Cara Mengqadha Shalat Orang Yang Sudah Meninggal. Apakah ahli waris atau keluarganya dianjurkan untuk mengqadha shalat orang yang sudah wafat? Menurut satu pendapat, dianjurkan qadha’, baik diwasiatkan maupun tidak, sebagaimana yang dikisahkan Al-‘Abadi dari As-Syafi’i karena ada hadis mengenai persoalan ini.
Ulama yang membolehkan hal ini berdalil pada hadis kewajiban qadha puasa bagi ahli waris. ‘Aisyah pernah mendengar Rasulullah bahwa:Artinya, “Siapa yang meninggal dan memiliki tanggungan puasa, wajib bagi keluarganya untuk mengqadhanya,” (HR Al-Bukhari).Anjuran mengqadha puasa ini disematkan pada shalat, karena keduanya sama-sama ibadah badaniyah (ibadah fisik). Selain pendapat, sebagian ulama besar seperti As-Subki juga melakukan untuk keluarganya yang telah wafat.
Sementara itu menurut sebagian ulama lainnya seperti as-Subki dan Ibnu Burhan berpendapat, jika ada orang yang sudah wafat dan mempunyai utang sholat Fardlu, maka keluarga perlu membayarkan fidyah-nya jika almarhum meninggalkan harta benda (tirkah). Sehubungan dengan hal itu, sebagian ulama kita (Mazhab Syafi’i) memilih pendapat ini, bahkan Imam as-Subki mempraktikkannya sebagai pengganti shalat yang ditinggalkan salah seorang kerabatnya.”.
Sehubungan dengan perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqih, Komisi Fatwa MUI DKI Jakarta memilih pendapat ulama yang menyatakan bahwa sholat yang telah ditinggalkan sewaktu masih hidup dapat di-qadha atau diganti dengan membayar fidyah.
Sebagaimana dikutip Berita DIY dari NU Online, Shalat Qadha dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhabi Imam al-Syafi’i (Surabaya: Al-Fithrah, 2000), juz I, hal. Meninggalkan shalat baik karena sengaja maupun tidak, seseorang muslim harus mengqadha shalatnya di luar waktu yang seharusnya.
Zainudin al-Malibari menyebutkan bahwa perbuatan mengqadha tersebut terdapat dalam khabar, pendapat sahabat. Terkait pendapat sahabat Ibnu Abbas, Imam Ibnu Hajar berpendapat bahwa perempuan itu juga diperintah untuk berjalan kaki menuju Masjid Quba sebagaimana nazar yang dilakukan ibunya. Selain itu, Imam Ibnu Hajar juga mengutip pendapat Ibnul Munir, yang dimaksud صَلِّي عَنْهَا di atas adalah shalat biasa, bukan shalat qadha.
Namun demikian, amal shalat yang dilakukan perempuan itu pahalanya dapat dihadiahkan untuk mengganti nazar shalat ibunya yang belum sempat dilakukan.
Dalam pelaksanaan sholat fardhu dikenal beberapa istilah di antaranya adalah ada', i'adah, dan qadha. Mengutip dari buku Islam Q & A karya Awy A. Qolawun, qadha artinya melakukan sholat fardhu (atau ibadah yang lain, semisal puasa) di luar waktu semestinya disebabkan oleh alasan-alasan tertentu. Sebagaimana yang dikisahkan dari Anas ibn Malik, Rasulullah SAW pernah bersabda terkait anjuran mengganti (qadha) sholat:.
Selain itu, anjuran untuk segera melaksanakan sholat sesegera mungkin ketika lupa tercantum dalam hadits riwayat Muslim, Rasulullah SAW bersabda:. Dikisahkan kala itu Rasulullah SAW harus menghadapi musuh di Perang Khandaq hingga terkepung oleh pasukan Quraisy. Kemudian saat tengah malam, Rasulullah memerintahkan Bilal untuk adzan dan melakukan qadha atas 4 sholat yang ditinggal pada siang harinya tersebut.
"Menurut satu pendapat dari para mujtahid disebutkan sholatnya mayit boleh diqadha(ditunaikan ahli warisnya), berdasarkan hadits Bukhari dan lainnya. Menurut Kiai Ma’ruf, di hadits ini memang tidak menyebutkan sahabat yang diperintah qadha sholat bahkan tidak ada.
Hadits yang memerintah meng-qadha dari ibadahnya mayit adalah puasa dan haji. Hadits lainnya adalah riwayat dalam Shahih Muslim:.
“Pengarang kitab Al-Hawi (Syekh Al-Mawardi) meriwayatkan dari Atha' bin Abi Rabah dan Ishaq bih Rahwaih bahwa beliau berdua membolehkan qadha sholat dari mayit.” (Syarah Shahih Muslim, 1/90). Pada intinya qadha sholat untuk mayit tidak wajib.
Ada sebagian ulama yang membolehkan.
Redaktur NU Online, mohon penjelasan tentang cara qadha shalat. Pertama, pendapat al-ashah atau yang dinilai lebih shahih, menyatakan bahwa yang menjadi standar dalam membaca keras atau lirih dalam shalat qadha adalah waktu qadhanya.
Bila waktu qadhanya malam hari maka bacaan al-Fatihah dan bacaan surat, tetap dibaca secara keras, meskipun shalatnya adalah shalat Zuhur dan Ashar yang asalnya disunnahkan secara lirih. Artinya, “Adapun shalat fâ'itah atau yang keluar dari waktunya, maka (1) bila orang mengqadha shalat malam—Maghrib, Isya’, demikan pula Subuh meskipun sebenarnya waktunya adalah pagi—di waktu malam, maka ia sunnah membaca dengan bacaan keras tanpa perbedaan pendapat di antara ulama; (2) bila ia mengqadha shalat siang di waktu siang maka ia sunnah membaca dengan bacaan lirih tanpa perbedaan pendapat di antara ulama; namun (3) bila ia mengqadha shalat siang di waktu malam, atau mengqadha shalat malam di waktu siang, maka terdapat dua pendapat di kalangan ulama Syafi’iyah yang dihikayatkan oleh Al-Qadhi Husain, Imam al-Baghawi, Imam al-Mutawalli dan lainnya.
(1) Pendapat al-ashah atau yang paling shahih menyatakan, pertimbangannya dengan mengacu pada waktu qadha terkait lirih dan kerasnya. Pendapat ini dinilai shahih oleh Imam al-Baghawi, Imam al-Mutawalli, dan Imam ar-Rafi’i. Namun pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang mengambil standar waktu qadhanya.