Hukum Shalat Jumat Pandemi Corona. Keywords: Law, Friday Prayers, Covid-19. Abstract. This study discusses the legal status of leaving Friday prayers during the Corana Virus pandemic. Based on the source of Islamic law; al-Qur'an, hadith and ijma' ulama.
In this study there are four conclusions, first, the scholars agreed that the law of Friday prayer is mandatory for people who are affected by the law of taklif and are in a state of pain, fear of illness, fear of life and property, rain, very cold or very hot weather and the outbreak of a disease such as coronavirus. Second, it is permissible not to perform Friday prayers if there is udzur in the way. It's part of the waiver in the goal of setting the law at a secondary level of need that turns into a primary need because the spread of this virus has been life-threatening. Third, it is obligatory to obey the leader, as long as the policy is not contrary to Islamic law. To measure the conformity of the leader's policy with sharia by referring to a benefit. Fourth, as long as the udzur syar'i is still struck, leaving Friday prayers is no limit.
Hukum shalat Jumat wajib bagi setiap mukallaf, baligh, aqil, laki-laki, merdeka yang tidak memiliki uzur. Kewajiban shalat didasarkan pada surat Al-Jumu‘ah ayat 9 yang menuntut umat Islam untuk menghadiri panggilan Jumat. Oleh karena itu, kita menemukan banyak hadits yang menyatakan tindakan meninggalkan ibadah shalat Jumat bagi mereka yang terkena kewajiban Jumat tanpa uzur syar’i sebagai kemaksiatan besar. Artinya: Siapa saja yang meninggalkan tiga kali ibadah shalat Jumat tanpa uzur, niscaya ia ditulis sebagai orang kafir nifaq/munafiq. من ترك الجمعة ثلاث مرات تهاونا بها طبع الله على قلبه. Artinya: Siapa meninggalkan tiga kali shalat Jumat karena meremehkan, niscaya Allah menutup hatinya.
Hadits yang terakhir ini kemudian dijelaskan oleh Imam Ar-Ramli melalui kitab Nihayatul Muhtaj:. Artinya: (Siapa meninggalkan tiga kali shalat Jumat karena meremehkan) dalam arti tidak ada uzur.
Sakit ringan seperti flu, pusing, atau sedikit demam tidak termasuk uzur. Lima jenis uzur ini disarikan dari pandangan keagamaan Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) tentang Pelaksanaan Shalat Jumat di Daerah Terjangkit Covid-19 pada 19 Maret 2020 yang dikutip dari Kitab Al-Minhajul Qawim karya Ibnu Hajar Al-Haitami.
Batsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim memutuskan beberapa poin menyikapi dampak pandemi COVID-19. Salah satunya hukum shalat Jumat dan kegiatan keagamaan lainnya di tengah wabah COVID-19. Ahmad Muntaha Wakil Sekretaris LBM NU Jatim mengatakan, meski COVID-19 ditetapkan oleh WHO sebagai pandemi, namun di Indonesia penyebarannya tidak menyeluruh. Sehingga, bagi orang yang berada di daerah kategori aman maka tetap wajib melaksanakan shalat Jumat. Bagi orang di daerah yang telah dinyatakan terdapat penyebaran virus Corona, namun tetap dalam kondisi sehat, maka mereka tetap berkewajiban melakukan shalat Jumat selama tidak khawatir terdampak virus tersebut. Bagi orang yang suspect (diduga terjangkit virus Corona) dan PDP (Pasien Dalam Pengawasan) boleh meninggalkan shalat Jumat.
Nabi Muhammad ﷺ pernah menginstruksikan agar wabah penyakit menular diisolasi sehingga tidak menyebar. Larangan di atas sesuai dengan instruksi Nabi Muhammad ﷺ di atas dan sesuai pula dengan peristiwa saat Nabi menginstruksikan agar seorang penderita penyakit kusta berbaiat dari jauh sebagaimana dalam hadits berikut:.
Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengirim seorang utusan supaya mengatakan kepadanya: ‘Kami telah menerima baiat Anda. Akan tetapi dalam kasus penderita kusta ternyata beliau memberikan solusi berbaiat dari jarak jauh yang nampaknya dilakukan agar kehadiran orang itu tidak mendatangkan potensi bahaya bagi hadirin lainnya.
Dari hal ini juga dapat dikiaskan tidak wajibnya menghadiri shalat Jumat saat ada kekhawatiran terjangkit penyakit. Dengan demikian, penderita penyakit menular diperbolehkan melakukan seluruh aktivitas di masjid tatkala sepi.
Hanya saja perlu dicatat bahwa illat (alasan hukum) pelarangan di atas adalah menjaga masyarakat dari penyakit menular. Dengan demikian, apabila kosongnya masjid atau terdapatnya ruang isolasi di masjid belum bisa menjaga terjaminnya masyarakat dari penularan penyakit sebab virusnya dapat hidup dengan menempel di benda-benda fasilitas publik di masjid lalu menulari orang yang menyentuhnya, maka pelarangan tetap berlaku hingga para ahli yang kompeten menyatakan bahwa kondisi sudah aman. Kesimpulannya, mereka yang positif terkena penyakit menular dilarang untuk mendatangi pusat keramaian, salah satunya masjid, sehingga dengan demikian ia cukup shalat dhuhur di rumah. Ustadz Abdul Wahab Ahmad, peneliti bidang aqidah di Aswaja NU Center Jawa Timur dan Wakil Sekretaris PCNU Jember.
Demikian pula hadits di atas merupakan peringatan keras bagi orang-orang yang meninggalkan shalat Jumat dan meremehkannya. “Barang siapa meninggalkan tiga shalat Jumat dalam keadaan menggampangkan dan tanpa ada uzur; Allah tabaraka wa ta’ala akan menutup hatinya.” (HR. ), kesungguhan tekad dan niatnya akan dicatat sebagai suatu kebaikan yang sempurna baginya.” (Bahjah Qulub al-Abrar wa Qurrah ‘Uyun al-Akhyar fi Syarh Jawami’ al-Akhbar hlm. Menteri Kesehatan juga menerangkan bahwa apabila tidak ada tindakan pencegahan yang komprehensif tanpa pengecualian, tingkat bahayanya akan berlipat-lipat.
Hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam juga menunjukkan kewajiban untuk melakukan tindakan pencegahan pada saat tersebar wabah penyakit. “Kekuatan” yang dimaksud dalam ayat ini mencakup keluasan rezeki, tersebarnya keamanan, dan kesehatan secara umum. Kami juga memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar senantiasa menjaga kita semua dengan perlindungan-Nya.
Sumber: Akun resmi ar-Ri`asah al-‘Ammah Lil Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta` (Direktorat Jenderal Bidang Penelitian Ilmiah dan Fatwa).
Akan tetapi, terdapat beberapa kondisi (‘udzur syar’i) yang menyebabkan kewajiban tersebut menjadi gugur, di antaranya adalah hujan deras, sakit, angin kencang, dan sebagainya. “Aku tidak mengetahui adanya perselisihan di antara para ulama bahwa orang sakit boleh meninggalkan shalat berjamaah karena penyakitnya.” (Asy-Syarh Al-Kabiir li Ibni Qudamah, 2: 82).
Jika orang yang positif Covid-19 tetap berkumpul bersama jamaah kaum muslimin, tentu akan bertentangan dengan isi kandungan hadits di atas. “Apabila seorang hamba sakit atau sedang melakukan safar, Allah akan menuliskan baginya pahala seperti saat ia lakukan ibadah di masa sehat dan bermukim.” (HR. Kedua: “Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya rendah berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang, maka ia tetap wajib menjalankan kewajiban ibadah sebagaimana biasa dan wajib menjaga diri agar tidak terpapar COVID-19, seperti tidak kontak fisik langsung (bersalaman, berpelukan, cium tangan), membawa sajadah sendiri, dan sering membasuh tangan dengan sabun.”.