Asal Mula Upacara Sedekah Laut. “Bahkan sejak tahun 1983, sedekah laut menjadi ikon kebudayaan Cilacap dan disaksikan oleh wisatawan mancanegara,” kata Riyad Ginanjar Widodo ketua komunitas Tjilatjap History kepada serayunews.com, Jumat, (27/8/2021). Ataupun peralatan upacara sendiri yang juga harus disiapkan secara matang, misalnya tambir, jodhang, ancak, takir, dan ceketong. Persiapan semacam ini pun telah dilakukan para nelayan sejak lama dan menjadi rangkaian adat yang tak bisa dipisahkan. Karena bagi nelayan, sedekah laut merupakan cara mereka dalam mengungkapkan rasa syukurnya kepada sang pencipta,” tuturnya. Sementara itu, salah satu nelayan PPC Dimas meyakini, bahwa sedekah laut merupakan suatu adat yang harus dilakukan secara turun-temurun. Karena memiliki nilai religi yang tinggi, juga sebagai permohonan doa agar diberikan keselamatan saat melaut dan rasa syukur atas melimpahnya hasil tangkapan.

“Saya sudah ikut larung jolen sejak kecil, semua nelayan di sini pasti selalu ingin berkontribusi saat sedekah laut.

Tim Peneliti Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Menggali

Asal Mula Upacara Sedekah Laut. Tim Peneliti Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Menggali

Tradisi sedekah laut menjadi hal yang menarik bagi tim peneliti Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, Dra. Siti Maziyah, M.Hum., Dr. Alamsyah, M.Hum dan Yanuar Yoga Prasetyawan, M.Hum, untuk menggali lebih jauh lagi mengenai makna-makna yang terdapat dalam tradisi kebudayaan masyarakat Jepara, salah satunya adalah Upacara Sedekah Laut yang rutin dilaksanakan oleh masyarakat Desa Ujung Batu, Jepara.

Penelitian ini selaras dengan Pola Ilmiah Pokok (PIP) Undip yaitu Tropical and Coastal Region Eco-development atau Pengembangan Ekologis Wilayah Pesisir dan Tropis. Kebiasaan selamatan kepada penguasa laut yang dilakukan oleh nelayan di Desa Ujung Batu menjadi salah satu bentuk akulturasi.

Masyarakat nelayan memiliki kepercayaan apabila tradisi tersebut ditiadakan maka akan timbul bencana seperti ombak yang terlalu lama, angin kencang, dan pohon-pohon besar runtuh, yang menimpa masyarakat nelayan” tutur Sri Indrahti, salah satu tim peneliti sekaligus Dosen Sejarah Undip. Menurut masyarakat Jepara, lomban berasal dari kata lomba-lomba atau lelumban yang artinya bersenang-senang setelah menjalani puasa selama sebulan penuh di bulan Ramadhan” lanjutnya.

Setelah acara pelarungan selesai, di TPI Ujung Batu kembali dilakukan selamatan dengan menyelenggarakan pagelaran wayang kulit.

Larung Sembonyo

Asal Mula Upacara Sedekah Laut. Larung Sembonyo

Larung Sembonyo adalah budaya sedekah laut yang telah dilakukan secara turun-temurun oleh nenek moyang dari masyarakat lokal nelayan Prigi terwujud dalam upacara adat. Kebiasaan ini telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian kebudayaan masyarakat kota Trenggalek, terutama yang tinggal di pesisir pantai Prigi. Upacara Larung Sembonyo ini lahir dari cerita tradisional mengenai peristiwa gaib ketika seseorang Tumenggung dan pasukannya melakukan perluasan wilayah atau babad alas pada daerah tersebut. Upacara Larung Sembonyo ini biasanya dilakukan oleh para nelayan dan petani yang bercocok tanam atau melaut di daerah Prigi.

Ketika ditengah perjalanan akhirnya Tumenggung Yudha memberikan keputusan dengan menempatkan para saudaranya pada daerah yang mereka singgahi untuk membuka lahan baru diwilayah tersebut. Namun Tumenggung Yudha tetap melakukan perjalanan menuju wilayah Pantai Prigi untuk menyelesaikan misi dari kerajaan yang telah dimandatkan. Upacara pernikahan Tumenggung Yudha Negara dan Putri Gambar Inten dilaksanakan pada hari senin pasaran Kliwon bulan Selo dalam penanggalan Jawa.

Tradisi Nadran (sedekah laut) – Dinas Kebudayaan dan Pariwisata

Asal Mula Upacara Sedekah Laut. Tradisi Nadran (sedekah laut) – Dinas Kebudayaan dan Pariwisata

Cirebon, Tradisi Nadran adalah upacara adat nelayan yang dilaksanakan di pesisir utara pantai pulau jawa, seperti Subang, Indramayu, dan Cirebon. Upacara ini bertujuan untuk mensyukuri nikmat atas hasil tangkapan ikan yang melimpah, mengharap peningkatan hasil pada tahun mendatang dan berdoa agar tidak mendapat aral melintang dalam mencari nafkah di laut.

Nadran sebenarnya merupakan suatu tradisi hasil akulturasi budaya Islam dan Hindu yang diwariskan sejak ratusan tahun secara turun-temurun. Kata nadran sendiri, menurut sebagian masyarakat, berasal dari kata nazar yang mempunyai makna dalam agama Islam: pemenuhan janji. Adapun inti upacara nadran adalah mempersembahkan sesajen (yang merupakan ritual dalam agama Hindu untuk menghormati roh leluhurnya) kepada penguasa laut agar diberi limpahan hasil laut, sekaligus merupakan ritual tolak bala (keselamatan). Nadran atau kadang disebut labuh saji dapat juga diartikan sebagai sebuah upacara pesta laut masyarakat nelayan sebagai perwujudan ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rezeki yang diberikan-Nya lewat hasil laut yang selama ini didapat. Selain itu, dalam upacara nadran juga dilakukan permohonan agar diberi keselamatan dalam melaut, serta tangkapan hasil laut mereka berlimpah pada tahun mendang.

Tradisi Nadran, Pesta Sedekah Laut yang Kehilangan ‘Ruhnyaâ

Asal Mula Upacara Sedekah Laut. Tradisi Nadran, Pesta Sedekah Laut yang Kehilangan ‘Ruhnyaâ

Di tengah gencarnya kemajuan teknologi informasi dan pengaruh budaya barat, salah satu budaya lokal nusantara yang masih terus menggeliat dalam mempertahankan tradisis leluhurnya hingga sekarang adalah tradisi ‘Nadran’ di daerah pesisir pantai utara Cirebon. Kepala kerbau tersebut dibalut dengan kain putih dan kemudian bersama dengan perangkat sesajen lainnya dilarung ke tengah laut lepas dan kepala kerbau tersebut ditenggelamkan.

Sementara nasi tumpeng dan lauk pauk lainnya dibagi-bagikan kepada anggota masyarakat sekitarnya, yang biasa disebut sebagai bancaan atau berkah. “Tradisi ini memiliki landasan filosofis yang berakar dari keyakinan keagamaan dan nilai-nilai budaya lokal yang dianut oleh masyarakat setempat sebagai salah satu cara bagaimana masyarakat nelayan mengekpresikan rasa syukur mereka pada Sang Maha Pencipta atas tangkapan ikan yang mereka peroleh serta permohonan keselamatan dalam mencari nafkah di laut,” kata Dra Hariyani Agustina, MM dalam ujian terbuka promosi Dotor Ilmu Filsafat di Ruang Seminar Lantai V Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, Senin (21/4). Promovendus menyampaikan judul disertasi ‘Nilai-nilai Filosofis Tradisi Nadran Masyarakat Nelayan Cirebon: Relevansinya Bagi Pengembangan Budaya Kelautan’.

Menurut isteri dr Askar Chusaeri SpB ini pemahaman terhadap nilai-nilai tersebut kemudian dapat ditransformasikan dalam membangun kehidupan masyarakat kelautan ke taraf yang lebih maju dan lebih baik, baik dari sisi pendidikan, ekonomi maupun solidaritas sosial budaya. “Nadran sebagai sebuah tradisi yang lahir dari masyarakat pesisir sangat berguna dalam memperkaya konsepsi dan tujuan pembangunan nasional berbasis kelautan.

Penjabarannya dapat dilakukan dengan memuat muatan tradisi lokal pada kurikulum sekolah nasional maupun menjadi salah satu mata kuliah yang perlu diajarkan di perguruan tinggi,” jelasnya. Meskipun demikian, Heriyani mengkritisi jika dalam konteks kekinian, Nadran tidak lagi terlihat sebagai upaya pelestarian tradisi, namun lebih ke arah sarana hiburan semata bagi masyarakat. Dengan demikian Nadran terkadang hanya sebagai pawai budaya, dan ini perlu dibenahi kembali oleh pemerintah daerahnya,” terangnya.

Related Posts

Leave a reply