Hukum Shalat Jumat Tanpa Mendengarkan Khutbah. Redaksi bahtsul masailyang dirahmati Allah, saya ingin bertanya. Saya pernah mendengar bahwa khutbah Jumat merupakan pengganti 2 rakaat shalat zuhur. (Hamba Allah)Saudara penanya yang budiman, semoga Allah SWT menambahkan pemahaman yang baik kepada saudara dan kita semua.
Masalah yang saudara tanyakan ini pada pokoknya berawal dari masalah kedudukan shalat Jumat itu sendiri, apakah merupakan shalat zuhur yang diqashar (diringkas) menjadi dua rakaat, atau merupakan shalat tersendiri (mandiri).Mengenai kedudukan shalat Jumat ini terdapat dua pendapat (qaul) atau dua wajah. Pendapat pertama () menyatakan bahwa shalat Jumat adalah zuhur yang diqashar. Oleh karena itu, berdasarkan pendapat ini, muncul pendapat bahwa jika waktu shalat Jumat sudah habis, sedangkan khutbah masih berlangsung, sementara tentu shalat Jumatnya belum dilaksanakan, maka wajib melaksanakan shalat zuhur (shalat sebanyak empat rakaat).Pendapat kedua (), yang merupakan pendapat mu’tamad (dijadikan pegangan dalam hukum) menyatakan bahwa dua khutbah Jumat tidaklah menempati posisi dua rakaat shalat zuhur.
Pendapat ini misalnya dikemukakan Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami:Artiny, “Qaul jadid menegaskan bahwa shalat Jumat bukan shalat zuhur yang diringkas, tetapi merupakan shalat yang mandiri,” (Lihat, [Tanpa keterangan kota, Mathba’ah Mushthafa Muhammad: tanpa catatan tahun], juz II, halaman 404-405).Berdasarkan posisi shalat Jumat tersebut, masalah mengenai keabsahan shalat Jumat orang yang tidak mendengarkan, tidak mengikuti khutbah Jumat pada dasarnya ditentukan oleh keabsahan khutbah Jumat itu sendiri serta shalat Jumat yang diikutinya, tidak serta-merta ditentukan oleh dirinya mengikuti khutbah Jumat atau tidak.Orang yang tertinggal mengikuti khutbah Jumat tetapi melaksanakan shalat Jumat, sementara syarat keabsahan Shalat Jumat terpenuhi, maka shalat Jumatnya tetap sah.Oleh karenanya, ketika Khutbah Jumat sudah dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan sahnya, maka orang yang tidak mengikutinya, tidak mendengarkan dan tidak menyimak Khutbah Jumat tersebut, tidaklah berpengaruh terhadap keabsahan Shalat Jumat yang diikutinya.Hal ini berbeda dalam kasus, bila khutbah Jumat dilaksanakan tidak memenuhi syarat dan rukunnya, atau khutbah Jumat tidak dilaksanakan sama sekali, padahal khutbah itu merupakan syarat keabsahan shalat Jumat, maka shalat Jumatnya tidak sah.Penting ditegaskan bahwa shalat Jumat mempunyai kekhususan hukumnya, termasuk mengenai syarat-syarat keabsahannya yang tidak semata-mata ditentukan dengan keabsahan khutbahnya. Misalnya mengenai syarat adanya empat puluh orang yang mendengarkan khutbah, ditegaskan Imam An-Nawawi:Artinya, “Ketahuilah bahwa empat puluh orang adalah syarat bagi sahnya dua khutbah, karena itulah disyaratkan mereka mendengar khutbah tersebut,” (Lihat An-Nawawi,, [Jedah, Maktabah Al-Irsyad: tanpa catatan tahun], juz IV, halaman 374-375).Kami menyarankan ahli Jumat seperti kaum laki-laki yang berkewajiban Jumat untuk menyegerakan diri dating ke masjid agar dapat mengikuti secara utuh rangkaian ibadah Jumat mulai dari khutbah hingga shalat Jumat selesai.
Kami terbuka menerima masukan dari pembaca yang budiman.
قال: ( وينبغي) أي يستحب للقوم السامعين وغيرهم ( أن يقبلوا عليه ) بوجوههم ؛ لأنه الأدب ولما فيه من توجههم القبلة ( و ) أن ( ينصتوا ويستمعوا ) قال تعالى { وإذا قرئ القرآن فاستمعوا له وأنصتوا } ذكر كثير من المفسرين أنه ورد في الخطبة وسميت قرآنا لاشتمالها عليه. Agama melarang segala bentuk aktivitas yang melalaikan diri untuk berangkat Jumatan sejak muadzin mengumandangkan azan kedua (saat khatib duduk di atas mimbar). “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS.
Dianalogikan dengan keharaman jual beli dalam ayat di atas, segala bentuk aktivitas yang dapat melalaikan diri untuk berangkat jumatan. Keharaman menyibukan diri dengan ibadah yang berdampak melalaikan Jumat disampaikan secara tegas oleh Syekh Muhammad al-Ramli sebagai berikut:.
Lantas bagaimana bila ia menduga masih dapat menemui Jumat, meski terlambat datang?, misalkan karena rumahnya berdekatan dengan masjid. Sementara menurut Imam al-Ramli dan Syekh Amirah al-Barlasi, hukumnya haram, sebab mengamalkan perintah Allah dalam surat al-Jum’at ayat 9 di atas.
(قوله : وكلامهم الى الأول أقرب) خلافا لحج ويلحق به أي المسجد كما هو ظاهر كل محل يعلم وهو فيه وقت الشروع فيها ويتيسر له لحوقها. قول المتن : ( التشاغل بالبيع وغيره ) هذا يفيدك أن الشخص إذا قرب منزله جدا من الجامع ويعلم الإدراك لو توجه في أثناء الخطبة يحرم عليه أن يمكث في بيته لشغل مع عياله أو غيرهم بل يجب عليه المبادرة إلى الجامع عملا بقوله تعالى : { إذا نودي للصلاة } إلخ وهو أمر مهم فتفطن له. “Redaksi kitab matan, sibuk dengan jual beli dan lainnya, ini memberi petunjuk kepada anda bahwa seseorang yang rumahnya sangat dekat dengan masjid jamik dan ia meyakini dapat menemui Jumat bila ia menyusul di pertengahan khutbah, haram baginya menetap di rumah karena kesibukannya bersama keluarga atau lainnya, bahkan wajib baginya untuk bergegas menuju masjid jamik, karena mengamalkan firman Allah ﷻ, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat dan seterusnya.
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Para ulama saling bersepakat bahwa mendengarkan khutbah Jumat harus didengarkan dengan seksama. Hal ini sebagaimana yang tertuang dengan tegas di dalam sejumlah hadis, lantas bagaimana hukumnya bagi orang yang tak dapat mendengar khutbah?
Imam Syafii dalam kitab Al-Umm menjelaskan, barang siapa yang tidak dapat mendengar khutbah maka mustahab baginya untuk diam. Beliau menyebut, bagi orang yang tidak dapat mendengar khutbah sama sekali maka tidak dimakruhkan baginya membaca (ayat Alquran) di dalam hati, berzikir mengingat Allah, dan tidak berbicara dengan orang lain,”. Imam Syafii menyebut bahwa tidaklah mengapa apabila seseorang berzikir menyebut nama Allah di dalam hati, atau bertakbir, mengucap tahlil, bertasbih selagi ia tidak mendengar khutbah sama sekali.
Kemudian, Imam Syafii berkata, “ibrahim mengabari kami, dia berkata, “Saya tidak mengetahui itu, hanya saja Manshur bin Mu’tamar mengabariku bahwa dia bertanya kepada Ibrahim apakah dia boleh membaca Alquran ketika imam sedang berkhutbah di hari Jumat, sementara dia tidak dapat mendengar khutbah? Dia pun menjawab: semoga saja itu tidak membahayakannya,”. Namun demikian apabila hal seperti itu dilakukan oleh seseorang yang mendengar khutbah imam, maka dia tidak harus mengulang shalatnya.
Meski kalau saja dia diam (melakukan inshat), maka itu jauh lebih baik baginya.
Dalam masalah ini, yang lebih tepat adalah seseorang langsung shalat tahiyyatul masjid ketika muadzin mengumandangkan adzan. Hal ini karena mendengarkan khutbah itu adalah kewajiban yang lebih ditekankan di hari Jum’at. Dan di antara dalil yang memalingkan dari hukum wajib adalah perkataan beliau kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu dan teman-temannya, ketika mereka datang selama dua puluh hari untuk mempelajari Islam dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas itu diucapkan ketika beliau mengajar (ta’lim), sehingga menjadi kewajiban beliau untuk menjelaskan semua yang dibutuhkan oleh Malik bin Huwairits dan rombongannya yang sedang “nyantri” selama dua puluh hari. Mereka tidak memiliki ilmu tentang perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah menjawab adzan (jika hukumnya wajib). Hal ini berdasarkan hadits yang telah kami sebelumnya, yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,. Jika dia tidak menjawab adzan, dan memulai shalat (tahiyyatul masjid), hal itu tidaklah mengapa, sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam Ahmad.” (Al-Mughni, 1: 474 [Asy-Syamilah]). [4] Pembahasan ini kami sarikan dari kitab Ahkaam Khudhuuril Masaajid karya Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafidzahullah, hal.