Doa Setelah Sholat Dhuha Rumaysho. Shalat dhuha adalah shalat sunnah yang dikerjakan di waktu dhuha, yaitu awal dari waktu siang. Diantara dalilnya hadits Abu Dzar radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,. Semua ini bisa dicukupi dengan melaksanakan shalat dhuha sebanyak dua raka’at” (HR. Dari Buraidah Al Aslami radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,.
Baca Juga: Bolehkah Shalat Dhuha Secara Terus-menerus? أَوْصاني حبيبي بثلاثٍ لنْ أَدَعهنَّ ما عشتُ: بصيامِ ثلاثةِ أيَّامٍ من كلِّ شهرٍ، وصلاةِ الضُّحى، وأنْ لا أنامَ حتى أُوتِرَ. “Kekasihku (Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam) mewasiatkan aku untuk tidak meninggalkan tiga perkara selama aku masih hidup: puasa tiga hari di setiap bulan, shalat dhuha dan tidak tidur sampai aku shalat witir” (HR. “Kekasihku (Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam) mewasiatkan aku utiga perkara: puasa tiga hari di setiap bulan, dua raka’at shalat dhuha dan shalat witir sebelum tidur” (HR.
Shalat dhuha menggantikan kewajiban sedekah untuk semua persendian sebagaimana dalam hadits Abu Dzar dan Buraidah di atas. Waktu Shalat Dhuha.
قدِم النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم المدينةَ، فقدِمْتُ المدينةَ، فدخلتُ عليه، فقلتُ: أخبِرْني عن الصلاةِ، فقال: صلِّ صلاةَ الصُّبحِ، ثم أَقصِرْ عن الصَّلاةِ حين تطلُعُ الشمسُ حتى ترتفعَ؛ فإنَّها تطلُع حين تطلُع بين قرنَي شيطانٍ، وحينئذٍ يَسجُد لها الكفَّارُ، ثم صلِّ؛ فإنَّ الصلاةَ مشهودةٌ محضورةٌ، حتى يستقلَّ الظلُّ بالرُّمح. Kemudian janganlah shalat ketika matahari sedang terbit sampai ia meninggi.
Sebagian ulama mengatakan bahwa waktu dhuha itu sekitar 15 menit setelah matahari terbit. Dan itu sekitar 15 menit setelah ia terbit” (Fatawa Ibnu Baz, https://ar.islamway.net/fatwa/14645). أنَّه رأى قومًا يُصلُّون من الضُّحى في مسجدِ قُباءٍ، فقال: أمَا لقَدْ علِموا أنَّ الصلاةَ في غيرِ هذه الساعةِ أفضلُ، قال: ((خرَجَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم على أهلِ قُباءٍ، وهم يُصلُّونَ الضُّحى، فقال: صلاةُ الأوَّابِين إذا رَمِضَتِ الفصالُ من الضُّحَى. Shalat Isyraq Adalah Shalat Dhuha Di Awal Waktu.
Kemudian ia shalat dua raka’at, maka pahala yang ia dapatkan seperti haji dan umrah. Dalam hadits ini disebutkan shalat dua rakaat ketika matahari terbit. Dan shalat isyraq ini adalah shalat dhuha di awal waktu.
Shalat dhuha dikerjakan minimal dua raka’at sebagaimana dalam hadits Abu Dzar dan Abu Hurairah di atas. Disebutkan dalam hadits dengan kata “dua rakaat shalat dhuha”. “Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam di tahun terjadinya Fathu Makkah beliau shalat delapan rakaat shalat dhuha” (HR. “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dhuha empat raka’at dan beliau biasa menambahkan sesuka beliau” (HR. Baca Juga: Seperti APa Shalat Sunnahnya Musafir? Berdasarkan hadits dari Abdullah bin Umar radhiallahu’anhuma, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:.
“Shalat (sunnah) di malam dan siang hari, dua rakaat-dua rakaat” (HR. ويقرأ فيها ما تيسر سوراً أو آيات ليس فيها شيء مخصوص، يقرأ فيها ما تيسر من الآيات أو من السور.
“Dalam shalat dhuha (setelah Al Fatihah, pent.). Doa Setelah Shalat Dhuha.
Tidak terdapat hadits dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang shahih dan sharih (tegas), mengenai doa setelah shalat dhuha. Al Bukhari dalam Al Adabul Mufrad no. قال: رَجُلٌ مِن الأنصارِ- إنَّه سَمِعَ النَّبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ في صَلاةٍ وهو يقولُ: ربِّ اغفِرْ لي -قال شُعْبةُ: أو قال: اللَّهُمَّ اغفِرْ لي- وتُبْ علَيَّ؛ إنَّك أنتَ التوَّابُ الغَفورُ، مِئَةَ مَرَّةٍ.
Selama tidak berkeyakinan bahwa ini adalah doa khusus setelah shalat dhuha.
Juga ada doa bada Dhuha yang diajarkan dalam tulisan kali ini. Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda, “Pada pagi hari diharuskan bagi seluruh persendian di antara kalian untuk bersedekah.
Begitu pula amar ma’ruf (mengajak kepada ketaatan) dan nahi mungkar (melarang dari kemungkaran) adalah sedekah. Ini semua bisa dicukupi (diganti) dengan melaksanakan shalat Dhuha sebanyak 2 raka’at.” (HR.
Banyaknya pintu kebaikan dan ketaatan, contohnya adalah dzikir kepada Allah, amar ma’ruf nahi mungkar. Luasnya rahmat Allah kepada hamba-Nya karena jika seorang hamba tidak mampu bersedekah setiap harinya seperti itu, maka bisa dicukupkan dengan dua rakaat shalat Dhuha. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat Dhuha, beliau mengucapkan,.
“ALLOHUMMAGHFIR-LII WA TUB ‘ALAYYA, INNAKA ANTAT TAWWABUR ROHIIM (artinya: Ya Allah, ampunilah aku dan terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang) sampai beliau membacanya seratus kali.” (HR. Kami pun tidak menemukan dalam berbagai kitab yang menyandarkan do’a ini sebagai hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kesimpulannya, do’a di atas bukanlah do’a yang asalnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disusun di Perpus Rumaysho, 26 Rabi’ul Awwal 1439 H, Kamis shubuh penuh berkah.
Di antara keutamaan Shalat Dhuha, bisa mempermudah urusan setiap muslim sebagaimana pelajaran dari hadits dari Nu’aim bin Hammar Al Ghothofaniy, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,. “Pada pagi hari diharuskan bagi seluruh persendian di antara kalian untuk bersedekah. Begitu pula amar ma’ruf (mengajak kepada ketaatan) dan nahi mungkar (melarang dari kemungkaran) adalah sedekah. Ini semua bisa dicukupi (diganti) dengan melaksanakan shalat Dhuha sebanyak 2 raka’at” (HR. 1- Awal waktu yaitu setelah matahari terbit dan meninggi hingga setinggi tombak. Dalilnya adalah hadits dari ‘Amr bin ‘Abasah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berkata, “Awal waktu shalat Dhuha adalah ketika matahari meninggi setinggi tombak ketika dilihat yaitu 15 menit setelah matahari terbit.” (Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hal. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Sekitar 10 atau 5 menit sebelum waktu zawal (matahari tergelincir ke barat).” (Idem).
Zaid bin Arqom melihat sekelompok orang melaksanakan shalat Dhuha, lantas ia mengatakan, “Mereka mungkin tidak mengetahui bahwa selain waktu yang mereka kerjakan saat ini, ada yang lebih utama. Begitu pula ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa ini adalah waktu terbaik untuk shalat Dhuha.
Walaupun boleh pula dilaksanakan ketika matahari terbit hingga waktu zawal.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 28). Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1433 H. Minhatul ‘Allam Syarh Bulughul Maram, Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al Fauzan, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan ketiga, tahun 1432 H.
Bahkan kita pun diperintahkan setiap harinya untuk bersedekah dengan seluruh persendian. Di antara keutamaannya, shalat Dhuha dapat menggantikah kewajiban sedekah seluruh persendian.
“Pada pagi hari diharuskan bagi seluruh persendian di antara kalian untuk bersedekah. Begitu pula amar ma’ruf (mengajak kepada ketaatan) dan nahi mungkar (melarang dari kemungkaran) adalah sedekah.
Hadits ini menjadi bukti selalu benarnya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap persendian itu memiliki kewajiban untuk bersedekah.” Para sahabat pun mengatakan, “Lalu siapa yang mampu bersedekah dengan seluruh persendiannya, wahai Rasulullah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan, “Menanam bekas ludah di masjid atau menyingkirkan gangguan dari jalanan.
Jika engkau tidak mampu melakukan seperti itu, maka cukup lakukan shalat Dhuha dua raka’at.”[3]. Jika memang demikian, sudah sepantasnya shalat ini dapat dikerjakan rutin dan terus menerus.”[5].
Dari Nu’aim bin Hammar Al Ghothofaniy, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Wahai anak Adam, janganlah engkau tinggalkan empat raka’at shalat di awal siang (di waktu Dhuha). Penulis ‘Aunul Ma’bud –Al ‘Azhim Abadi- menyebutkan, “Hadits ini bisa mengandung pengertian bahwa shalat Dhuha akan menyelematkan pelakunya dari berbagai hal yang membahayakan. Menurut pendapat yang paling kuat, hukum shalat Dhuha adalah sunnah secara mutlaq dan boleh dirutinkan.
Begitu pula shalat Dhuha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wasiatkan kepada Abu Hurairah untuk dilaksanakan. Sedangkan dalil bahwa shalat Dhuha boleh dirutinkan adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari ‘Aisyah ,. [11] Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin menjelaskan bahwa waktunya adalah mulai dari matahari setinggi tombak –dilihat dengan pandangan mata- hingga mendekati waktu zawal.
[12] Sedangkan Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) menjelaskan bahwa waktu awal shalat Dhuha adalah sekitar 15 menit setelah matahari terbit. Zaid bin Arqom melihat sekelompok orang melaksanakan shalat Dhuha, lantas ia mengatakan, “Mereka mungkin tidak mengetahui bahwa selain waktu yang mereka kerjakan saat ini, ada yang lebih utama.
Begitu pula ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa ini adalah waktu terbaik untuk shalat Dhuha. Dalil minimal shalat Dhuha adalah dua raka’at sudah dijelaskan dalam hadits-hadits yang telah lewat.
Sedangkan dalil yang menyatakan bahwa maksimal jumlah raka’atnya adalah tak terbatas, yaitu hadits,. Mu’adzah pernah menanyakan pada ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- berapa jumlah raka’at shalat Dhuha yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Sebagai solusi, pegawai tersebut bisa mengerjakan shalat Dhuha sebelum berangkat kantor.
Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) pernah menjelaskan, “Tidak selayaknya bagi seorang pegawai melalaikan pekerjaan dari atasan yang hukumnya lebih wajib dari sekedar melaksanakan shalat sunnah. Oleh karenanya, hendaklah seorang pegawai tidak meninggalkan pekerjaan yang jelas lebih wajib dengan alasan ingin melaksanakan amalan sunnah. Mungkin pegawai tersebut bisa melaksanakan shalat Dhuha di rumahnya sebelum ia berangkat kerja, yaitu setelah matahari setinggi tombak. Mayoritas ulama ulama berpendapat bahwa shalat sunnah boleh dilakukan secara berjama’ah ataupun sendirian (munfarid) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan dua cara ini, namun yang paling sering dilakukan adalah secara sendirian (munfarid). Ibnu Hajar Al Asqolani ketika menjelaskan hadits Ibnu ‘Abbas yang berada di rumah Maimunah dan melaksanakan shalat malam bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits ini menunjukkan dibolehkannya melakukan shalat sunnah secara berjama’ah.”[23]. An Nawawi tatkala menjelaskan hadits mengenai qiyam Ramadhan (tarawih), beliau rahimahullah mengatakan, “Boleh mengerjakan shalat sunnah secara berjama’ah.
“Apabila seseorang melaksanakan shalat sunnah terus menerus secara berjama’ah, maka ini adalah sesuatu yang tidak disyari’atkan. Adapun jika dia melaksanakan shalat sunnah tersebut kadang-kadang secara berjama’ah, maka tidaklah mengapa karena terdapat petunjuk dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal ini seperti shalat malam yang beliau lakukan bersama Ibnu ‘Abbas[25]. Namun kalau shalat sunnah secara berjama’ah dilakukan dalam rangka pengajaran, maka ini diperbolehkan karena ada maslahat. Ibnu Hajar ketika menjelaskan shalat Anas bersama anak yatim di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara berjama’ah, beliau mengatakan, “Shalat sunnah yang utama adalah dilakukan secara munfarid (sendirian) jika memang di sana tidak ada maslahat seperti untuk mengajarkan orang lain. Namun dapat dikatakan bahwa jika shalat sunnah secara berjama’ah dilakukan dalam rangka pengajaran, maka ini dinilai lebih utama, lebih-lebih lagi pada diri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang bertugas untuk memberi contoh pada umatnya, -pen).”. Shalat sunnah yang utama adalah shalat sunnah yang dilakukan secara munfarid (sendiri) dan lebih utama lagi dilakukan di rumah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,.
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih ligoirohi. [24] Syarh Muslim, 3/105, Abu Zakaria Yahya bin Syarf An Nawawi, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah.