Fatwa Mui Shalat Jumat Zona Merah. Seruan Buya Anwar ini sejalan dengan kebijakan pemerintah di beberapa daerah zona merah Covid-19. Dia mengatakan, zona merah adalah daerah yang masuk kategori penyebaran Covid-19 masif bahkan tidak terkendali. Beberapa daerah belakangan ini mulai masuk zona merah seiring dengan melonjaknya peningkatan pasien Covid-19.
Dia menyampaikan, ajakan untuk sementara waktu tidak melaksanakan shalat berjamaah di luar rumah ini sejalan dengan Alquran dan hadist. Inti ajaran agama Islam juga mewajibkan umatnya menjaga diri, orang lain, dan keluarga dari segala bentuk hal yang membinasakan. “Umat Islam tidak boleh melangsungkan kegiatan yang mencelakai diri sendiri dan orang lain.
Saat ini banyak sekali orang yang statusnya tanpa gejala (OTG), secara fisik sehat, namun di dalam dirinya terpapar Covid-19. Akan sangat berbahaya apabila ada yang berkontak dengan OTG karena memungkinkan terpapar,” ujarnya.
Kepada zona-zona di bawah zona merah, karena kondisi Covid-19 sedang naik lagi, dia meminta agar protokol kesehatan dijalankan secara ketat.
Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Hasanuddin AF membolehkan salat Jumat diganti dengan salat zuhur bagi umat Islam demi mencegah penyebaran virus Corona (Covid-19) di wilayah yang tak terkendali alias zona merah. Hal itu menurutnya sudah sesuai dengan Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah COVID-19.
"Bahkan di fatwa itu bukan hanya boleh, tapi wajib tak dilaksanakan salat Jumat itu di zona yang tak terkendali Covidnya, sekiranya kalau dilaksanakan menimbulkan mudarat. Tapi diganti dengan salat zuhur di rumah masing-masing," kata Hasanuddin kepada CNNIndonesia.com, Rabu (23/6). Ia justru khawatir seseorang akan mudah tertular virus corona bila tetap nekat melaksanakan salat Jumat berjemaah di masjid di tengah kondisi penularan yang tinggi saat ini. Saya jawab, ketakwaan kita bisa berhenti total kalau Covid tak dijaga, tetap ke kerumunan. Hasanuddin mengimbau umat Islam untuk mengutamakan kesehatan dan keselamatan diri. Terlebih lagi saat ini virus corona sudah bermutasi menjadi varian yang lebih cepat penularannya di tengah masyarakat.
Ia pun menilai pemerintah daerah yang penularan virus corona sudah tak terkendali bisa mengambil keputusan sesuai fatwa MUI tersebut.
Keputusan ini diambil setelah dua warga kota setempat, dinyatakan positif Covid-19, Selasa (7/4/2020). Redaksi pon 3 SE tersebut adalah: Jika keadaan Covid 19 berstatus tanggap darurat telah dinyatakan oleh pemerintah dan sangat mengkhawatirkan manusia, maka diharapkan meniadakan sementara sholat jumat dan umat islam melaksanakan sholat di rumah masing-masing. Langkah meniadakan shalat jumat ini, diunggah di laman Pemerintah Kota Probolinggo, Kamis (9/4/2020) siang. Redaksi pengumuman di laman resmi Pemerintah Kota Probolinggo itu sebagai berikut:. Hingga pukul 12.30, informasi yang baru sejam diunggah tersebut telah 68 kali dibagikan. Berita sebelumnya, dua warga Kota Probolinggo asal Kelurahan/Kecamatan Kademangan, dinyatakan positif Covid-19.
Dua pasien yang merupakan bapak dan anak tersebut, menjalani perawatan di RSUD dr Moh Saleh, kota setempat.
Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) menyatakan bahwa orang yang positif mengidap Covid-19 dilarang menghadiri shalat Jumat. Putusan ini dikeluarkan dalam merespons maklumat perkembangan terkait peningkatan jumlah warga negara yang terjangkit virus Corona atau Covid-19 di Indonesia.
Data dari website KawalCovid19 per 19 Maret 2019 menunjukkan bahwa kasus Covid-19 di Indonesia yang terkonfirmasi berjumlah sebanyak 308, dengan rincian 268 dalam perawatan, 15 sembuh, dan 25 meninggal. “Orang-orang yang sudah tahu bahwa dirinya positif mengidap virus corona, maka virus corona bukan hanya uzur (alasan) yang membolehkan yang bersangkutan meninggalkan shalat Jum’at melainkan juga menjadi larangan baginya untuk menghadiri shalat Jumat,” demikian bunyi pandangan keagamaan LBM PBNU yang ditetapkan pada Kamis (19/3) ini.
Apabila orang tersebut tetap ikut melaksanakan shalat Jumat atau jamaah di masjid maka shalatnya tetap sah, karena meskipun dia dilarang namun larangannya tidak kembali kepada sesuatu yang dilarang yaitu shalat, melainkan karena faktor ekstrernal, yaitu menimbulkan bahaya kepada orang lain. Sebab, di zona merah, penularan Covid-19 meski belum sampai pada tingkat yakin, sekurang-kurangnya diduga kuat atau potensial yang mendekati aktual.
“Di sini penularan virus corona tidak hanya berstatus sebagai uzur, tetapi menjadikan larangan untuk menghadiri shalat Jumat. Artinya, masyarakat muslim yang ada di zona merah bukan hanya tidak diwajibkan shalat Jumat/tidak dianjurkan shalat jamaah dalam jumlah besar, melainkan justru mereka tidak boleh melakukan dua aktivitas tersebut,” ucapnya. Sementara umat Islam yang berada di zona kuning Covid-19 (penularan Covid-19 masih dalam batas potensial-antisipatif) tidak dilarang melainkan hanya menjadi uzur shalat berjamaah dan shalat Jumat. “Artinya, virus corona menjadi alasan bagi masyarakat Muslim di zona kuning itu untuk tidak melaksanakan shalat Jumat dan shalat berjamaah dan tidak sampai menjadi larangan bolehnya mereka melakukan dua aktivitas tersebut,” ucapnya.
Redaksi NU Online, pemerintah menganjurkan masyarakat untuk menunda perkumpulan yang melibatkan banyak orang. Apakah shaf jamaah dapat diatur dengan mengikuti standar social distancing atau jarak aman interaksi sosial?
Belakangan kita menyaksikan perkembangan terkini sehingga pemerintah daerah dan beberapa ormas keagamaan seperti MUI dan PBNU mengeluarkan sikap keagamaan terkait pelaksanaan ibadah Jumat, yaitu menunda Shalat Jumat sementara untuk zona merah Covid-19 atau daerah berpotensi tinggi virus corona. وعن أنس رضي اللّه عنه أن رسول اللّه قال: رصوا صفوفكم) أي حتى لا يبقى فيها فرجة ولا خلل (وقاربوا بينها) بأن يكون ما بين كل صفين ثلاثة أذرع تقريباً، فإن بعد صف عما قبله أكثر من ذلك كره لهم وفاتهم فضيلة الجماعة حيث لا عذر من حر أو برد شديد.
Jika sebuah shaf berjarak lebih jauh dari itu dari shaf sebelumnya, maka hal itu dimakruh dan luput keutamaan berjamaah sekira tidak ada uzur cuaca panas atau sangat dingin misalnya,” (Ibnu Alan As-Shiddiqi, Dalilul Falihin, juz VI, halaman 424). Pandangan ini sejalan dengan tuntutan untuk social distancing atau jaga jarak aman penularan Covid-19. Artinya, “Maksud kata (terpisah sendiri) adalah di mana setiap sisi kanan dan kirinya terdapat celah yang memungkinkan satu orang atau lebih berdiri,” (Syihabuddin Al-Qalyubi, Hasyiyah Qaliyubi wa Umairah, [Kairo, Al-Masyhad Al-Husaini: tanpa tahun], juz I, halaman 239). Artinya “Tetapi jika mereka tertinggal (terpisah) dari shaf karena uzur seperti saat cuaca panas di masjidil haram, maka tidak (dianggap) makruh dan lalai sebagaimana zahir,” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj bi Syarhil Minhaj, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 2011], halaman 296). Artinya, “Jika seorang masuk sementara jamaah sedang shalat, maka ia makruh untuk berdiri sendiri. Kami tidak menyarankan pelaksanaan ibadah Jumat terutama pada zona merah Covid-19 atau daerah berpotensi tinggi penyebaran virus corona sebagaimana imbauan putusan LBM PBNU, fatwa MUI, dan imbauan Bimas Kemenag RI karena terlalu berisiko.