Arti Gerakan Sholat Menurut Kejawen. Hal yang senada juga diajarkan oleh Mangku Negara IV dalam Serat Wedhatama, sebagaimana tersebut di bawah ini :. Keberhasilan pencapaian ilmu batin perlu diawali dengan mengalahkan nafsu jahat (dur angkara) untuk mencapai derajat budi pekerti luhur (akhlak al karimah).
Demikian juga halnya dengan salat, menurut Sastrawijaya, bukan hanya sebatas melaksanakan perintah agama tetapi memiliki arti yang jauh lebih dalam daripada itu, yaitu sebagai ngelmu dan laku dalam membersihkan diri untuk mencapai persatuan dengan Tuhan (manunggaling kawula-Gusti). Islam sebagai agama resmi kerajaan, pada masa pemerintahan Paku Buwana III, sebagaimana tercermin dalam berbagai karya para pujangga istananya (khususnya Sastrawijaya) telah menjadi dasar beragama yang kuat, dan juga telah menjadi dasar dari ngelmu dan laku masyarakat Jawa pada umumnya.
Salah satu ajaran Islam yang mengajarkan cara-cara mengabdi atau menyembah kepada Tuhan adalah salat. Salat bukan hanya sebatas identitas orang beragama bagi orang-orang Islam Jawa, tetapi dapat menjadi ngelmu dan laku dalam mencapai penyatuan dengan Tuhan. Penghayatan dan pemahaman keagamaan Sastrawijaya jika dilihat dari karya-karyanya dapat digolongkan sebagai seorang sunni, hal ini dapat kita mafhum bahwa Islam yang mampu menerobos dinding kepercayaan istana-istana Jawa adalah Islam yang dibawa oleh kaum sufi sunni. Berbeda dengan Wahabiah yang mengajarkan bahwa ketika seseorang hendak salat, maka niat cukup hanya didalam hati, tidak perlu mengucapkan usalli.
Sebagaimana sabda Nabi bahwa segala sesuatu itu tergantung pada niatnya (Innama al a’malu bi an niyat). Niat merupakan jantung segala amal ibadah dan tindakan seseorang dalam upayanya mendekatkan diri kepada Allah SWT.
(1) “Kawruhana sira kang sayekti, Rarasane sira dipun-awas, Ngarep wruha wiwitane, Usali kurupipun, Pan sakawan kathahe nenggih, Alip dadi wiwitan, Iya wekasipun, Kekalih dadi wasitah, Esat elam kumpule kawan prakawis”; (2) “Insan kamil jenengira iki, pan kinaryan gentining dattolah, Miwah sipatollah mangke, lan kinarya sireku, kenyatahan sipating Widdhi, tinunggal rasa sira, lan rasa Hyang Ngagung, puniku murading ngiya, Sad puniku tinunggal rupa sireki, lan rupaning Pangeran”. Untuk mencapai persatuan dengan Tuhan harus memiliki ilmu, memahami segala apa yang akan diamalkan. Adapaun makna dari huruf sad dari lafal niyat salat (usalli), adalah persatuan hamba dengan Tuhan dalam wajah (Sad puniku tinunggal rupa sireki, lan rupaning Pangeran), artinya bahwa wujud manusia itu pada hakekatnya adalah wujud Tuhan itu sendiri. Pada bait ketiga dijelaskan, bahwa makna huruf lam itu menunjukkan adanya hamba (manusia) yang bersama Allah, maka segala tingkah laku dan gerak-geriknya adalah dalam kuasa atau kendali-Nya, karena sukma (ruh) Allah telah masuk ke dalam sukma hamba-Nya. Salat merupakan sarana seseorang untuk memperbaiki diri, membaguskan budi pekerti sesuai dengan akhlak Allah (takhalaqu bikhalqilllah). Hal ini hanya dapat terjadi ketika manusia sebagai mikro kosmos menyadari asal-usul kejadiannya yang diciptakan dalam rupa Tuhan (‘ala suratihi).
Karena pada hakekatnya, seorang hamba yang telah mencapai kesucian ruhani akan dapat menyatu dengan Tuhan (manunggaling kawula-Gusti) dalam sisi sifat, zat dan af’alnya. Lafal niat salat (Usalli) yang terdiri dari empat huruf tersebut (alif, sad, lam dan ya) menyebabkan adanya Muhamad. Hakekat ke-Muhamad-an dapat dicapai oleh siapa saja yang mampu menembus hakekat salat, karena pada dasarnya setiap muslim itu adalah “nabi-nabi” kecil (meminjam istilahnya Ulil Abshar Abdala dalam Sukardi, 2001) yang membawa kabar dari langit via Nabi Muhamad untuk disampaikan kepada orang lain.
Kedua lafal tersebut (usalli dan muahamad) mempunyai makna yang linear, tentang adanya kesatuan seorang hamba dengan Sang Khalik. Muhamad sebagai seorang nabi dan rasul utusan Allah, tentu telah mengenal hakekat Tuhan dengan segala rahasia-Nya. Jadi huruf mim itu merupakan intisari dari lafal Muhamad, yang berarti hakekat ilmu. Ilmu tersebut hanya dapat dipahami dan diakses oleh orang-orang yang mendalami olah rasa (batin).
Oleh sebab itu hanya dengan hati saja manusia dapat mengakses ilmu hakekat dari Ilahi tersebut. Ajaran tentang Muhammad ini sama seperti apa yang diwejangkan oleh Sunan Kalijaga kepada Prabu Brawijaya V ketika masuk Islam. Prabu Brawijaya bertanya kepada Sunan Kalijaga, “coba ajarkan kepadaku bagaimana syahadat itu yang sesungguhnya !”. Sunan Kalijaga kemudian mengucapkan lafal : “Asyhadu an laa ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, artinya aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali hanyalah Allah dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah.
Pengertian tersebut diringkas dengan Muhammad Rasulullah, yang berarti pengetahuan tentang “badan dan makanan”, maka menjadi kewajiban bagi manusia untuk menghayati tentang rasa, rasa dan makanan menjadi sebutan untuk “Muhammad Rasulullah”, maka ketika salat mengucapkan usalli, yang artinya memahami asalnya. Bait tersebut memberikan gambaran bahwa, orang Jawa jika hnedak meneladani Nabi Muhammad akan mengalami kesulitan, karena Islam di Jawa begitu jauh jarak, ruang, dan waktunya dari negeri asalnya, selain itu juga sifat kejawaan yang jauh berbeda dengan sifat kearaban.
Jika demikian bukan mustahil bagi orang Jawa akan menemui kesulitan dalam meneladani seluruh perilaku Nabi, oleh sebab itu sedikit saja sudah cukup. Cukuplah barang sedikit dalam meneladani Nabi yaitu dengan menjalankan tugas inti kerasulannya, sebagai pembawa risalah.
Inti tugas risalah Nabi menurut Mahmud Syaltut adalah merupakan sebagian kecil dari keseluruhan perilaku hidupnya yang dikenal dengan as Sunnah (Ardani, 1995:155). Oleh sebab itu, Muhammad hendaknya dipahami secara ruhaniah, karena fisiknya sama seperti manusia pada umumnya. Sehingga nama “Muhammad” baginya adalah karunia Allah SWT, bukan hanya sebatas sebutan atau panggilan yang tidak ada maknanya. Landasan berpikir Sastrawijaya terlihat dari pemahamannya terhadap kaidah-kaidah Islam yang tertuang dalam fikih dan juga ajaran tasawuf.
Salat merupakan salah satu laku yang harus diamalkan oleh seorang muslim dalam mensucikan batin. Maka untuk memahami hakekat salat, mencapai pencerahan batin, merasakan kemanunggalan dengan Allah SWT harus seperti salatnya Nabi Muhamad SAW. Keadaan Nabi Muhammad seperti inilah yang dieksplorasikan oleh Sastrawijaya untuk membeberkan rahasia salat.
Dengan demikain, bagi orang-orang beriman seharusnya mampu melakukan mi’raj sebagaimana yang pernah dialami oleh Nabi Muhammad SAW. Mi’raj lebih merupakan peristiwa ruhaniah, bukan fisik, yaitu suatu keadaan atau maqam kejiwaan nabi ketika merasakan kemanunggalan dengan Allah Swt, begitu intim dengan-Nya. Dengan ngelmu dan laku “Muhamad” tersebut, seseorang akan mencapai pencerahan ruhani, jiwanya kembali fitrah, lepas dari kungkungan duniawi (alam kebendaan), maka ketika itulah dia akan mendapati ruhnya berada pada titik terdalamnya, yang disebut dengan “hati nurani”.
Rukuk adalah salah satu dari empat inti pelaksanaan shalat di samping berdiri, sujud, dan duduk. Setelah turun awal surah al-A'la, Sabbih ism Rabbik al-A'la (bertasbihlah dengan Nama Tuhanmu Yang Mahatinggi/QS al-A'la [87]:1), maka Nabi memerintahkan sahabatnya membacanya di dalam sujud. Hakikat rukuk, sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab tasawuf, ialah simbol ketundukan seorang hamba yang rela dengan tulus merukukkan kepala sebagai mahkota paling tinggi manusia kepada Allah 'Azza wa Jalla.
Tentu ucapan ini dipahami betul saat melihat 'Arasy karena di tempat itulah ia menerima perintah shalat. Hidayah dan petunjuk Allah SWT akan menunggu bagi siapa pun yang mencapai puncak kekhusyukan di dalam rukuk. Berhubung karena wilayah pembahasan keempat jenis tauhid ini sangat kompleks, maka akan dibahas tersendiri di dalam beberapa artikel mendatang.
Ketika orang sedang mencapai puncak kedekatan diri di dalam rukuk, maka pada saat itu ia akan melihat hanya satu, Dialah Yang Maha Esa.
Merepresentasikan apakah gerakan-gerakan sholat seprti qiyam, ruku’, dan sujud itu? Ia untuk menegaskan bahwa Allah Maha Besar dengan mengucapkan takbir (Allahu Akbar).
Dengan prinsip ini di dalam sholat, manusia merepresentasikan para malaikat dan pepohonan yang senantiasa berdiri dan memuji Allah (swt). Qira’at adalah untuk mensyukuri kesempurnaan Allah yang tanpa cacat, keindahan yang tidak dapat diserupai, dan kasih sayang Allah yang tiada batas dengan mengucapkan Alhamdulillah.Juga, Qira’at menunjukkan bahwa segala perbuatan dapat terwujud dengan pertolongan Allah dan pujian hanya bagi Dia.Untuk terhubung dengan Zat Yang Maha Kekal(swt) dengan mengucapkan.
Ruku’ artinya mengagungkan Kebesaran Sang Pencipta beserta seluruh alam semesta yang melihat kelemahan dan kemiskinan manusia dengan melafazkan “subhana robbial azim”… untuk berusaha menanamkan akarnya di dalam hati kita dan untuk mengangkat kepala kita dari ruku’ dengan harapan memperoleh rahmat Allah dengan cara mengulang-ulang kebesaran Allah (swt).
Inilah salah satu ayat yang mengaitkan shalat dan doa para malaikat untuk pelakunya. Juga doa pada tasyahud akhir menjelang salam, “Wahai Allah, Tuhannya Malaikat Jibril, Mikail dan Israfil. Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya jelaskan terlebih dahulu apa dan bagaimana malaikat itu. Nabi SAW pernah bertanya kepada Jibril tentang baitul ma’mur, suatu tempat yang suci di langit tertinggi, lalu dijawab, “Setiap hari, ada 70.000 malaikat mengerjakan shalat di tempat itu, dan mereka tidak kembali.” (HR. Malaikat digambarkan Al Qur’an sebagai makhluk yang gagah perkasa atau “dzuu quwwatin” (QS. An Najm [53]: 6), atau ’inda dzil ‘arsyi makiin, artinya memiliki kecepatan seperti kilat (QS.
Tidak, mereka juga bisa menemui siapapun selain nabi, termasuk Anda, bahkan memberikan pertolongan atas perintah Allah. Malaikat juga bisa menolong manusia dengan cara yang sangat halus berupa pemberian inspirasi, ilham dan sejenisnya. Orang yang jatuh dari lantai 10 dan meninggal, misalnya, itulah sunnatullah, artinya sesuai dengan hukum alam.
Tetapi, jika ternyata ia tidak meninggal karena berbagai sebab, maka itulah ‘inayatullah, artinya, ada tangan malaikat yang ikut menyelamatkannya atas perintah Allah. Inilah yang dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib r.a, setiap manusia dikawal malaikat penyelamat.
Jika ada bahaya datang, dan hari itu bukan jadwal kematiannya, maka Allah memerintahkan malaikat untuk menyelematkannya.
Islam Kejawen secara sosio-kultural adalah merupakan sub kultur dan bagian dari budaya Jawa. Istilah Kejawen dipakai oleh masyarakat untuk menyebut budaya dan tradisi di eks kerajaan Mataram Islam baik yang berada di Yogyakarta (Kasultanan dan Pakualaman) maupun Surakarta (Kasunanan dan Mangkunegaran).
Islam Kejawen adalah agama Islam yang telah beradaptasi dengan kultur dan tradisi Nagari Agung yang kemudian dapat menciptakan sebuah identitas penggabungan antara budaya Jawa dan Islam menjadi religiusitas Islam dengan warna Jawa. Warna mistik Islam dalam kultur Islam Kejawen begitu kental dalam fenomena keberagamaan masyarakat Jawa.
Begitu juga pada era Mataram Islam perpaduan dan adaptasi kultural Islam dengan budaya lokal semakin kental sehingga corak kultur keberagamaaan ini lebih dikenal dengan sebutan Islam Kejawen. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana ajaran agama dapat bergumul dengan budaya lokal.
Di Jawa, tantangan-tantangan muncul dari tradisi mistik Jawa dan budaya Jawa-Hindu. Prestasi yang cukup gemilang dalam proses pribumisasi Islam Jawa adalah kemampuan para da’i dan spiritualis Islam dalam mengkombinasikan bukan saja agama dengan budaya lokal tetapi juga antara corak tasawuf falsafi dari Sumatra dengan corak tasawuf ‘amali dari para Wali. Sejak saat inilah budaya Islam di Jawa yang lebih dikenal dengan mistisisme Islam Jawa yang sarat dengan muatan sufistik mulai berkembang pesat. Begitu juga Serat Wirid Hidayat Jati karya R. Ng. Kendati terjadi perubahan corak dan muatan namun substansi mistisisme dan etika Jawa tetap eksis pada zaman kewalen, bahkan para Wali tidak bersikap konfrontatif terhadap budaya lokal yang ada. Sikap adaptif dan kompromis para wali dan da’i di era Kasultanan Demak ini merupakan cikal bakal yang sekaligus menjadi corak khas Islam Jawa.
Fondasi paradigma dakwah kultural era kerajaan Demak ini dilanjutkan Kerajaan Pajang, kemudian Mataram, dan kemudian puncak eksistensi kulturalnya tampak pada zaman kekuasaan politik di Surakarta dan Yogjakarta. Corak utama yang dikembangkan dalam mistisisme Islam jawa adalah tasawuf-akhlaqiyah dan laku-laku mistisisme. Gubahan-gubahan dan penggantian simbol-simbol dan nama Hindu ke dalam simbol Islam khas Jawa sangat mewarnai corak fundamen Islam Kejawen yang sampai saat ini dapat dilihat dalam realitas kehidupan.
Begitu juga penciptaan metode thariqat (jalan mistik) diperoleh dari intuisi yang tentunya tidak lepas dari ruh Al-Qur’an dan nada-nada Nubuwwah. Keberadaan Islam Kejawen, dalam kerangka sosiologis, tidak perlu dipertentangkan karena merupakan budaya religius Jawa-Islam.
Bahkan, begitu sangat pentingnya shalat, Rasulullah SAW bersabda, "Kepala segala urusan adalah Islam, dan tiangnya adalah shalat, sementara puncaknya adalah jihad.". Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda, "Yang pertama kali dihilangkan dari umat manusia adalah amanat, dan yang tersisa paling akhir adalah shalat. Namun, yang justru merebak dan marak dikerjakan, khususnya di Indonesia, adalah shalat daim yang meninggalkan kewajiban shalat lima waktu. Maka, shalat daim memiliki pengertian shalat yang terus- menerus, tidak pernah putus dikerjakan. Menurut ajaran dari Sunan Bonang, shalat daim itu hanya duduk, diam, hening, dan pasrah pada kehendak Allah SWT. Lewat kitab Suluk Wujil, Sunan Bonang sudah menjelaskan perihal shalat daim yaitu: "Keutamaan diri ini adalah mengetahui hakikat shalat, sembah dan pujian.
Shalat sejati tidak hanya mengerjakan sembah raga atau tataran syariat mengerjakan shalat lima waktu. Shalat sejati adalah shalat daim, yaitu bersatunya semua indra dan tubuh kita untuk selalu memuji-Nya dengan kalimat penyaksian bahwa yang suci di dunia ini hanya Tuhan: Hua Allah, dia Allah. Lebih lanjut Sunan Bonang juga menjelaskan tentang cara melakukan shalat daim lewat kitab Suluk Wujil, yaitu: "Berbakti yang utama tidak mengenal waktu.
Selain di dalam kitab Suluk Wujil, ajaran shalat daim juga terdapat di dalam kitab Salat Daim Mulat Salira karya Bratakesawa dan juga di dalam kitab Wirid Ma`lumat Jati karya R Ngabehi Ranggawarsita (Ronggowarsito). pada kenyataannya, shalat daim yang banyak dikerjakan sekarang ini adalah dengan meninggalkan shalat lima waktu dengan salah mengartikan ucapan Sunan Bonang.
Ucapan Sunan Bonang ini bukanlah melarang mengerjakan shalat lima waktu, melainkan mengingatkan agar shalat itu tidak hanya menjadi hiasan, menjadi perbuatan riya. Maka, mereka yang mengerjakan shalat daim dengan meninggalkan shalat wajib lima waktu inilah yang masuk dalam kriteria Imam Malik sebagai orang zindik, penyeleweng agama.
Membangun khusyu’ dengan cara konsentrasi, menatap satu titik di tempat sujud, memahami arti bacaan, menghadirkan Allah didalam hati, dan sebagainya ternyata tidaklah mudah, atau sulit bahkan teramat sulit. Khusyu merupakan buah dari kokohnya keyakinan di dalam hati terhadap pertemuan dengan Allah.”. Karena khusu’ harus berlangsung sepanjang aktivitas shalat, maka kesadaran batin itu harus dipertahankan dan dibangun kembali di setiap sikap dalam rukun shalat, baik berdiri, duduk, ruku’ dan sujud. Sehingga tuma’ninah sebenarnya merupakan aktivitas untuk membangun kembali kesadaran batin dengan 3 hal itu.
Membangun kesadaran batin adalah hal yang dilakukan pada aktivitas paling awal dari pelaksanaan shalat. Dalam rukun shalat kesadaran awal ini biasa dikenal sebagai “niat.” Rasulullah bersabda; “Innamal a’maalu bin niyyah”, sesungguhnya amal itu tergantung dengan niatnya).
Dengan perasaan pasrah maka pikiran akan kosong, tidak ada lagi persoalan yang membebani pikiran, semua telah dilepaskan (direlakan), sehingga menghasilkan perasaan rileks, kemudian jiwa menjadi tenang dan damai. Nyambung (connect/ shilatun) adalah getaran jiwa yang menghubungkan antara seorang hamba dengan Tuhannya.
Nyambung dilakukan setelah tercapai perasaan tenang dan damai akibat dari pasrah, dengan mengucapkan “takbiratul Ihram.” Nyambung adalah aktivitas batin dimana sang aku seolah tengah terbang keatas meninggalkan raga yang telah pasrah menuju kehadirat Sang Khalik. Wahdatul wujud ini dalam khasanah sufi jawa dikenal dengan istilah Manunggaling Kawula Gusti. Proses “nyambung” ini bagi pemula membutuhkan waktu beberapa saat antara 5 sampai 10 detik, namun setelah terbiasa proses ini bisa berlangsung cukup singkat antara 1 sampai 2 detik saja.
Empat hal yang harus dilakukan untuk menggapai kekhusyu’an adalah sadar, pasrah, nyambung dan tuma’ninah. Hal itu mengindikasikan hilangnya kepasrahan karena ada sesuatu yang membebani pikiran. Mi’raj adalah naiknya jiwa (nafs) seorang hamba menuju ke hadirat Sang Khalik dengan meninggalkan segala ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia.
Shalat adalah satu-satunya perintah yang diterima langsung oleh Nabi Muhammad (tanpa perantara Malaikat Jibril) saat beliau menghadap (mi’raj) kehadirat Allah SWT. Shalat pada hakekatnya adalah sarana mi’raj rohani mukmin untuk menuju kehadirat Allah SWT.
Demikianlah hasil perenungan dari pengalaman dan pencarian untuk menggapai shalat khusyu’ sebagai tips sederhana.
Salah satu aliran sesat lainnya adalah Mukmin Mubaligh, yang ternyata juga masih bertautan dengan sosok Ahmad Musadeq. Dalam kepercayaan aliran Mukmin Mubaligh ini, para pengikutnya mengklaim terdapat sejumlah kelebihan mereka miliki dibandingkan dengan ajaran Islam.
Mereka mengklaim hal paling mendasar antara Islam dengan Mukmin Mubaligh adalah pemahaman tentang istilah Khatamul Quran. Pasalnya, mereka berkeyakinan bahwa Allah SWT telah berjanji akan menurunkan nabi atau rasul untuk tiap umat, pada masa yang berbeda-beda.
Para Pengikut Mukmin Mubaligh hanya diwajibkan untuk melaksanakan salat sekali dalam sehari semalam sebagai kewajibannya. Salat ala pengikut Mukmin Mubaligh ini diketahui juga tidak memakai hitungan rakaâat, sebagaimana muslim biasanya.