Riba Menurut Mazhab Maliki Dan Syafi'i. Kita sebagai Orang Islam juga harus bekerja dan mendapat penghasilan dengan cara yang halal. Dan salah satu contoh cara berpenghasilan yang tidak halal itu adalah dengan berbuat riba.
Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Dalam transaksi simpan-pinjam dana, secara konvensional, si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut.
Pengertian senada disampaikan oleh jumhur ulama sepanjang sejarah Islam dari berbagi mazhabib fiqhiyyah. “Salah satu bentuk Riba yang dilarang Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah penambahan atas harta pokok karena unsure waktu. Dalam dunia perbankan, hal tersebut dikenal dengan bunga kredit sesuia lama waktu pinjaman.”. Apabila telah datang saat pembayaran dan sipembeli tidak mampu membayar, ia memberikan bayaran tambahan atas penangguhan.”. Jikalau tidak mampu melunasi, ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga pinjaman) atas penambahan waktu yang diberikan.” [].
Riba menurut arti bahasa adalah az – ziyadah ( tambahan ), atau sesuatu menjadi tinggi. Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jangan memakan riba dengan berlipat ganda, bertakwalah kepada Allah agar kamu memperoleh keberuntungan.
Orang-orang yang telah sampai kepada mereka larangan dari tuhan lalu terus berhenti dari mengambil riba maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu sebelum datang larangan dan urusannya terserah kepada Allah. Dan jika orang berhutang itu didalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.
Dan menyedekahkan sebagian atau semua hutang itu, lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Begitupula uang, walaupun bukan terbuat dari emas, uangpun dapat menjadi harga sesuatu.
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jangan memakan riba dengan berlipat ganda, bertakwalah kepada Allah agar kamu memperoleh keberuntungan. Orang-orang yang telah sampai kepada mereka larangan dari tuhan lalu terus berhenti dari mengambil riba maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu sebelum datang larangan dan urusannya terserah kepada Allah. Dan jika orang berhutang itu didalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.
Dan menyedekahkan sebagian atau semua hutang itu, lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Pada madzhab ini terdapat tiga riwayat tentang illat riba, yang paling masyhur adalah seperti pendapat ulama hanafiyah.
Hanya saja ulama, Hanabilah mengharamkan pada setiap jual beli sejenis yang ditimbang satu kurma. Ada perbedaan yang sangat penting diketahui membedakan antara riba dan jual beli yaitu :. Hal yang menyebabkan riba dilarang karena perbuatan sesorang memaksakan pemilikan harta benda orang lain. Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Bagi Bankir dan Praktisi Keuangan, 1999, Jakarta : Tazkiah Institute.
Sebelum menjawab pertanyaan “apakah bunga bank itu riba atau bukan?”, kita perlu mendudukkan persoalan secara tepat. Namun, insya Allah nanti pemirsa siap mempertimbangkan bahwa pendapat saya lebih masuk akal oleh karena Fatwa DSN MUI sudah dipositivisasi secara legal level UU NKRI dan perangkat lainnya seperti Peraturan Otoritas Jasa Keuangan [POJK], Peraturan Bank Indonesia [PBI], ada juga PAPSI, PSAK, dan sejalan dengan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah [KHES] yang dibuat oleh Badilag Mahkamah Agung.
Yusuf Ali menambahkan, “definisi saya ini terkait pemungutan keuntungan yang berlebihan (profiteering), dan tidak termasuk kredit ekonomi ciptakan sistem perbankan modern.”. Apakah rumus kitab-kitab klasik seperti I’anah ath Thalibin, Subulus Salam, Bulughul Maram dan berbagai kitab kontemporer ini salah?
Dulu, masa Imam Abu Hanifah, halal haramnya transaksi akan ditentukan oleh motifnya, maksudnya, maknanya, bukan dari istilahnya. Saya mulai dengan pendapat Prof. KH Ibrahim Hosen, LML, yang saat itu menjabat rektor IIQ Jakarta dan ketua Komisi Fatwa MUI. ), Prof. Hosen berargumen bahwa al-Qur’an dan hadits tidak berbicara soal bunga bank karena sistem perbankan, seperti kita saksikan sekarang, belum ada di zaman Nabi.
Bahkan Fatwa DSN MUI sudah dipositivisasi secara legal level UU NKRI dan perangkat lainnya seperti Peraturan Otoritas Jasa Keuangan [POJK], Peraturan Bank Indonesia [PBI], ada juga PAPSI, PSAK, dan sejalan dengan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah [KHES] yang dibuat oleh Badilag Mahkamah Agung.