Riba Dalam Ekonomi Syariah Diganti Dengan. Jadi, bagi para nasabah yang menaruh uang di bank dan uangnya digunakan untuk dijadikan modal nantinya akan mendapatkan hasil dari mudharabah itu sendiri sesuai dengan perjanjian.
Namun saya juga melihat bahwa praktek yang terjadi pada bank syariah juga terkesan masih ada bunga sehingga memunculkan pendapat bahwa bank syariah belum sepenuhnya syar'i. Sehingga masih memunculkan kesan seperti halnya bank konvensional atau riba yang berganti baju. Misalnya ketika bank syariah menawarkan kredit murabahah dengan marjin yang ditetapkan di muka dan tidak berubah selama kontrak lebih mudah dipahami oleh nasabah dengan istilah flat-rate. Sebagai rahmatani lil alamin, Islam harus mampu melayani seluruh umat manusia nilai kemanfaatan yang lebih.
Bank syariah tidak perlu semata memposisikan diri sebagai pesaing perbankan konvensional. Diharapkan pendekatan ini akan berimplikasi menjadikan bank syariah sebagai produk pelengkap (komplementer) dari yang sudah ada. Kedua, bank syariah tidak perlu menampilkan di publik mengenai equivalent rate atas tabungan atau deposito ataupun pembiayaan yang akan diberikan.
Prinsip bagi hasil yang telah diterapkan dalam tabungan mudharabah misalnya, tidak perlu diperbandingkan dengan tingkat bunga di bank konvensional, karena hal ini justru akan mengaburkan kesan kesyariah-an bank syariah. Misalnya nilai marjin murabahah tidak harus selalu dikaitkan dengan besarnya nilai pinjaman dan jangka waktu pembayaran, namun juga dikaitkan dengan jenis barang/komoditas yang akan dibiayai.
Dua contoh ini semoga memberikan gambaran bagaimana kita keluar dari bayang-bayang bunga dan perbankan konvensional.
Intisari Jawaban. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Perbankan syariah di Indonesia melarang adanya riba sebagaimana diatur dalamkarena riba bertentangan dengan ajaran Islam, sedangkan bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usaha dengan prinsip Islam (prinsip syariah) dan tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah.
Penjelasan Pasal 2 huruf a Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (“UU 21/2008”), yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam meminjam yang mempersyaratkan nasabah penerima fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah). Riba menurut, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam meminjam yang mempersyaratkan nasabah penerima fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah). Riba menurut In M. Umer Chapra yang dikutip dari buku Agus Triyanta, Hukum Perbankan Syariah: Regulasi, Implementasi dan Formulasi Kepatuhannya terhadap Prinsip-Prinsip Islam (hal. Menurut Abu Al-A’la Al-Mawdudiy dan In M. Umer Chapra, dikutip dari buku yang sama oleh Agus Triyanta (hal.
Riba al-fadhl, yaitu adanya kenaikan dalam pertukaran dari dua buah objek yang sama dari dua belah pihak, di mana keduanya sama-sama memegang kepemilikan objek yang dipertukarakan. [1] Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian.
Larangan riba dalam perbankan syariah juga dibenarkan oleh Agus Triyanta (hal. 44), riba yang sudah menjadi tradisi yang jamak terjadinya di antara masyarakat sebelum masa Islam terbukti telah membahayakan bagi masyarakat, dan untuk itulah maka Islam melarangnya .
Larangan Islam terhadap kegiatan ekonomi yang tidak adil ini secara terang benderang telah disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.