Pembagian Riba Menurut Ulama Fiqih. Dalam pengertian lain secara linguistik seperti Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Selasa (15/1/2019), riba juga berarti tumbuh dan membesar.

Mengenal 5 Macam Riba Menurut Islam Beserta Dalilnya

Pembagian Riba Menurut Ulama Fiqih. Mengenal 5 Macam Riba Menurut Islam Beserta Dalilnya

Riba memiliki tiga istilah yaitu bertambah, berkembang, dan berlebihan. Secara umum, Riba adalah mengambil kelebihan di atas modal dari yang membutuhkan dengan mengeksploitasi kebutuhannya. Riba yang pertama ini ialah seseorang menghutangi uang dalam jumlah tertentu kepada seseorang dengan batas tertentu, dengan syarat berbunga sebagai imbalan batas waktu yang diberikan tersebut. Jual beli ini juga disebut sebagai barter tanpa adanya imbalan untuk tambahan tersebut. Penukaran tersebut terjadi tanpa adanya kelebihan, namun salah satu pihak yang terlibat meninggalkan akad, sebelum terjadi penyerahan barang atau harga. Ilustrasi: Salah satu dari macam-macam riba adalah pengadaan selisih dalam jual beli sebelum penyerahan barang (Foto: CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi) Ilustrasi: Salah satu dari macam-macam riba adalah pengadaan selisih dalam jual beli sebelum penyerahan barang (Foto: CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi).

Ribah ini adalah Riba dalam utang piutang yaitu dengan mengambil manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang diisyaratkan kepada penerima utang atau muqtaridh. Yaa ayyuhallaziina aamanuttaqullaaha wa zaru maa baqiya minar ribaa ing kuntum mu'miniin. Ada banyak dampak buruk jika riba terus dilakukan, misalnya saja membuat orang menjadi tamak dan serakah terhadap harta.

Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.". "Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah.

Hukum Riba Menurut Al

Pembagian Riba Menurut Ulama Fiqih. Hukum Riba Menurut Al

kata riba memiliki arti kata lebih, tambahan, dan berkembang. harta – harta yang bisa dijadikan Riba, riba dapat terjadi pada enam jenis harta berikut ini, yaitu emas, perak, gandum, barley, kurma, dan, garam. adalah jual – beli harta riba atas riba atas harta riba yang sama dengan menambah di salah satu benda yang di tukarkan.

Keadan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata, sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Hai orang – orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan siksa riba yang belum dipungut jika kamu orang – orang yang beriman . Riba merupakan transaksi utang - piutang dengan tambahan yang diperjanjikan didepan dengan, ditandai tanda “lipat ganda“.

Illat riba fadhl menurut ulam’ hanafiyah adalah jual –beli barang ditakar atau ditimbang serta barang yang sejenis, seperti emas, perak, gandum, kurma, garam, dan anggur kering . Dengan kata lain , jika barang – barang yang sejenis dari barang – barang yang telah disebut di atas, seperti gandum dengan gandum ditimbang untuk diperjualbelikan dan terdapat tambahan dari salah satunya, terjadilah riba fadhl. Illat diharamkannya riba menurut ulama malikiyah pada emas dan perak adalah harga, sedangkan mengenai illat riba dalam makanan, mereka berbeda pendapat dalam hubungannya dengan riba nasi’a dan riba fadl. Illat riba pada emas dan perak adalah harga, yakni kedua barang tersebut dihargakan atau menjadi harga sesuatu.

Lihat Semua Komentar (0).

ASURANSI SYARIAH

Pembagian Riba Menurut Ulama Fiqih. ASURANSI SYARIAH

Di antara lembaga ekonomi tersebut adalah lembaga asuransi syariah. Perkembangan asuransi syariah[1] di Indonesia sendiri tidak terlepas dari adanya asuransi konvensional, berdasarkan hal tersebut masih ada ketidakpercayaan masyarakat dengan asuransi syariah dengan asumsi tidak ada perbedaan dengan konvensional dalam operasionalnya. Berdasarkan hal tersebutlah tulisan ini disusun guna memperkenalkan, memperjelas dan mengkaji tentang asuransi syariah, meskipun tidak mengurai secara mendetail, namun setidaknya tulisan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman secara komprehensif tentang asuransi syariah baik dari historisitas perkembangan, dasar hukumnya, perbedaannya dengan asuransi konvensional dan kendala maupun startegi pengembangan asuransi syari’ah.

Pengertian Asuransi Syariah Keberadaan asuransi syariah tentunya tidak terlepas dari adanya asuransi konvensional. Oleh karena itu penyusun akan mengurai pengertian asuransi baik yang konvensional maupun syariah. [5] Banyak definisi tentang asuransi (konvensional).

Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seorang yang ditanggungkan. [10] Sedangkan asuransi syariah atau takaful secara bahasa berasal dari kafala-yakfulu-kafalatan,[11] artinya menanggung.

Istilah takaful pertama kali digunakan oleh Daar al Mal al Islami, sebuah perusahaan asuransi Islam di Genewa yang berdiri tahun 1983. [16] Di Indonesia asuransi syariah belum mempunyai payung hukum, sehingga masih berpayung pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992. [18] Pengertian lebih spesifik terdapat dalam Fatwa DSN Nomor 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah disebutkan bahwa yang dimaksud dengan asuransi syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang syariah adalah akad yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan) risywah (suap), barang haram dan maksiat. [19] Sejarah Asuransi Syariah Lembaga asuransi sebagaimana dikenal sekarang, sebenarnya tidak dikenal pada masa awal Islam, akibatnya banyak literatur Islam menyimpulkan bahwa asuransi tidak dapat dipandang sebagai praktik yang halal, walaupun secara jelas mengenai lembaga asuransi ini tidak dikenal di masa Islam, akan tetapi dalam historisitas Islam, terdapat beberapa aktifitas dari kehidupan pada masa Rasulullah SAW yang mengarah pada prinsip-prinsip asuransi.

[22] Tidak dapat disangkal bahwa keberadaan asuransi syariah tidak terlepas adanya asuransi konvensional yang telah ada sejak lama. Di Indonesia sendiri asuransi takaful baru muncul pada tahun 1994 seiring dengan diresmikannya PT Syarikat Takaful Indonesia yang kemudian mendirikan 2 anak perusahaan yaitu PT. Asuransi Takaful keluarga pada tahun 1994 dan PT. Asuransi Takaful Umum pada tahun 1995.

[31] TEPATI itulah yang kemudian menjadi perumus dan perealisir dari berdirinya asuransi takaful Indonesia dengan mendirikan PT Asuransi Takaful Keluarga (Asuransi Jiwa) dan PT Asuransi Umum (asuransi kerugian). [34] Saat ini perusahaan asuransi yang benar-benar secara penuh beroperasi sebagai perusahaan asuransi syariah ada tiga, yaitu Asuransi Takaful Keluarga, Asuransi Takaful Umum dan Asuransi Mubarakah.

[36] Landasan Hukum Asuransi Syariah Asuransi syariah mempunyai beberapa dasar hukum, yang akan diuraikan sebagai berikut: Al-Quran Praktik asuransi syariah tidak disebutkan secara tegas dalam al-Qur’an, tidak ada sebuah ayat pun secara nyata menjelaskan tentang praktik asuransi. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” Ayat itu memuat perintah tolong-menolong antara sesama manusia dalam kehidupan bermasyarakat.

Dalam bidang asuransi para nasabah diharapakan dapat memberikan sebagian uang yang dimilikinya untuk digunakan sebagai dana sosial (tabarru’) yang digunakan untuk menolong salah satu anggota asuransi yang mengalami musibah. [38] Al-Nisa (4): 9 yang artinya sebagai berikut: |·÷‚u‹ø9ur šúïÏ%©!$# öqs9 (#qä.ts? Dalam kaitannya dengan prinsip asuransi yang terkandung dalam hadits tersebut yaitu mewajibkan anggota untuk membayar uang iuran (premi) yang digunakan sebagai tabungan dan dapat dikembalikan ke ahli warisnya jika pada suatu saat terjadi peristiwa yang merugikan, baik dalam bentuk kematian nasabah atau kecelakaan diri. Menurut Abdul Manan, perundang-undang ini kurang mengakomodasi asuransi dengan prinsip syariah. Fatwa DSN Nomor 21/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman umum asuransi syariah. 224/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.

Sedangkan dasar operasional asuransi syariah didasarkan pada fatwa DSN yaitu: Nomor 51/DSN-MUI/III/2006 tentang Pedoman Mudharabah Musytarakah Pada Asuransi Syariah. Hal ini disebabkan transaksi yang dibuat dalam asuransi takaful adalah akad takaful (saling menanggung) bukan akad tabaduli (saling menukar) yang selama ini digunakan oleh asuransi konvensional, yaitu pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan.

Bukhari dan Muslim). Sebagaimana firman Allah dalam QS al-Quraisy ayat 4 yang artinya “(Allah) telah menyediakan makanan untuk menghilangkan bhaya kelaparan dan menyelamatkan/mengamankan mereka dari mara bahaya ketakutan”, Firman Allah QS.

Dengan begitu maka asuransi takaful (syariah) merealisir perintah Allah SWT dalam al-Quran dan Rasulullah SAW dala sunnah tentang kewajiban saling melindungi di antara sesama warga masyarakat. Dalam konsep syraiah keadaan ini akan lain karena akad yang digunakan adalah akad takafuli atau tolong- menolong dan saling menjamin di mana semua peserta asuransi menjadi penolong dan penjamin satu sama lainnya. Dengan kata lain, dana klaim dalam konsep takaful bisa diambil dari dana tabarru’ yang merupakan kumpulan dana shadaqah yang diberikan oleh para peserta.

Dalam konsep takaful, apabila peserta tidak mengalami kecelakaan atau musibah selama menjadi peserta, maka ia tetap berhak mendapatkan premi yang disetor kecuali dana yang dimasukkan ke dalam dana tabarru’. Dalam AM. Coudhury dalam bukunya Contribution to Islamic Ekonomic Theory, prinsip dasar tersebut ditambah 5 lagi sehingga menjadi 9 prinsip dasar, yaitu:[47] Tauhid (unity), prinsip ini adalah dasar utama dari setiap bentuk bangunan yang ada dalam syariah islam.

Dalam hal ini perusahaan asuransi harus memberikan kesempatan yang besar bagi nasabah untuk mengakses laporan keuangan perusahaan. Struktur Kelembagaan dan Badan Hukum Asuransi Syariah di Indonesia Struktur kelembagaan asuransi syariah secara garis besar sama dengan asuransi secara umum yakni adanya Komisaris, Direksi, Direktur Utama, Direktur Tkeni, Direktur Umum dan Keuangan, Direktur Pemasaran dan lain-lain, akan tetapi hal yang membedakkan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional, selain tidak adanya riba di asuransi syariah, juga adanya DPS (Dewan Pengawas Syariah) dalam asuransi syariah. Badan hukum asuransi syariah di Indonesia yang selama ini beroperasi adalah berbentuk Perseroan Terbatas (PT), hal tersebut bisa dilihat seperti keberadaan PT Asuransi Takaful Keluarga (Asuransi Jiwa) dan PT Asuransi Umum (asuransi kerugian). Perbedaan Antara Asuransi Konvensional Dan Asuransi Syariah Dibandingkan dengan asuransi konvensional, asuransi syariah memiliki perbedaan mendasar dalam beberapa hal, yaitu:[48] Keberadaan Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah adalah suatu keharusan.

Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong), yaitu nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami kesulitan. Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharabah). Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan. Sedangkan dalam asuransi konvensional, jika tidak ada klaim nasabah tidak mendapatkan apa-apa.

Fungsinya mengawasi produk yang dipasarkan dan investasi dana Tidak ada Aqad Tolong menolong (Takafuli) Jual beli Investasi dana Investasi dana berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharabah) Investasi dana berdasarkan bunga Kepemilikan dana Dana yang terkumpul dari nasabah (premi) merupakan milik peserta. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelola Dana yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan, perusahaan bebas menentukan investasinya. Dari rekening dana perusahaan Keuntungan (profit) Dibagi antara perusahaan dengan peserta dengan prinsip bagi hasil Seluruhnya menjadi miliknya perusahaan Sedangkan menurut Sun Life Financial (SLF), bahwa perbedaan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional terletak pada subjek 1) resiko, 2) kontrak, 3) tujuan bisnis, 4) operasional bisnis, 5) aturan investasi, 6) pembayaran kontribusi, 7) kepemilikan dana, 8) underwriting, 9) pengawasan, dan 10) manfaat pada produk asuransi.Sedangkan perbedaan secara lengkap bisa dilihat pada tabel berikut:[50] Dari beberapa pendapat di atas terdapat beberapa perbedaan mendasar antara asuransi syariah dengan asuransi konvensional sebagai berikut: Asuransi syari’ah memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) dari MUI yang bertugas mengawasi produk yang dipasarkan dan pengelolaan investasi dananya.

Pada asuransi konvensional, dana yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan. Sedangkan pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambilkan dari rekening dana perusahaan.

Di lain pihak masyarakat memiliki sedikit peluang untuk berhubungan dengan asuransi syariah, berkenaan dengan rendahnya kepentingan masyarakat terhadap produk asuransi syariah. Asuransi syariah sebagaimana bank dan lembaga keuangan syariah lain, masih dalam proses mencari bentuk. Agar asuransi syariah bisa berkembang, maka diperlukan beberapa hal sebagai berikut: [52] Perlu strategi pemasaran yang lebih terfokus kepada upaya untuk memahami pemahaman masyarakat tentang asuransi syariah. 21/DSN-MUI/III/2002 tentang Asuransi Syariah. [53] Kesimpulan Dengan pembahasan yang telah uraian di atas, maka penyusun dapat memberikan kesimpulan dari pembahasan makalah ini sebagai berikut: Pengertian Asuransi Syariah secara lebih spesifik terdapat dalam Fatwa DSN Nomor 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah disebutkan bahwa yang dimaksud dengan asuransi syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang syariah adalah akad yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan) risywah (suap), barang haram dan maksiat. Asuransi konvensional dan asuransi syariah merupakan dua hal yang berbeda, baik dari dari prinsipnya yakni saling bertanggung jawab, saling membantu, saling melindungi), operasionalnya yang menghilangkan unsur gharar, maisir maupun riba maupun akad yang digunakannya yakni asuransi syariah menggunakan akad takafuli (tolong-menolong) sedangkan asuransi konvesional menggunakan akad tabaduli (saling tukar-menukar).

21/DSN-MUI/III/2002 tentang Asuransi Syariah. Manan, Abdul, Hukum Ekonomi Syariah Dalam Prespektif Kewenangan Peradilan Agama, cet 2, Jakarta: Kencana Prenada Group, 2014.

Undang-Undangan dan peraturan-peraturan Undang-undang nomor 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian Keputusan Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan Nomor 4499/LK/2000 tentang Jenis, Penilaian Dan Pembatasan Investasi Perusahaan Asuransi Dan Reasuransi Dengan Sistem Syariah. Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha Dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi Dan Perusahaan Reasuransi. Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 224/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi Dan Perusahaan Reasuransi.

Fatwa Nomor 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Pedoman Tabarru’ Pada Asuransi Syariah. Fatwa DSN Nomor 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah.

[2] Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah Dalam Prespektif Kewenangan Peradilan Agama, cet 2, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2014), h. 237., lihat juga Abdul Halim Barakatullah, Hukum Lembaga Ekonomi Islam di Indonesia, (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2011), h. 62. [4] Barakatullah, Hukum Lembaga..., Ibid. [10] Manan, Hukum Ekonomi..., Ibid.

[13] Barakatullah, Hukum Lembaga..., Ibid. [15] Ibid., lihat juga Manan, Hukum Ekonomi..., Ibid.

[16] Sula, Asuransi Syariah..., Ibid. [17] Manan, Hukum Ekonomi..., Ibid. [22] Dewi, Aspek-Aspek Hukum...., Ibid. Suatu akad yang mengandung unsur penipuan karena tidak adanya kepastian, baik mengenai ada atau tidaknya objek akad, besar kecilnya jumlah, maupun kemampuan menyerahkan objek yang disebutkan didalam akad tersebut.

Tidak adanya kemampuan untuk menyerahkan objek akad pada waktu terjadi akad, baik objek akad tersebut sudah ada maupun belum ada (bai’al-ma’dum), 2. Tidak adanya kepastian objek akad yaitu adanya dua objek akad yang berbeda dalam transaksi, 9. Hukum riba menurut ulama fikh adalah haram.

[42] Barakatullah, S.Ag., S.H., M.H., Hukum Lembaga..., Ibid. Hasan Ali, Asuransi Dalam Prespektif Hukum Islam Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teoritis Dan Praktis, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 125-136, lihat juga dalam Barakatullah, Hukum Lembaga..., Ibid., h. 68-70.

Pendapat Ulama Kontemporer Soal Bank Konvensional

Pembagian Riba Menurut Ulama Fiqih. Pendapat Ulama Kontemporer Soal Bank Konvensional

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Ulama belum sepakat bahwa bermualah dengan bank konvensional jelas diharamkan. "Dan posisi beliau sama dengan gurunya, yakin sekali bahwa bunga bank itu adalah riba yang diharamkan," katanya. Khusus untuk tema ini Beliau menulis sebuah buku berjudul : Fawaid Al-Bunuk Hiya Ar-Riba Al-Muharram. "Walaupun sebenarnya klaim itu tumbang, karena ternyata banyak juga ulama kontemporer yang menghalalkannya," katanya. Kata Ustaz Ahmad kalau kita lakukan pencarian di internet tentang hukum bunga bank, maka yang paling banyak muncul adalah fatwa keharamanya dan selalu muncul nama Syiekh Bin Baz. "Sehingga terkesan seolah-olah yang berfatwa haramnya bunga bank banyak sekali jumlahnya, walaupun sesungguhnya semua kembali kepada satu tokoh saja," katanya.

Boleh jadi kemudian para murid dan pengikutnya yang membanjiri media sosial dengan fatwa-fatwa Syeikh bin Baz. Sementara di antara ulama kontemporer yang berpendapat mualah dengan bank konvensional tidak haram antara lain Dr. Muhammad Abduh, Muhammad Rashid Rida, Abdul al-Wahab Khallaf dan juga Syeikh Mahmud Shaltut. Ustaz Ahmad mengatakan, pendapat Syekh Ali Jum'ah itu nampaknya ingin menampik klaim Dr. Yusuf Al-Qaradawi yang menyebutkan bahwa keharaman.

Syeikh Dr. Ali Jum’ah sendiri cenderung kepada pendapat pendahulunya, yaitu Sayyid Tantawi dan juga fatwa resmi Majma’ Al-Buhuts Al-Islamiyah di. Penetapan keuntungan yang harus diberikan oleh pihak peminjam kepada pemilik harta menurut beliau bukan riba, karena merupakan pembagian hasil usaha dan keuntungan yang sudah diawali dengan saling ridha. Pendapat beliau tentang bunga bank ini sama dengan para pendahulunya, yaitu menganggapnya bukan sebagai riba. Meski pembagian hasil itu sendiri sudah ditentukan nilainya di awal, namun menurut beliau, hal itu sah-sah saja karena sudah melewati proses saling ridha di antara kedua belah pihak. Jadi fatwa beliau ini lebih spesifik lagi, bukan hanya yang menyimpan uangnya saja yang aman dari riba, bahkan ketika seorang meminjam uang dari bank (menjadi debitur), lalu dia bayar ‘bunga’ kepada bank, maka itu pun menurut beliau bukan riba, melainkan bagi hasil. Selain itu menurut Umar Chapra, kata Ustaz Ahmad ada Muhammad Asad dan juga Abdullah Yusuf Ali yang juga berpendapat bahwa bunga bank itu bukan termasuk riba yang diharamkan.

Related Posts

Leave a reply