Bab Sholat Jumat Fathul Mu'in. Orang yang pertama kali mendirikan shalat Jum‘at di Madīnah sebelum Nabi s.a.w. Shalat Jum‘at itu wajib atas setiap orang mukallaf, yaitu bāligh, berakal sehat, laki-laki dan merdeka.
(2 ) Artinya, mereka tidak pergi dari tempat itu di musim kemarau maupun hujan, kecuali ada keperluan semacam berdagang atau ziarah. Shalat Jum‘at tetap sah, jika dikerjkan oleh orang yang punya ‘udzur.
Shalat Jum‘at wajib bagi seseorang yang ber-muqīm di daerah diselenggarakannya shalat Jum‘at tanpa ada niat menetap selamanya, seperti seseorang yang ber-muqīm di daerah diselenggarakannya shalat Jum‘at selama 4 hari atau lebih, sedangkan ia bermaksud untuk kembali ke tanah kelahirannya, sekalipun maksud tersebut setelah masa yang lama. Karena itu, shalat Jum‘at yang telah terpenuhi bilangan jamā‘ahnya (40 orang) tidak sah, jika dilaksanakan dengan sendiri-sendiri.
Benar sah, namun orang 40 itu disyaratkan harus tetap ada (8 ) sampai mereka semua salām, sehingga apabila salah satu dari keempat puluh orang tersebut berhadats sebelum salāmnya, sekalipun ma’mūm yang lainnya sudah salām, maka batallah shalat Jum‘at mereka. Apabila ma’mūm masbūq mendapatkan rukū‘ imām pada raka‘at kedua, lalu ia mengikuti terus sampai salām, maka ia harus menambah satu raka‘at dengan bacaan keras dan shalat Jum‘at sudah dianggap sempurna, jika Jum‘atan imām tadi sah (9 ). Demikian juga sempurna shalat Jum‘at ma’mūm masbūq lainnya, yang berma’mūm kepada masbūq di atas dan ia masih mendapatkan satu raka‘at bersamanya, demikianlah menurut fatwa guru kami. Seperti ini pula Imām al-Bulqīnī memfatwakan dan menguraikan secara panjang lebar.
Jika ia kembali dalam waktu dekat secara umum, (12 ) maka boleh meneruskan rukun khuthbah yang telah dikerjakan. Kalau tidak dalam waktu dekat, maka khuthbah harus diulangi dari permulaan.
Shalat Jum‘at tidak sah dengan dikerjakan orang yang jumlahnya kurang dari 40. Lain halnya dengan pendapat Imām Abū Ḥanīfah r.a. Menurut beliau shalat Jum‘at tetap sah dengan jumlah empat orang, sekalipun mereka semua adalah hamba sahaya atau orang-orang musāfir.
Lain halnya dengan pendapat Imām Abū Ḥanīfah yang mensyaratkan kedua hal di atas. Imam al-Bulqīnī ditanya mengenai penduduk suatu daerah yang jumlahnya kurang dari 40 orang, mereka ini wajib mengerjakan shalat Jum‘at atau Zhuhur? Beliau menjawab: Mereka harus mengerjakan shalat Zhuhur menurut madzhab Syāfi‘ī.
Segolongan ‘ulamā’ memperbolehkan mereka melakukan shalat Jum‘at, dan justru pendapat ini yang kuat. Karena itu, jika mereka semuanya mengikuti imam yang berpendapat tersebut, (14 ) maka boleh melakukan shalat Jum‘at. Apabila sebuah desa berpenduduk 40 orang, maka bagi mereka wajib menyelenggarakan shalat Jum‘at. Bahkan menurut pendapat yang mu‘tamad, mereka haram meniadakannya di desa tersebut dan pergi melakukannya ke lain daerah (16 ), yang sekalipun ia masih mendengar panggilan shalat Jum‘at dari daerah lain tersebut.
Imām Ibn-ur-Rif‘ah dan lainnya berkata: Jika mereka dapat mendengar panggilan shalat Jum‘at dari Mishr (17 ) maka boleh memilih antara pergi ke balad (18 ) untuk menunaikan shalat Jum‘at atau menyelenggarakannya di desanya sendiri. Guru kami berkata: Dihukumi seperti itu, jika masing-masing tempat tersebut berkedudukan sebagai desa tersendiri pula, menurut anggapan umum.
(Fasal) syarat-syarat wajib melaksanakan sholat Jum’at ada tujuh perkara. Ini juga syarat-syarat kewajiban melakukan sholat-sholat selain sholat Jum’at.
Hal itu diungkapkan oleh mushannif dengan perkataan beliau, “daerah tersebut adalah kota ataupun desa.”. Mereka adalah orang-orang mukallaf laki-laki yang merdeka dan bertempat tinggal tetap, sekira tidak berpindah dari tempat tinggalnya baik di musim dingin atau kemarau kecuali karena hajat. Maka seluruh bagian sholat Jum’at harus terlaksana di dalam waktu. Sehingga, seandainya waktu sholat Dhuhur mepet, yaitu waktu yang tersisa tidak cukup untuk melaksanakan bagian-bagian wajib di dalam sholat Jum’at yaitu dua khutbah dan dua rakaatnya, maka yang harus dilaksanakan adalah sholat Dhuhur sebagai ganti dari sholat Jum’at tersebut.
Jika waktu sholat Dhuhur telah habis, atau syarat-syarat sholat Jum’at tidak terpenuhi, maksudnya selama waktu Dhuhur baik secara yaqin atau dugaan saja, dan para jama’ah dalam keadaan melaksanakan sholat Jum’at, maka yang dilakukan adalah sholat Dhuhur dengan meneruskan apa yang telah dilaksanakan dari sholat Jum’at, dan sholat Jum’at tersebut dianggap keluar baik telah melakukan satu rakaat darinya ataupu tidak. “yaitu dengan ukuran thuma’ninah di antara dua sujud.”.
Seandainya khatib tidak mampu berdiri dan ia melakukan sholat dengan duduk atau tidur miring, maka hukumnya sah dan diperkenankan mengikutinya walaupun tidak tahu dengan keadaan sang khatib yang sebenarnya. Rukun-rukun khutbah ada lima, yaitu memuji kepada Allah ta’ala kemudian membaca sholawat untuk baginda Nabi Saw, dan lafadz keduanya telah tertentu.
Kemudian wasiat taqwa dan lafadznya tidak tertentu menurut qaul al ashah, membaca ayat Al Qur’an di salah satu khutbah dua dan berdo’a untuk orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan di dalam khotbah yang kedua. Di dalam pelaksanaan kedua khutbah disyaratkan harus menutup aurat, suci dari hadats dan najis pada pakaian, badan dan tempat. Dan melakukan mandi saat mendekati berangkat itu lebih afdlal. Disunnahkan al inshat, yaitu diam seraya mendengarkan, saat khutbah.
Di antaranya adalah memperingatkan orang buta yang akan jatuh ke sumur, dan memperingatkan orang yang hendak disakiti oleh kalajengking semisal. Barang siapa masuk masjid saat imam melaksanakan khutbah, maka sunnah baginya untuk melaksanakan sholat sunnah dua rakaat secara cepat kemudian duduk.
Ungkapan mushannif, “orang yang masuk” memberi pemahaman bahwa sesungguhnya orang yang sudah hadir sejak tadi, maka tidak sunnah melaksanakan sholat dua rakaat, baik sholat sunnah Jum’at atau bukan. Dari pemahaman ini tidak nampak jelas bahwa sesungguhnya sholat tersebut hukumnya haram ataukah makruh. Akan tetapi di dalam kitab Syarh al Muhadzdzab, imam an Nawawi secara tegas memberi hukum haram, dan beliau mengutip ijma’ atas hal tersebut dari imam al Mawardi.
This application contains the Book of Fathul Mu'in Juz 1 Chapter Prayer - Complete Translation Pdf. Fathul Mu'in bi Syarhi Qurratil 'Ain wa bi-Muhimmatid Din is a book of fiqh written by Shaykh Zainuddin Ahmad bin Abdul 'Aziz al-Malibari al-Hindi as-Syafi'i. One of the books that is widely studied among students of knowledge, especially in Indonesia in the Pondok Pesantren environment.
Fathul Mu'in Juz 2 Zakat, Fasting & Hajj (33 Mb). Fathul Mu'in Juz 2 Sale and Purchase, Wakalah, Qiradh, Ariyah and Pledge (27 Mb).
Swipe the right side of the screen to the left and click show Table of Contents. Makes it easy to select the Chapter / Title to open.
The copyright of all content in this application is fully owned by the respective creators.
Berdasarkan data per tanggal 7 Maret 2020 Virus ini telah menyebar dengan sangat cepat ke 93 negara, dan 5 di antaranya penyebaran Covid-19 sangat masif, jumlah kasus di atas 500, seperti China (80.561 kasus), Korea Selatan (6.767 kasus), Iran (4.747 kasus), Italia (4.636 kasus), dan Jerman (545 kasus). [2] Dan kondisi penyebaran di luar China masih sangat massif hingga jumat, 20 Maret 2020. Jumlah kasus Covid-19 tersebut telah menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan jumlah kasus Covid-19 di luar China sebanyak 13 kali lipat dalam dua minggu terakhir. Bahkan setelah 7 Maret 2020, ada lebih dari 118.000 kasus di 114 negara dan 4.291 penderita telah kehilangan nyawanya.
Berdasarkan data terakhir di 19 Maret 2020, jumlah penderita Covid-19 sebanyak 308 kasus, dan 210 di antaranya berada di Jakarta, dengan tingkat penyebarannya yang hampir merata. Hal yang sama terjadi juga di Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi.
Ini artinya Indonesia menjadi salah satu negara dengan fatalitas tertinggi mengalahkan Italia (7,94%) dan Iran (6,1%) untuk saat ini. Berdasarkan kitab Fathul Muin yang ditulis oleh al-’Allammah Syaikh Zainuddin Al-Malibari, bahwa perintah pelaksanaan shalat Jum’at itu datang sebelum hijrah, namun Nabi tidak melaksanakan shalat Jum’at karena kondisi faktor keamanan yang mengancam jiwa kaum muslimin.
Di sini ternyata Nabi pernah mengambil pilihan untuk tidak melaksanakan shalat jum’at karena faktor keamanan yang mengancam nyawa/hidup kaum muslim di Kota Mekkah akibat adanya ancaman pembunuhan dan kekerasan fisik lainnya dari Suku Quraisy terhadap umat Nabi Muhammad Saw kala itu. (تجب الجمعة على) كل (مكلف) أي بالغ عاقل (ذكر حر) فلا تلزم على أنثى و خنثى و من به رق و ان كوتب لنقصه (متوطن) بمحل الجمعة لا يسافر من محل إقامتها صيفا و لا شتاء إلا لحاجة كتجارة و زيارة (غير معذور) بنحو مرض من الأعذار بعد زوال محل إقامتها و تنعقد بمعذور. “(Shalat Jum’at diwajibkan kepada) setiap (pertama: mukallaf) artinya orang yang sudah baligh dan berakal/intelek (kedua: laki-laki merdeka) maka tidak wajib shalat Jum’at bagi perempuan, khuntsa, dan hamba sahaya, sekalipun budak mukatab, karena mereka dianggap punya kekurangan, (ketiga: menetap/bertempat tinggal) di tempat terselenggarakannya shalat jum’at, artinya mereka tidak pergi dari tempat itu di musim panas/kemarau maupuan di musim dingin/hujan kecuali ada keperluan semacam perdagangan dan ziarah, (keempat: tidak sedang dalam udzur/berhalangan) seperti sakit dan udzur-udzur lain yang terkait dengan shalat jama’ah, maka orang sakit tidak wajib hadir shalar jum’at di tempat diselenggarakannya jum’atan setelah matahari tergelincir ke arah barat. Adapun orang yang dalam udzur jum’at namun memaksakan shalat jum’at maka shalat jumatnya…”.
Imam Malik dalam kitab Al-Muwatta berpandangan orang yang terhalang/udzur, maka tidak diwajibkan shalat jum’at. Artinya orang musafir saja dianggap sedang dalam kondisi udzur/terhalang dari kewajiban pelaksanaan shalat Jum’at. Di antara udzur syari’I yang diperbolehkan meninggalkan shalat Jum’at seperti Al-Khauf (kekhawatiran/ketakutan mencekam tertimpa bahaya), Maradh (sakit), Al-Mathar (hujan lebat), maka Covid-19 termasuk udzur syar’I, karena terdapat bahaya yang mengancam hidup seseorang, sebagaimana Nabi pernah tidak melaksanakan shalat jum’at karena khawatir kaum muslim mendapatkan marabahaya (kekerasan fisik) yang menyebabkan hilangnya nyawa kaum muslim bila kekeuh melaksanakan shalat um’at.
Bagi masyarakat yang tinggal di kota Jakarta saat ini, per 20 Maret 2020 dan selama dua minggu ke depan, memiliki risiko tinggi tertular Covid-19, virus dengan penyebarannya yang sangat cepat, dan risiko kematian yang tinggi maka kita tidak lagi memiliki kewajiban shalat jum’at untuk sementara waktu sampai provinsi DKI Jakarta dinyatakan aman oleh pemerintah dari Covid-19. Dalam paparan Imam Malik dan para ulama mazhab Syafi’I, Mazhab Hambali di atas, seorang musafir saja sudah sah dinyatakan mendapat diskon kewajiban (udzur syar’i), terlebih masyarakat Jakarta saat ini yang sedang berjuang terhindar dari virus Covid-19.