Hukum Shalat Jumat Ketika Terjadi Wabah. Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh mengatakan, ada tiga jenis orang yang tidak melaksanakan sholat Jumat. Jika tidak Jumatan tiga kali berturut tanpa uzur maka Allah mengunci mati hatinya," kata Asrorun saat berbincang dengan Tim Hikmah detikcom, Kamis, 2 April 2020.
"Nah, dalam kondisi ketika berkumpul dan berkerumun itu diduga kuat akan terkena wabah atau menularkan penyakit, maka ini menjadi uzur untuk tidak Jumatan (sholat Jumat)," papar Asrorun. Termasuk udzur juga yang dibolehkan meninggalkan sholat Jumat dan jamaah adalah karena takut terjadinya sakit," terang Asrorun. Penyebaran virus corona atau COVID-19 akan kian meluas tatkala terjadi kerumunan manusia dan salah satunya adalah ketika sholat Jumat.
Larangan di atas sesuai dengan instruksi Nabi Muhammad ﷺ di atas dan sesuai pula dengan peristiwa saat Nabi menginstruksikan agar seorang penderita penyakit kusta berbaiat dari jauh sebagaimana dalam hadits berikut:. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengirim seorang utusan supaya mengatakan kepadanya: ‘Kami telah menerima baiat Anda. Akan tetapi dalam kasus penderita kusta ternyata beliau memberikan solusi berbaiat dari jarak jauh yang nampaknya dilakukan agar kehadiran orang itu tidak mendatangkan potensi bahaya bagi hadirin lainnya. Dari hal ini juga dapat dikiaskan tidak wajibnya menghadiri shalat Jumat saat ada kekhawatiran terjangkit penyakit. Hanya saja perlu dicatat bahwa illat (alasan hukum) pelarangan di atas adalah menjaga masyarakat dari penyakit menular. Kesimpulannya, mereka yang positif terkena penyakit menular dilarang untuk mendatangi pusat keramaian, salah satunya masjid, sehingga dengan demikian ia cukup shalat dhuhur di rumah.
Ustadz Abdul Wahab Ahmad, peneliti bidang aqidah di Aswaja NU Center Jawa Timur dan Wakil Sekretaris PCNU Jember.
Namun ketika dia tak mampu berdiri karena sakit atau ada alasan syar'i, boleh sholat dengan duduk. Dikhawatirkan jika berjamaah di masjid justru akan terjadi penyebaran wabah yang kian tak terkendali.
Terkait sholat Jumat, hadits yang menyebut bahwa meninggalkannya tiga kali berturut-turut masuk dalam kategori dosa besar adalah jika lalai atau malas mengerjakannya. Sehingga hadits tersebut tidak bisa dikenakan pada umat Islam yang tak sholat Jumat walau pun tiga kali berturutan. "Ketika kondisinya ada semacam ini, bukan kondisi biasa tapi kondisi 'luar biasa', maka tentunya hadits yang dikatakan nabi tidak mengenai kepada mereka mereka yang meninggalkan sholat Jumat walaupun sampai 3 kali betturut-turut maka sesungguhnya dia tetap akan mendapatkan rahmat dari Allah SWT karena dia berada di rumah untuk meminimalisir mudharat dan wabah supaya tidak masif menyebar pada kehidupan manusia," jelas Ustaz Oemar Mita. Hingga artikel ini diturunkan tercatat sudah ada 1.790 kasus positif virus corona, 170 di antaranya meninggal dunia.
Bisnis.com, JAKARTA - Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa terkait pelaksanaan ibadah di tengah penyebaran wabah virus corona. Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh menjelaskan bahwa seluruh umat memiliki kewajiban ikhtiar atau berusaha untuk menjaga kesehatan dan menjauhi sikap yang mengarah pada penularan penyakit.
Masyarakat positif corona juga diharamkan untuk melakukan aktifitas ibadah sunnah yang membuka peluang terjadi penularan, seperti jamaah salat lima waktu/rawatib, tarawih, dan Ied di masjid atau menghadiri pengajian maupun tabligh akbar. Selain itu, MUI juga mengatur tentang pelaksanaan ibadah termasuk salat Jumat di wilayah penyebaran wabah virus corona.
b. Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya rendah berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia tetap wajib menjalankan kewajiban ibadah sebagaimana biasa dan wajib menjaga diri agar tidak terpapar virus Corona, seperti tidak kontak fisik langsung (bersalaman, berpelukan, cium tangan), membawa sajadah sendiri, dan sering membasuh tangan dengan sabun. Pemerintah menjadikan fatwa ini sebagai pedoman dalam upaya penanggulangan COVID-19 terkait dengan masalah keagamaan dan umat Islam wajib mentaatinya. Sedangkan untuk menshalatkan dan menguburkannya dilakukan sebagaimana biasa dengan tetap menjaga agar tidak terpapar COVID-19. Fatwa ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata dibutuhkan perbaikan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, semua pihak dihimbau untuk menyebarluaskan fatwa ini.
Akan tetapi, terdapat beberapa kondisi (‘udzur syar’i) yang menyebabkan kewajiban tersebut menjadi gugur, di antaranya adalah hujan deras, sakit, angin kencang, dan sebagainya. Pada asalnya, jika seseorang sakit, itu adalah ‘udzur yang menyebabkan dirinya boleh meninggalkan shalat berjamaah di masjid. “Aku tidak mengetahui adanya perselisihan di antara para ulama bahwa orang sakit boleh meninggalkan shalat berjamaah karena penyakitnya.” (Asy-Syarh Al-Kabiir li Ibni Qudamah, 2: 82).
Apalagi jika di masjid tersebut terdapat orang-orang berisiko tinggi terinfeksi SARS-CoV-2 dengan komplikasi serius, seperti orang-orang berusia lebih dari 60 tahun. Jika orang yang positif Covid-19 tetap berkumpul bersama jamaah kaum muslimin, tentu akan bertentangan dengan isi kandungan hadits di atas. “Apabila seorang hamba sakit atau sedang melakukan safar, Allah akan menuliskan baginya pahala seperti saat ia lakukan ibadah di masa sehat dan bermukim.” (HR. Adanya wabah, apalagi level pandemi, tentu bisa dianalogikan (diqiyaskan) dengan ‘udzur-‘udzur tersebut, boleh tidak shalat berjamaah di masjid. Dan bolehnya tidak shalat berjamaah di masjid juga sesuai dengan kaidah fiqhiyyah yang telah kami sebutkan sebelumnya, yaitu:. Kedua: “Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya rendah berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang, maka ia tetap wajib menjalankan kewajiban ibadah sebagaimana biasa dan wajib menjaga diri agar tidak terpapar COVID-19, seperti tidak kontak fisik langsung (bersalaman, berpelukan, cium tangan), membawa sajadah sendiri, dan sering membasuh tangan dengan sabun.”.
Kedua: Orang yang diputuskan oleh instansi khusus untuk diisolasi, maka dia harus berkomitmen akan hal itu dan tidak menghadiri shalat berjamaah dan shalat Jumat, dia menunaikan shalatnya di rumah atau di tempat isolasinya. “Tidak boleh memberikan mudarat tanpa disengaja atau pun disengaja.”(Hadits hasan, HR. 4540, dan selain keduanya dengan sanadnya, serta diriwayatkan pula oleh Malik dalam Al-Muwaththa’ no. Pertama: Jika berada di suatu kawasan yang potensi penularan tinggi atau sangat tinggi, berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang, maka ia boleh meninggalkan shalat Jumat dan menggantikannya dengan shalat Zhuhur di tempat kediaman, serta meninggalkan jamaah shalat lima waktu, tarawih, dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya.
Kedua: Jika berada di suatu kawasan yang potensi penularannya rendah berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang, maka ia tetap wajib menjalankan kewajiban ibadah sebagaimana biasa dan wajib menjaga diri agar tidak terpapar COVID-19, seperti tidak kontak fisik langsung (bersalaman, berpelukan, cium tangan), membawa sajadah sendiri, dan sering membasuh tangan dengan sabun.
Anwar, Yayan Khaerul and Zulbaidah, Zulbaidah and Syaripudin, Dadang and Mahbub, Mohammad ‘Azimah, rukhsakh dan raf'u taklif dalam pelaksanaan tuntutan hukum ibadah ketika terjadi wabah virus Covid-19. Pelaksanaan ibadah ketika terjadi wabah virus covid-19 (shalat berjamaah, jumatan, tarawih, ‘ied, umrah dan hajji) adalah topik yang hangat dan tidak jarang menuai perdebatan. tulisan ini akan mencoba mengurai masalah tersebut dengan menggunakan pendekatan konsep `azīmah, rukhsah dan raf’u taklif dalam ushul fiqh. Hasil penelitian menunjukkan: 1) `azīmah adalah pelaksanaan tuntutan hukum yang dilakukan dengan sempurna sesuai dengan ketentuan pokok dan secara keseluruhan menunculkan kemashlahatan bagi mukallaf, rukhshah adalah pelaksanaan tuntutan hukum dengan cara mengurangi dari ketentuan pokok karena bila dilakukan secara sempurna mukallaf akan mengalami kerusakan pada tingkat haji (al-masaqqah), dan raf’u taklif adalah bebasnya mukallaf dari tuntutan dan saknsi hukum dikarenakan pelaksanaan tuntutan hukum akan menimbulkan kerusakan bagi mukallaf pada tingkat dharūrĩ/dharūrāt. 2) pelaksanaan tuntutan ibadah ketika terjadi wabah Covid-19 dapat dikategorikan kedalam dua kategori: a) pelaksanaan shalat berjamaah di masjid menjadi di rumah, jumatan menjadi shalat dzuhur di rumah, shalat tarawih dan ‘ied di rumah adalah bentuk perubahan pelaksanaan tuntutan hukum dari `azīmah ke rukhshah; b) tuntutan hukum untuk menunaikan ibadah umrah dan hajji menjadi gugur ketika terjadi wabah Covid-19, dengan demikian apabila seorang mukallaf sudah istitha’ah untuk melaksanakan ibadah umrah/hajji tapi ternyata pelaksanaanya bersamaan dengan terjadinya wabah, maka baginya gugur kewajiban umrah/hajji dan bila ia meninggal sebelum datang musim berikutnya ahli waris tidak wajib melaksanakanya. Pernyataan umum sebagai kesimpulan penelitian ini adalah bahwa keutamaan dalam pelaksanaan ibadah sangat tergantung kepada sejauh mana kemanfaatan dan kemafsadatan yang dimunculkannya.
Bila terjadi perbedaan pendapat maka putusan pemerintah menjadi solusinya.