Dalam Shalat Berjamaah Gerakan Makmum Harus. berdasarkan dalil ini maka para ulama sepakat bahwa shaf harus tersambung dan mudhobit. Pertama : ulama mengatakan hukumnya sah shalat makmum terhalang oleh pembatas atau hijab dan makmum di luar masjid dengan syarat dapat mendengar takbir Imam dan juga gerakan imam atau makmum yang bersambung dengan imam.
Imam Ahmad juga ditanyai tentang seorang pria yang shalat pada hari Jumat dan antara makmun dan Imam ada penghalan, dan dia berkata: Jika dia tidak mampu melakukan yg harusnya (menyambung shaf shalat). قال أحمد في رجلٍ يصلي خارج المسجد يوم الجمعة وأبواب المسجد مغلقة، أرجو أن لا يكون به بأسٌ.
وسئل عن رجلٍ يصلي يوم الجمعة وبينه وبين الإمام سترة،قال:إذا لم يقدر على غير ذلك.وقال:في المنبر إذا قطع الصف لا يضر.ولأنه أمكنه الاقتداء بالإمام فيصح اقتداؤه به من غير مشاهدةٍ كالأعمى،ولأن المشاهدة تُراد للعلم بحال الإمام ،والعلم يحصل بسماع التكبير، فجرى مجرى الرؤية، ولا فرق بين أن يكون المأموم في المسجد أو في غيره.واختار القاضي:أنه يصح إذا كانا في المسجد، ولا يصح في غيره، لأن المسجد محل الجماعة وفي مظنة القرب، ولا يصح في غيره لعدم هذا المعنى، ولخبر عائشة.ولنا أن المعنى المجوز أو المانع قد استويا فيه فوجب استواؤهما في الحكم. Dia berkata: Di mimbar, jika dia memutus shaf shalat tidak ada salahnya, karena dia bisa mengikuti gerakan imam, jadi sah shafnya jika mengikuti imam tanpa terlihat, seperti orang buta, dan karena melihat (imam) itu dimaksudkan untuk mengikuti gerakan imam, dan pengetahuan terjadi dengan mendengarkan takbir, jadi cara menyaksikan imam (makmum melihat imam) dilakukan , dan tidak ada bedanya.
Dia menunjukkan bahwa mengikuti imam di dalam masjid atau di tempat lain, dan hakim berkata: Sah jika mereka ada di masjid, dan tidak sah selain masjid, karena masjid adalah tempat jemaah dan terkesan dekat, dan itu tidak berlaku di luar masjid karena kurangnya Pengertian pada ini, dan riwayat Aisyah RA. maksudnya adalah sah hukumnya makmum shalat berjamaah dengan imam dan ada penghalangnya, dengan syarat makmum mendengar suara imam dan mengetahui gerakan imam atau makmum (yang bersama dengan imam). وقال الشيخ المرداوي الحنبلي بعد أن ذكر الخلاف في المذهب:[…يجوز فيها ذلك على كلا الروايتين ،نظراً للحاجة…وإن كانا خارجين عن المسجد،أو كان المأموم خارج المسجد والإمام في المسجد،ولم يره ولا من وراءه،ولكن سمع التكبير، فالصحيح من المذهب:لا يصح، قدَّمه في الفروع، والرعاية الكبرى،والمحرر،والفائق،وابن تميم،وهو ظاهر كلام كثير من الأصحاب،وهو ظاهر كلام المصنف هنا.وعنه يصح،قال أحمد في رجلٍ يصلي خارج المسجد يوم الجمعة وأبواب المسجد مغلقة أرجو أن لا يكون به بأسٌ .قلت:وهو عين الصواب في الجمعة ونحوها للضرورة، وعنه يصح في النفل، وعنه يصح في الجمعة خاصة] الإنصاف 2/293. Syekh Al-Mardawai Al-Hanbali berkata setelah menyebutkan perbedaan dalam mazhab hambali: [… diperbolehkan (shalat ada penghalangnya) di dalam masjid menurut kedua riwayat tersebut, karena kebutuhan … dan jika mereka berada di luar masjid, atau jika mengikuti imam berada di luar masjid dan imam ada di masjid, dan dia tidak melihat dia atau orang-orang di belakangnya, tetapi dia mendengar takbir, maka yang benar adalah dari mazhab hambali: Tidak sah, dia sampaikan di al-Furoo ‘, al-Ra’a al-Kabir, al-Muharrir, al-Faiq, dan Ibn Tamim, dan itu terlihat dari perkataan banyak sahabat, dan itu dipahami dari zhahir perkataannya.
Syekh al-Islam Ibnu Taimiyyah lebih memilih bahwa hal ini diperbolehkan secara mutlak, seperti pintu masjid ditutup , seperti yang dikatakan Syekh al-Islam Ibnu Taimiyyah: [Adapun shalat jamaah di belakang imam di luar masjid atau di masjid dan ada pembatas di antara mereka, jika ada baris yang terus menerus dibolehkan hukumnya sesuai dengan kesepakatan para imam, dan jika ada jalan di antara mereka Atau sungai yang dilalui kapal, dan ada dua riwayat dari Ahmad: Salah satunya larangan (beliau melarang shalat ada penghalangnya), seperti yang dikatakan oleh Abu Hanifa. Pendapat keempat : Itu tidak diperbolehkan jika tidak Perlu, dan tidak ada keraguan bahwa ini diperbolehkan dengan kebutuhan yang mutlak, seperti jika pintu masjid ditutup, atau mihrob tempat imam ditutup atau semacamnya.Di sini, jika riwayat (harus menyambung shaf) itu wajib hukumnya, maka jatuh hukum kewajiban disebabkan kebutuhan ] Majmoo ‘Fataawa Ibn Taymiyyah 23/408.
Menurut para Maliki, dalam semua keadaan makmun dibolehkan adanya pemisah atara dirinya dengan imam, kecuali makmum tidak mendengar perkataan imam dan tidak melihat perbuatan imam, atau ucapan atau gerakan makmum (yang tersambung dengan imam) dalam kasus seperti itu (dimana makmum tidak mendengar suara imam) maka tidak sah mengikuti imam tersebut. Berkata syeikh alisy di manh jalil, boleh imam dan makmum terpisah oleh sungai kecil, artinya, tidak ada keberatan untuk mendengarkan ucapan imam atau makmumnya, atau melihat perbuatannya atau perbuatan para makmumnya … atau juga dipisah (antara imam dan makmum) oleh jalan kecil, Al-Lakhmi: Masyarakat pasar dibolehkan untuk shalat berjamaah, meskipun jalan itu memisahkan mereka dari imamnya.
Kedua : pendapat yang tidak sah shaf shalat dengan terputusnya shaf antara imam dan makmun dengan pembatas, harus tersambungnya shaf. Di luarnya tidak lebih dari seratus lima puluh meter ; Seperti yang dikatakan dalam [Al-Iqna’a 1/168] dari kitab-kitab ahli hukum Syafi’i: “Dan jika imam shalat di masjid dan jemaah di luar masjid jika dia dekat dengannya, yaitu: dari masjid, yang ada di antara mereka tidak melebihi kira-kira tiga ratus hasta, mengingat ujung masjid [mungkin] Karena masjid itu semuanya satu, karena itu tempat sholat, jadi tidak masuk batas.
Atas dasar itu, syarat sah berjamaah bagi yang makmum mengikuti imam dari luar masjid hendaknya jarak antara makmum dengan imam yang dekat, dan tidak ada pembatas yang menghalanginya dari barisan masjid.Selain itu, tidak disukai sholat jemaah yang meninggalkan celah di barisan depan.Wallahu A’lam. Dalam suatu pertanyaan yang ditujukan kepada saya tentang hukum shalat berjamaah dengan posisi makmum berada di luar masjid dengan jarak yang dekat dan dipisahkan oleh dinding yang transparan / kaca, makmum di luar dapat mendengar suara imam melalai mikropon, ditambah kondisi jamaah yang membludak ke luar masjid maka hukum shalatnya sah, berdasarkan pendapat para ulama diantaranya Malikiyyah dan Syafi’iyyah, dan sebagian riwayat Imam Ahmad.
Dalam menjawab pertanyaan di atas, secara umum para ulama mengelompokkan hukum makmum membarengi gerakan imam dalam lima perincian. Hal ini ketika makmum membarengi imam dalam gerakan yang terdapat dalam shalat secara sengaja, begitu juga saat makmum membarengi imam dalam mengucapkan salam. Hal ini terdapat dalam satu kasus yaitu saat makmum tahu bahwa jika ia tidak membaca Surat Al-Fatihah bersamaan dengan bacaan imam maka ia tidak akan dapat menyelesaikan bacaan Al-Fatihahnya secara sempurna, maka dalam keadaan ini ia wajib untuk membaca fatihah bersamaan dengan bacaan imam.
Kelima, Mubah yaitu membarengi imam dalam selain permasalahan yang telah dijelaskan di atas, seperti membarengi imam dalam bacaan Tasbih ketika ruku’ dan sujud, membarengi imam dalam bacaan iftitah dll. ومكروهة مفوّتة لفضيلة الجماعة فيما قارن فيه مع العمد وهي المقارنة في الأفعال وفي السلام. Makruh yang sampai menghilangkan Fadhilah Jamaah dalam gerakan yang bebarengan ketika dilakukan dengan sengaja, yaitu ketika membarengi imam dalam hal gerakan dan salam.
Wajib yaitu membarengi bacaan Al-Fatihah imam, ketika makmum tahu bahwa jika ia tidak membaca Surat Al-Fatihah bersamaan dengan bacaan imam maka ia tidak dapat menyelesaikan bacaan Al-Fatihahnya. Namun yang perlu diperhatikan adalah perihal membarengi imam yang dihukumi makruh yang sekaligus dapat menghilangkan fadhilah jamaah, sebab hal ini seringkali terjadi dalam ritual shalat berjamaah. Demikian penjelasan tentang makmum yang membarengi imam, secara umum dapat disimpulkan bahwa hukum membarengi imam tidak sama dengan mendahului gerakan imam yang secara mutlak diharamkan ketika terdapat kesengajaan, sebab dalam membarengi imam terdapat berbagai perincian hukum seperti yang telah dijelaskan di atas.
Saat sholat berjamaah, bacaan dan gerakan seorang makmum tidak boleh mendahului imam. Berikut syarat dan jumlah minimal makmum saat sholat berjamaah. Pengertian makmum adalah yang mengikuti imam.
Tempat dan posisi makmum tidak boleh mendahului imam. Sholat makmum dan imam harus sama.
Makmum tidak boleh melambatkan diri dari imam lebih dari dua rukun/gerakan shalat. B. Jumlah paling sedikit saat sholat berjamaah. Satu menjadi imam dan lainnya adalah makmum," tulis Ainul dalam bukunya. Secara istilah, sholat berjamaah adalah terikatnya sholat makmum kepada imam.
Shalat berjamaah merupakan syiar Islam yang sangat agung, dan diwajibkan secara khusus bagi laki-laki Muslim yang terkena kewajiban melaksanakan shalat. Dan dalam tulisan ringan ini, penulis akan sedikit membahas tentang mengikuti imam dalam shalat berjamaah dan beberapa masalah yang berhubungan dengannya.
Lalu muncullah pemikiran untuk menggunakan teknologi tersebut untuk memudahkan orang shalat berjamaah, sehingga tidak harus berdiri di belakang imam untuk bisa mengikuti shalat berjamaah. Dengan teknologi yang ada, seseorang dapat melihat semua gerakan imam dan dapat menirunya. Mengikuti imam (mutaba’ah imam) dalam shalat berjamaah adalah salah satu kewajiban yang perlu sekali dijelaskan dan ditekankan, seiring dengan jauhnya kaum Muslimin di zaman ini dari pelita sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Yang dimaksud dengan “mengikuti imam” atau mutâba’atul imâm dalam pembahasan ini adalah mengikuti gerakan-gerakan imam shalat, dengan tanpa mendahuluinya, atau membarenginya, atau telat dalam mengikutinya. Dari definisi ini kita bisa membagi makmum dalam mutâba’tul imam menjadi empat keadaan yaitu (1) mengikuti gerakan imam dengan segera, (2) mendahului gerakan imam, (3) membarengi gerakannya, dan (4) terlalu terlambat dalam mengikuti gerakan imam. Dalam hadits ini, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan umatnya untuk mengikuti atau mengiringi gerakan imam, dan perintah dalam nash syariat pada asalnya menunjukkan arti wajib.
Wajibnya mengikuti imam juga ditunjukkan oleh adanya larangan dan ancaman bagi mereka yang mendahului gerakan imam, sebagaimana telah disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :. Syaikh Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Bahkan seandainya ada yang mengatakan bahwa perbuatan ‘mendahului imam’ itu termasuk dosa besar, maka pendapat itu tidak jauh (dari kebenaran), karena sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :.
Hal ini telah ditegaskan dalam banyak hadits, diantaranya :. Adapun membarengi imam, maka mayoritas Ulama memakruhkannya, kecuali dalam takbîratul ihrâm, maka itu dapat membatalkan shalat makmum, sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi rahimahullah , “Jika seorang makmum melakukan takbîratul ihrâm sebelum imamnya atau bersamaan dengan imam, maka shalatnya tidak sah, karena si makmum menggantungkan atau mengikatkan shalatnya dengan shalat imam sebelum shalat imam tersebut dimulai, sehingga shalatnya makmum menjadi tidak sah”. Pertama, bila makmum mempunyai udzur, seperti usianya lanjut, atau sakit, atau udzur lainnya, maka shalatnya tetap sah, tetapi ia harus melakukan semua rukun shalat tersebut, walaupun terlambat sampai dua rukun atau lebih.
Kedua, bila si makmum tidak memiliki udzur dan disengaja, sedangkan terlambatnya tidak sampai satu rukun, maka hukumnya makruh. Saat berdiri, ketika imam meletakkan tangan di bawah pusar, bukan di atas dada, apakah makmum juga diperintahkan untuk melakukan hal yang sama ?
Jika ia shalat dengan berdiri, maka shalatlah kalian dengan berdiri. Dengan memperhatikan hadits ini, menunjukkan bahwasanya perintah mengikuti imam hanya pada hal-hal yang global saja, seperti takbîr, rukû’, berdiri dan duduk. Bila hal itu diperintahkan, tentu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menyinggungnya dalam hadits ini, karena tidak bolehnya menunda penjelasan suatu hukum saat hokum tersebut dibutuhkan. Bermakmum dengan perantara layar untuk melihat gerakan imam.
Jika seorang makmum berada di satu masjid dengan imam, maka selama dimungkinkan untuk mengikuti imamnya -dengan cara apapun- maka itu sudah cukup, dan ia boleh bermakmum dengan imamnya … Adapun jika seorang makmum berada di luar masjid, maka ada satu syarat tambahan, yaitu shafnya harus bersambung dan tidak terputus. Apabila si makmum berada di satu masjid dengan imam, maka shalatnya sah, selama ia bisa mengikuti gerakan imam melalui layar tersebut, meskipun shafnya tidak bersambung, walaupun ia tidak dapat mendengar suara imam.
Adapun bila si makmum berada di luar masjid, maka shalatnya tidak dinyatakan sah, kecuali bila shafnya bersambung, meskipun ia bisa melihat gerakan imam dan dapat mendengar suara imam melalui layar tersebut. Apabila si makmum berada di satu masjid dengan imamnya, selama ia bisa mengikuti gerakan imam dengan perantara radio tersebut, maka shalatnya sah, meski shafnya terputus, ataupun ia tidak dapat melihat imamnya atau para makmum yang ada di belakang imamnya.
Sedangkan jika makmum tersebut berada di luar masjid, maka shalatnya tidak akan sah, kecuali jika shafnya tidak terputus, meskipun ia bisa mengikuti gerakan imam dengan perantara radio tersebut. Bila shaf makmum bersambung dan tidak terputus hingga ke rumah tersebut, dan si makmum bisa mengikuti gerakan imam dengan suara yang keluar dari speaker tersebut, maka shalat jama’ahnya sah.
Selama mereka (jama’ah perempuan) bisa mengikuti gerakan imam, baik melalui suara atau layar, maka shalat berjama’ahnya sah, meski shafnya terputus dan ia tidak dapat melihat imam atau jama’ah yang ada di belakang imam. Karena dalam bermakmum tidak ada syarat harus melihat imam atau makmum yang ada di belakangnya. Yang benar dalam masalah ini, bahwasanya bersambungnya shaf diharuskan bagi orang yang bermakmum di luar masjid. Pendapat ini memiliki konsekuensi, bolehnya kita tidak shalat Jum’at di masjid-masjid jami’, karena kita bisa bermakmum dengan imam Masjidil-Haram, karena jumlah jama’ahnya lebih besar, sehingga itu lebih afdhal… Lalu jika ada televisi yang dapat menampilkan shalat secara langsung, tentunya lebih afdhal lagi….
Namun pendapat ini tidak diragukan lagi kebatilannya, karena itu akan menghilangkan (syariat) shalat jamaah ataupun shalat Jum’at, tidak ada lagi shaf yang bersambung; dan (pendapat ini) jauh (dan tidak selaras) dengan tujuan disayariatkannya shalat Jumat dan shalat jama’ah. (Seseorang yang berjama’ah di rumah mengikuti speaker dari masjid, padahal antara imam dan makmum tersebut tidak bersambung sama sekali), maka shalatnya tidak sah. Demikian ini pendapat ulama madzhab Syafi’i, dan ini juga pendapat Imam Ahmad; kecuali bila shaf-shafnya bersambung hingga ke rumahnya, dan dimungkinkan untuk mengikuti imam dengan melihat dan mendengarkan suaranya, maka shalatnya sah, sebagaimana dihukumi sah shalat bagi orang-orang yang berada di shaf-shaf yang bersambung hingga rumahnya. HR Muslim, hadits no.
Lihat Syarah Muslim, karya Imam Nawawi, 4/134. Lihat penjelasan Syaikh Utsaimin rahimahullah dalam masalah ini dalam kitab asy-Syarhul-Mumti’, 2/318-320.
Fatawa Lajnah Da’imah, 8/32.