Bolehkah Perempuan Jadi Imam Shalat. Sholat berjamaah merupakan salat yang dikerjakan dua orang atau lebih dengan salah seorang darinya menjadi imam dan lainnya makmum. Disebutkan dalam buku Kitab Lengkap Shalat, Shalawat, Zikir, dan Doa karya Ibnu Watiniyah, imam sholat merupakan seorang laki-laki kecuali apabila dikerjakan perempuan saja.
Mengutip buku Fikih Jumhur: Masalah-masalah Fikih yang Disepakati Mayoritas Ulama karya Muhammad Na'im Muhammad Hani Sa'i, jumhur ulama berpendapat tidak sah bagi kaum laki-laki bermakmum kepada perempuan, baik dalam sholat fardhu maupun sunnah. Pendapat tersebut mengacu pada tujuh mazhab fuqaha Madinah dari kalangan tabi'in, Malik, Abu Hanifah, Asy-Syafi'i Ahmad, dan Dawud. KH Imaduddin Utsman al-Batanie dalam Buku Induk Fikih Islam Nusantara juga menjelaskan, perempuan dilarang menjadi imam sholat bagi laki-laki walaupun pandai mengaji. Wanita menjadi imam sholat berjamaah yang di antara makmumnya terdapat orang laki-laki hukumnya haram dan tidak sah.
Tentu saja ibadah shalat dengan makmum campur-aduk alias gado-gado ini menimbulkan kecaman dunia Islam. Hebatnya lagi, bak khatib Jumat beneran, si Wadud juga memberikan khutbah singkat sebelum shalat dua rakaat. Beragam kecaman dari ulama-ulama Islam dunia menampar muka Wadud, namun ia tak ambil pusing.
Rasulullah bersabda, “Shalat dapat terganggu oleh perempuan, anjing dan himar (keledai).” (HR Muslim). Rasulullah bersabda, “(Melaksanakan) shalat yang paling baik bagi perempuan adalah di dalam kamar rumahnya.” (HR Bukhari).
"Para sahabat juga berijma’ bahwa wanita boleh menjadi imam shalat berjamaah yang makmumnya hanya wanita, seperti yang dilakukan oleh Aisyah dan Ummu Salamah," jelas MUI seraya mengutip kitab Tuhfah Al-Ahwazi karya Al-Mubarakfuri. "Dengan bertawakkal kepada Allah SWT, MUI memutuskan bahwa wanita menjadi imam shalat berjamaah yang di antara makmumnya terdapat orang laki-laki hukumnya haram dan tidak sah.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat menunaikan sholat jamaah di masjid atau rumah, perempuan akan menjadi makmum bagi lakilaki. Pandangan perempuan dapat saja menjadi imam jamaah yang di dalamnya ada lakilakinya, melahirkan perbedaan pendapat. Dalam penjelasan di bukunya, Fikih Wanita, Syekh Kamil menguatkan pan dangannya dengan hadis yang menjelaskan bahwa Aisyah pernah mengimami kaum perempuan.
Menurut dia, kitab Bidayah alMujtahid yang ditulis Ibnu Rusyd, menjelaskan se cara khusus hal tersebut dengan menam pilkan perbedaan di antara ulama. Menurut Nasaruddin, hadis ini diperoleh melalui dua jalur, yaitu dari Ahmad bin Hanbal dan Abu Dawud.
Ia mempertanyakan apakah tidak populernya perempuan menjadi imam shalat di antara kalangan lakilaki disebabkan adanya riwayat lain yang melarang? Leila Ahmad, penulis Women and Gender in Islam; Historical Root of Modern Debate, menjelaskan pelarangan perempuan secara legal dan institusional dimulai sejak Khalifah Umar.
Lewat fatwanya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan ha ram hukumnya dan tidak sah perempuan menjadi imam shalat berjamaah, yang di antara makmumnya adalah lakilaki.
Bagi banyak kalangan bicara imam shalat perempuan atas laki-laki dewasa shocking dan berfikir bahwa itu suatu yang tidak perlu dipikirkan (unthinkable). Namun bagi kalangan yang beragumentasi bahwa Islam itu agama adil yang ditandai dengan tidak ada pembedaan laki-laki dan perempuan termasuk dalam hal hak dalam aktivitas ritual, maka perbincangan masalah kebolehan imam shalat perempuan atas laki-laki perlu digali.
Namun demikian peningkatan jumlah imam shalat perempuan atas laki-laki dewasa tidak terlihat, bahkan cenderung hanya ada dalam wacana. Perdebatan tentang boleh tidaknya perempuan sebagai imam bagi laki-laki dewasa, didasarkan atas beberapa hadis yang melegitimasi, menentang, dan netral.
Landasan normatif syarat imam yang netral tidak berdasarkan jenis kelamin tetapi lebih pada kualifikasi adalah sebagai berikut: Abu Mas’ud al-Anshari meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. Mereka mempelajari hadis Ummu Waraqah dan menyimpulkan bahwa hadis yang mengatakan bahwa Ummu Waraqah dipilih oleh Rasulullah Muhammad untuk menjadi imam shalat bagi keluarganya adalah tidak sahih dan tidak dapat digunakan sebagai landasan (hujjah) dibolehkannya perempuan menjadi imam shalat bagi laki-laki aqil baligh.
Sedangkan ilmuan dan ulama progresif memahami dalil-dalil kepemimpinan tersebut sebagai hujjah bahwa perempuan memiliki hak menjadi pemimpin, bahkan dalam ibadah keagamaan seperti shalat. Karena itu, bagi kelompok progresif, siapaun laki-laki atau perempuan, anak atau orang tua asal dia lebih mempunyai bacaan Al Qur’an yang bagus dan juga lebih mempunyai pemahaman agama yang baik, maka dia memenuhi syarat imam sholat. Persyaratan penting untuk menjadi imam, terlepas dari persoalan gender, adalah memiliki pengetahuan agama dan mampu membaca Al-Qur’an dengan tartil.
TENTUNYA kita semua tahu jika shalat berjamaah itu lebih utama—terutama bagi laki-laki. BACA JUGA: Wanita Shalat Dzuhur di Hari Jumat, Kapan Waktunya? Apakah sama saja atau ada pendapat dan dalil lain? Adapun bahwa laki-laki boleh jadi imam bagi wanita, pernah juga Rasulullah Muhammad saw meminta seorang laki-laki menyerukan adzan buat Ummi Waraqah, kemudian beliau juga meminta laki-laki tersebut mengimami penghuni rumahnya dalam sholat fardhu. Seorang teman laki-laki menjadi imam bagi kaum wanita dalam sholat berjamaah? Pahalanya dapat, pun dengan terhindar dari fitnah yang bisa timbul.
Atau jika tidak ditemukan mesjid terdekat, lebih baik sholat sendiri saja.