Hukum Qadha Shalat Orang Yang Sudah Meninggal. من مات وعليه صلاة فرض لم تقض ولم تفد عنه، وفي قول: إنها تفعل عنه، أوصى بها أم لا، حكاه العبادي عن الشافعي لخبر فيه، وفعل به السبكي عن بعض أقاربه. Beda halnya dengan orang yang lupa atau ketiduran, mereka dianjurkan untuk menyegerakan (), dan tidak diwajibkan sebagaimana halnya orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja.Kewajiban qadha ini mengukuhkan bahwa bagaimanapun dan dalam kondisi apapun shalat wajib tidak boleh ditinggalkan, kecuali bagi perempuan haidh.Lalu bagaimana dengan orang yang sudah meninggal? Apakah ahli waris atau keluarganya dianjurkan untuk mengqadha shalat orang yang sudah wafat?
Persoalan ini sudah dibahas dan diperdebatkan oleh para ulama sejak dulu. Menurut satu pendapat, dianjurkan qadha’, baik diwasiatkan maupun tidak, sebagaimana yang dikisahkan Al-‘Abadi dari As-Syafi’i karena ada hadis mengenai persoalan ini.
Ulama yang membolehkan hal ini berdalil pada hadis kewajiban qadha puasa bagi ahli waris. ‘Aisyah pernah mendengar Rasulullah bahwa:Artinya, “Siapa yang meninggal dan memiliki tanggungan puasa, wajib bagi keluarganya untuk mengqadhanya,” (HR Al-Bukhari).Anjuran mengqadha puasa ini disematkan pada shalat, karena keduanya sama-sama ibadah badaniyah (ibadah fisik).
Selain pendapat, sebagian ulama besar seperti As-Subki juga melakukan untuk keluarganya yang telah wafat. Sebab persoalan ini masih diperdebatkan dan diperselisihkan oleh para ulama (khilafiyah).
Sholat lima waktu adalah wajib bagi tiap individu saat masih hidup. Menurut mayoritas ulama, termasuk Syekh Zainuddin al-Malibari, pengarang kitab Fathul Mu’in, berpendapat, jika ada orang yang sudah wafat mempunyai utang sholat fardlu, maka tidak perlu di-qadla’ atau dibayarkan fidyah-nya. Sementara itu menurut sebagian ulama lainnya seperti as-Subki dan Ibnu Burhan berpendapat, jika ada orang yang sudah wafat dan mempunyai utang sholat Fardlu, maka keluarga perlu membayarkan fidyah-nya jika almarhum meninggalkan harta benda (tirkah).
Mereka berpendapat, jika ada orang sudah wafat mempunyai hutang shalat dan puasa, maka keluarga perlu membayarkan fidyah-nya kepada kaum fakir miskin. Menurut sebagian pendapat para imam mujtahid, bahwa sholat tersebut harus diqadha. Sehubungan dengan hal itu, sebagian ulama kita (Mazhab Syafi’i) memilih pendapat ini, bahkan Imam as-Subki mempraktikkannya sebagai pengganti shalat yang ditinggalkan salah seorang kerabatnya.”. Sehubungan dengan perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqih, Komisi Fatwa MUI DKI Jakarta memilih pendapat ulama yang menyatakan bahwa sholat yang telah ditinggalkan sewaktu masih hidup dapat di-qadha atau diganti dengan membayar fidyah. Namun MUI DKI Jakarta menegaskan, bukan berarti orang yang masih hidup boleh meninggalkan sholat untuk digantikan dengan membayar fidyah atau berwasiat kepada keluarganya agar sesudah wafat, sholat-sholat yang ditinggalkannya diqadha atau dibayar dengan fidyah.
Direktur Aswaja Center Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, KH Ma’ruf Khozin, menjelaskan di kitab Ianah Ath-Thalibin 1/33 Syekh Abu Bakar Dimyathi mengutip dari Syekh Zainuddin Al-Malibar India sebuah ketentuan hukum salat bagi orang yang sudah wafat: ﻓﺎﺋﺪﺓ: ﻣﻦ ﻣﺎﺕ ﻭﻋﻠﻴﻪ ﺻﻼﺓ ﻓﻼ ﻗﻀﺎء ﻭﻻ ﻓﺪﻳﺔ. ﻭﻓﻲ ﻗﻮﻝ - ﻛﺠﻤﻊ ﻣﺠﺘﻬﺪﻳﻦ - ﺃﻧﻬﺎ ﺗﻘﻀﻰ ﻋﻨﻪ ﻟﺨﺒﺮ اﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻭﻏﻴﺮﻩ، ﻭﻣﻦ ﺛﻢ اﺧﺘﺎﺭﻩ ﺟﻤﻊ ﻣﻦ ﺃﺋﻤﺘﻨﺎ، ﻭﻓﻌﻞ ﺑﻪ اﻟﺴﺒﻜﻲ ﻋﻦ ﺑﻌﺾ ﺃﻗﺎﺭﺑﻪ.
"Menurut satu pendapat dari para mujtahid disebutkan sholatnya mayit boleh diqadha(ditunaikan ahli warisnya), berdasarkan hadits Bukhari dan lainnya. Pendapat ini dipilih para imam kita dan dilaksanakan As-Subki ketika sebagian keluarganya wafat.". "Ibnu Burhan mengutip dari pendapat lama Imam Syafi'i bahwa ahli waris wajib untuk mensalatkan jika mayitnya memiliki harta warisan. Dalam pendapat ulama Syafi'iyah bahwa dibayarkan 1 mud (6 ons) untuk tiap salat yang ditinggalkannya.".
Namun sebagian ulama menggunakan metode qiyas / analogi karena baik salat, puasa dan haji adalah sama-sama ibadah yang terdapat dalam rukun Islam. "Sungguh dari bakti setelah bakti yang lain adalah engkau melakukan salat untuk kedua orang tuamu bersama dengan salatmu dan berpuasa untuk kedua orang tuamu bersama dengan puasamu.". Sebab Hajjaj ini adalah tabi'it tabi'in, sehingga untuk meriwayatkan sebuah hadits masih memerlukan dua sanad, yaitu tabi'in dan sahabat.
Kalau memang mayitnya tidak sholat selama sakit beberapa hari masih sanggup dijalankan.