Mengapa Wanita Tidak Wajib Shalat Jumat. Latin: yā ayyuhallażīna āmanū iżā nụdiya liṣ-ṣalāti miy yaumil-jumu'ati fas'au ilā żikrillāhi wa żarul baī', żālikum khairul lakum ing kuntum ta'lamụn. Apabila telah diseru untuk melaksanakan salat pada hari Jumat, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.
Maksud perintah bersegera di sini ialah pergi mendatangi sholat Jumat, bukan untuk tergesa-gesa," tulis Prof Wabah dalam bukunya. Awal mula sholat Jumat pada dasarnya telah diisyaratkan saat Nabi Muhammad masih berada di Mekkah dan belum hijrah ke Madinah. Namun, ibadah tersebut belum bisa terlaksana karena jumlah umat Islam yang masih sedikit serta banyaknya intimidasi dari kaum kafir Quraisy.
Akhirnya, Nabi Muhammad dan para sahabatnya melaksanakan sholat Jumat pertama kali saat perjalanan hijrah dari Mekkah menuju Madinah. Dari Thariq bin Syihab, Rasulullah SAW bersabda, "Sholat Jumat itu dilaksanakan secara berjamaah dan wajib hukumnya bagi seorang Muslim, selain hamba sahaya, perempuan, anak-anak, atau orang yang sakit.". Selain itu, dalam hadits riwayat Abu Dawud, dari Ibnu Umar RA, Nabi Muhammad SAW bersabda "Jangan lah kalian mencegah para perempuan (yang berada dalam tanggung jawab) kalian untuk pergi ke masjid, tapi (sholat) di rumah-rumah mereka itu lebih baik bagi mereka.".
Selama ini kita di Indonesia, utamanya, shalat Jumat itu kewajiban laki-laki. Seorang wanita pada dasarnya tidak diwajibkan untuk menghadiri shalat Jumat. Pernyataan seperti ini langsung disebutkan oleh Rasulullah SAW pada salah satu hadits beliau: Dari Thariq bin Syihab ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Shalat Jumat itu adalah kewajiban bagi setiap muslim dengan berjamaah, kecuali (tidak diwajibkan) atas 4 orang. Al-Imam An-Nawawi berkata bahwa isnad hadits inishahih sesuai dengan syarat dari Bukhari. Ibnu Hajar mengatakan bahwa yang menshahihkan hadits itu bukan hanya satu orang. Sehingga dia tidak perlu lagi mengulanginya dengan shalat Jumat.
Pada hari ini ada satu ibadah wajib yang harus dilakukan oleh kaum laki-laki, yaitu sholat Jumat. Artinya: "Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sholat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.". Dari Hafshah, Rasulullah SAW bersabda "Pergi menunaikan shalat Jumat wajib bagi semua lelaki yang sudah baligh.". Namun demikian, para ulama bersepakat bahwa kaum wanita boleh menghadiri sholat Jumat dan itu sudah cukup bagi mereka. Pendapat tersebut diperkuat dengan kaum wanita pada zaman Rasulullah SAW yang juga menghadiri sholat Jumat bersama beliau. "Tidaklah aku menghafal surah (Qaf) kecuali dari mulut Rasulullah SAW yang membacakannya dalam khutbah beliau setiap sholat Jumat.".
Bagaimanakah kedudukan wanita yang ikut sholat Jumat tersebut? REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di beberapa negeri Muslim dan Timur Tengah, beberapa masjid menyediakan fasilitas ruangan khusus bagi wanita yang ingin menunaikan sholat Jumat. Hal seperti ini dirasa masih asing di tanah air. Bagaimanakah kedudukan wanita yang ikut sholat Jumat tersebut?
Secara spesifik, tidak ada dalil yang melarang kaum wanita untuk ikut menunaikan sholat Jumat. Hal ini berdalil dari hadis Rasulullah SAW, "Shalat Jumat itu fardhu (wajib) bagi setiap Muslim, kecuali empat golongan; orang sakit, hamba sahaya, orang musafir, dan wanita.".
Beberapa ulama di Arab Saudi dan Timur Tengah menyarankan kaum wanita untuk tidak ikut sholat berjamaah di Masjid. Namun, hal ini hanya sebatas saran dan tidak masuk ke ranah hukum. Hal ini berdalil dari hadis Rasulullah SAW, "Shalatnya salah seorang dari kalian (wanita) di makhda' (kamar khusus yang dipergunakan untuk menyimpan barang berharga) lebih utama daripada sholatnya di kamarnya.
Wallâhu a‘lam. Umumnya shalat Jumat di sebagian besar masjid diikuti hanya oleh jamaah laki-laki.
Tapi kita dapati pula di beberapa masjid di Tanah Air shalat Jumat diikuti juga jamaah perempuan. Kaum hawa mengambil tempat khusus di dalam masjid, mendengarkan khutbah, lalu mengikuti seluruh rangkaian prosesi sembahyang berjamaah dua rakaat hingga selesai.Kita tahu, shalat Jumat fardhu ‘ain dilaksanakan secara berjamaah bagi setiap laki-laki muslim mukallaf yang bukan musafir atau sedang ada halangan lain.
Sementara bagi perempuan tidak. Pertanyaannya, bila kaum perempuan yang mengikuti shalat Jumat, apakah hal itu menggugurkan kewajiban shalat dhuhur mereka?
Dengan bahasa lain, apakah shalat Jumat bagi wanita cukup menggantikan shalat dhuhur (tak perlu shalat dhuhur lagi)? Lalu, manakah yang lebih utama bagi mereka: shalat dhuhur berjamaah bersama wanita lain atau shalat Jumat?Pertanyaan yang sama juga pernah terlontar di forum Muktamar ke-3 Nahdlatul Ulama yang diselenggarakan di Surabaya, Jawa Timur, pada 28 September 1928.
Para muktamirin saat itu menjawab, “shalat Jumat bagi kaum wanita itu cukup sebagai pengganti shalat dhuhur, dan bagi kaum wanita tidak cantik, tidak banyak aksi, dan tidak bersolek itu sebaiknya ikut menghadiri shalat Jumat.”Jawaban tersebut mengacu pada keterangan dalam kitabyang menyatakan:“Diperkenankan bagi mereka yang tidak berkewajiban Jum’at seperti budak, musafir, dan wanita untuk melaksanakan shalat Jum’at sebagai pengganti Zhuhur, bahkan shalat Jum’at lebih baik, karena merupakan kewajiban bagi mereka yang sudah sempurna memenuhi syarat dan tidak boleh diulangi dengan shalat Zhuhur sesudahnya, sebab semua syarat-syaratnya sudah terpenuhi secara sempurna.” (Abdurrahman Ba’alawi,, [Mesir: Musthafa al-Halabi, 1371 H/1952 M], h. 78-79).Dengan demikian , kaum perempuan yang sudah melaksanakan shalat Jumat tak perlu lagi menunaikan shalat dhuhur. Bahkan, perempuan lebih utama mengikuti jamaah shalat Jumat daripada shalat dhuhur meskipun berjamaah bersama perempuan lain, dengan syarat mereka bukan orang-orang yang sangat potensial mengundang syahwat bagi kaum laki-laki, baik karena penampilannya maupun tingkahnya.
Hadits di atas dapat dikatakan sebagai penjelas (bayan) ayat 9 surat al Jumu’ah yaitu yang dimaksud shalat pada hari jum’at. Mengenai hadits dari Thariq Ibnu Syihab, yang isinya menerangkan bahwa: “Shalat jum’ah wajib atas setiap muslim dalam berjama’ah, kecuali empat golongan, yaitu budak, orang perempuan, anak kecil dan orang sakit”, diperselisihkan keshahihannya oleh para ulama. Ada ulama yang menilai hadits itu mursal shahabi, dimana baru boleh dijadikan dalil kalau dapat dibuktikan perawinya pernah bertemu dengan Nabi saw. Fakta menunjukkan bahwa shahabat Ibnu ‘Abbas r.a membolehkan bagi seorang laki-laki shalat (jum’at) di kebunnya sendiri seperti dikutip oleh Imam asy Sya’rani dalam kitab Kasyful Ghummah.
Bahkan as Sayid Ridla dalam majallah al Manar seperti dikutip Tgk Hasbi Ash Shiddieqy, menyatakan bahwa shahabat Ibnu ‘Abbas membolehkan shalat jum’at sendirian, apabila syi’ar Islam telah terlaksana dengan orang lain tidak shalat dhuhur sesudah jum’at. Kalau tidak, tentu Rasulullah saw melarang wanita seperti Ummu Hisyam menghadiri jama’ah jum’at di masjid. Artinya: “Aku mengambil (menghafal) surah Qaf dan al Quranul Majid dari lisan Rasulullah saw yang beliau membacanya tiap hari jum’at di atas mimbar”. Juga Nabi saw menganjurkan laki-laki atau perempuan yang akan menghadiri jum’at supaya mandi, seperti tertera dalam hadits riwayat al Jama’ah dari Ibnu Hibban:. Kita harus ekstra hati-hati betul dalam masalah ubudiyah, dimana biasanya diterangkan oleh Nabi rincian-rinciannya. Berbeda dengan soal duniawiyah, oleh Al-Quran dan As-Sunnah tidak menerangkan secara rinci dalam sebahagian besarnya.