Hukum Shalat Berjamaah Menurut Jumhur Ulama Adalah. - Hukumadalah sunnah muakad secara umum, berdasarkan keterangan Syekh Wahbah Az Zuhaili dalam Kitab Fiqhul Islam wa Adillathuhu. Mazhab ini menyatakan bagi setiap muslim laki-laki yang telah baligh, hukumnya adalah fardhu ain dan mengakibatkan dosa bila ditinggalkan.
Mazhab ini menyatakan bagi setiap muslim laki-laki yang telah baligh, hukumnya adalah fardhu ain dan mengakibatkan dosa bila ditinggalkan. Dalam riwayat lain ditegaskan tidak sempurna sholat laki-laki baligh yang dilakukan di rumah, padahal dia mendengar adzan. Simak Video "Mayat di Parit Hebohkan Warga Sulsel, Diduga Korban Lakalantas".
Meskipun hukum shalat berjamaah menurut 4 madzhab ada perbedaan, maka sebagai seorang muslim perlu mengetahui perbedaan diantaranya agar tidak keliru memahami hukum shalat berjamaah. Hukum shalat berjamaah menurut madzhab Imam Syafi'i, Imam Malik, dan Abu Hanifa adalah sunnah sebagaimana dijelaskan oleh Buya Yahya melalui kanal YouTube Al-Bahjah TV.
"Sebagian madzhab kita mengatakan bahwa sholat berjamaah hukumnya fardu kifaya" ujar Buya Yahya. Berbeda dengan madzhab Imam Syafi'i, Imam Malik, dan Abu Hanifa, Madzhab Ahmad bin Hanbal menyebutkan shalat berjamaah hukumnya wajib.
Hukum wajib menurut Ahmad bin Hanbal dibagi menjadi dua.
Hukum sholat berjamaah untuk sholat fardhu menurut Syekh Wahbah Az Zuhaili dalam Kitab Fqhul Islam wa Adillathuhu juz 2 adalah antara sunnah mu'akkadah atau sangat dianjurkan ataupun wajib. Hal itu karena sholat jamaah adalah bagian dari syiar agama Islam.
Saya sungguh telah bermaksud untuk menyuruh dengan sholat, maka dikumandangkan iqamah lalu aku menyuruh seseorang untuk mengimami orang-orang lalu aku berangkat dengan beberapa orang yang membawa ikatan kayu bakar kepada kaum itu yang tidak turut sholat berjamah, aku bakar atas tindakan mereka rumah-rumah mereka dengan api.". Dalam buku 'Shalat Berjamaah: dan Permasalahannya' oleh Wawan Shofwan Sholehudin, di dalam beberapa hadits ditegaskan oleh Rasulullah SAW bahwa tempat sholat fardhu terbaik bagi perempuan adalah rumahnya.
Akan tetapi sholat di rumah itu banyak kemungkinan dilakukan dengan munfarid atau tidak berjamaah. Maknanya ia kehilangan keutamaan berjamaah yang dinyatakan dua puluh tujuh derajat.
Oleh karena itu Rasulullah SAW memberikan jalan lain bagi perempuan untuk diizinkan berjamaah di masjid. beliau telah bersabda, "Apabila istri seorang dari kamu minta izin untuk ke masjid, janganlah ia menghalanginya.".
Menurut Ibnu. rahimahullah.
menyatakan bahwa kebanyakan para ulama berdalil dengan ayat ini menjadi dasar wajibnya. berjemaah. Kata “bersama” dalam ayat tersebut memiliki makna menemani atau menyertai.
Jadi pada dasarnya ayat ini berarti:.
JAKARTA, iNews.id - Hukum merapatkan shaf dalam shalat berjamaah menurut jumhur ulama adalah sunnah muakkadah. Sedangkan Ibnu Hazm (w. 456 H) berpendapat bahwa hukum meluruskan shaf adalah fardhu. Diketahui, Majelis Ulama Indonesia (MUI) membolehkan umat Islam untuk kembali merapatkan shaf dalam sholat berjamaah. Namun, kebolehan merapatkan shaf dalam sholat berjamaah ini berlaku khusus di daerah yang level 1 dan berzona hijau.
menerangkan, merapatkan shaf dalam sholat berjamaah memang sangat dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW. Di antaranya adalah riwayat dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:. Perintah untuk meluruskan shaf juga disebutkan dalam hadits Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:. Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Tidak lurusnya shaf akan menimbulkan permusuhan dan kebencian, serta membuat hati kalian berselisih.” (Syarh Muslim, 4: 157).
Padahal bisa diterimanya shalat kita oleh Allah SWT membutuhkan berbagai macam persyaratan yang tidak ringan. Selain itu, shalat juga membutuhkan keikhlasan dan kekhusuan di dalamnya sehingga mampu menyambung dengan sang khalik.
Ali pun teringat pesan Rasulullah yang mengajarkan agar setiap muslim menghormati orang tua tanpa melihat siapa dia dan apa agamanya. Namun ketika memasuki masjid, Ali terkejut sekaligus gembira, karena Rasulullah dan para sahabat masih rukuk pada rakaat yang kedua.
Ini berarti Ali masih punya kesempatan untuk mendapatkan keutamaan shalat berjamaah walaupun waktu subuh sudah akan habis. Rasulullah pun menjelaskan bahwa saat ia shalat Malaikat Jibril tiba-tiba saja datang dan menahan punggung Rasul sehingga tidak bisa bangun untuk berdiri iktidal.