Sebab beliau berpandangan bahwa tabarru’-nya wali untuk memberikan fidyah (makanan) atas puasa mayit adalah hal yang mencukupinya insyaallah dengan tanpa adanya kemantapan (bimbang).

Meninggalkan Shalat Ketika Sakit, Kemudian Meninggal, Apakah

Mengqodho Sholat Orang Yang Sudah Meninggal. Meninggalkan Shalat Ketika Sakit, Kemudian Meninggal, Apakah

Maka wajib bagi setiap muslim untuk menjaganya dan tidak gugur selama akalnya masih berfungsi. Jika melihat zahir pertanyaan, tampaknya ibu anda masih sehat akalnya saat sakit, dengan dalil dia berniat untuk mengqadha shalat tersebut. Dalam kedua kondisi tersebut, tidak perlu diqadha untuknya, apabila dia meninggalkan setelah itu. Disebutkan dalam Fatawa Lajnah Daimah, 25/257, "Jika orang tua ana saat sakit, hilang akalnya, tidak sadar sama sekali, maka shalat gugur baginya. 1935, dari hadits Aisyah radhiallahu anha, sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda,. Dalam bentuk mufrad dan diidhafahkan (disandarkan), maka hal itu berarti berlaku umum untuk seluruh walinya yang menjadi ahli warisnya.

Maka perbuatan anak tersebut merupakan salah satu bentuk bakti kepada kedua orang tuanya. Beliau berkata, 'Pahalanya telah berlaku, dan kini dia dikembalikan kepada anda dalam bentuk waris.'.

Hukum Mengqadha Shalat Orang Meninggal

Mengqodho Sholat Orang Yang Sudah Meninggal. Hukum Mengqadha Shalat Orang Meninggal

BincangSyariah.Com- Shalat wajib dikerjakan bagi setiap muslim yang sudah memenuhi syarat seperti dewasa (balig), berakal sehat dan lain sebagainya. Namun bagaimana bila shalat belum diqadha, tapi orang yang sakit itu meninggal?

Kitab Fathul Muin menyebutkan bahwa as-Subki pernah mengqadha shalat keluarganya yang sudah meninggal. Karenanya, Syekh Abu Bakar Syatha, penulis I’anah at-Thalibin menyebutkan bahwa khabar itu antara lain disebutkan dalam Sahih al-Bukhari.

Waktu itu ibunya bernazar untuk melakukan shalat di Masjid Quba, namun meninggal sebelum melakukannya. Ibnul Munir menambahkan, kasus seperti ini hanya khusus bisa dilakukan oleh anak untuk menggantikan ibadah orangtuanya.

Atas dasar khabar ini, Syekh Abu Bakar Syatha menyampaikan bahwa sekelompok ulama Syafi’iyyah membolehkan qadha shalat untuk orang yang sudah meninggal. Selain itu, Syekh Abu Bakar Syatha juga mengutip perkataan Ibnu Burhan bahwa qaul qadim (pendapat Imam Syafi’i ketika di Irak) menyatakan bahwa ahli waris orang yang meninggal itu wajib mengqadha shalat yang ditinggalnya. Dalam pendapat lain di kalangan ulama Syafi’i, ahli waris hanya diwajibkan memberi fidyah dengan satu mud (3/4 liter) beras untuk fakir-miskin sebagai ganti dari shalat yang ditinggal keluarga yang meninggal.

Aturan Fidyah Utang Puasa Orang yang Sudah Meninggal

Mengqodho Sholat Orang Yang Sudah Meninggal. Aturan Fidyah Utang Puasa Orang yang Sudah Meninggal

Dikutip dari nu.or.id, utang puasa orang yang telah meninggal dapat dibayar dengan fidyah (makanan pokok untuk orang miskin) meski sebagian ulama membolehkan qadha puasa oleh wali almarhum. Tetapi ulama berbeda pendapat perihal ukuran pembayaran fidyah utang puasa orang yang telah meninggal dunia.

Dalil atas pendapat ini adalah hadits riwayat Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW bersabda ‘Siapa saja yang wafat dan ia mempunyai utang puasa, hendaklah orang miskin diberi makan pada setiap hari utang puasanya.’ Puasa adalah ibadah yang tidak dapat digantikan pada saat orang hidup, maka ia tidak digantikan setelah matinya seperti ibadah salat. Jika almarhum meninggal sebelum datang Ramadan berikutnya, maka setiap hari utang puasanya dibayarkan sebanyak satu mud kepada orang miskin.

Tetapi jika almarhum meninggal setelah Ramadhan berikutnya tiba, mazhab Syafi’i memiliki dua pendapat. Kedua, wali cukup membayar fidyah sebanyak satu mud atas penundaan qadha puasanya karena ketika seseorang mengeluarkan satu mud atas penundaan maka dengan sendirinya hilang kelalaian tersebut. Sebagian ulama mengatakan bahwa utang puasa orang yang telah meninggal dunia dapat dibayar dengan fidyah atau sedekah makanan pokok sebanyak satu mud atau bobot seberat 675 gram/6,75 ons beras. Ulama mazhab Syafi’i memiliki dua pendapat perihal seseorang yang meninggal dan belum sempat meng-qadha utang puasanya baik dengan maupun tanpa uzur. Pertama, (ini pendapat paling masyhur dan shahih) menurut penulis dan mayoritas ulama serta manshuh pada qaul jadid, wajib dibayarkan fidyah satu mud yang diambil dari peninggalan almarhum. Argumentasi atas kedua pendapat ini terdapat di dalam kitab.

Related Posts

Leave a reply