Pajak Termasuk Riba Atau Tidak. Dalil-dalil yang dikemukakan oleh pihak yang menolak pajak, antara lain: [1] Larangan Allah SWT agar tidak memakan harta sesama dengan cara yang bathil, QS. Kemudian hadits Rasulullah SAW tentang pemungut Al Maks yang berbunyi,” إِنَّ صَاحِبَ الْمَكسِ فِيْ النَّارِ, yang diterjemahkan menjadi, ”Sesungguhnya pemungut Al Maks (pemungut pajak) masuk neraka” [HR Ahmad 4/109]; [3] Hadits Rasulullah SAW yang berbunyi: لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ, diterjemahkan menjadi, “Tidak akan masuk surga pemungut Al Maks (orang yang mengambil pajak)”, (HR. Abu Daud II/147 No.2937); [4] Hadits Rasulullah SAW yang berbunyi: ليْسَ فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ, artinya, “Tidak ada kewajiban dalam harta kecuali Zakat” (HR Ibnu Majah I/570 No.1789); [5] Hadits Rasulullah SAW yang berbunyi: فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ, artinya, “Demi dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sesungguhnya perempuan itu telah benar-benar bertaubat, sekiranya seorang pemungut Al Maks (pemungut pajak) bertaubat sebagaimana taubatnya wanita itu, niscaya dosanya akan diampuni.” (HR.
(روه الترميذى و بن ماجة) , yang artinya,”Di dalam harta terdapat hak-hak yang lain di samping Zakat.” (HR Tirmidzi dari Fathimah binti Qais RA., Kitab Zakat, Bab 27, Hadits No.659-660 dan Ibnu Majah, kitab Zakat, Bab III, Hadits No.1789); [4] Hadits Rasulullah SAW tentang kewajiban Khalifah yang berbunyi:الإمام راع و هو مسؤول عن رعيته (رواه مسلم) , yang artinya,”Seorang Imam (Khalifah) adalah adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan dia akan diminta pertanggungjawabannya terhadap rakyatnya, (HR Muslim); [5] Dalam keadaan kekosongan Baitul Mal, seorang Khalifah tetap wajib mengadakan berbagai kebutuhan pokok rakyatnya, untuk mencegah timbulnya kemudharatan, dan mencegah suatu kemudaratan adalah juga kewajiban, sebagaimana kaidah ushul fiqh yang mengatakan: ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب , artinya,”Segala sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan demi terlaksananya kewajiban selain harus dengannya, maka sesuatu itupun wajib hukumnya.”; [6] Hadits Nabi SAW tentang wajibnya kaum Muslimin untuk mencukupi kebutuhan pokok mereka yang berbunyi: عن سلمة بن عبد ا لله بن مجضن الخطمى ‘ عن أ بيه و كا نت له صحبة , قال : قال رسول الله صلى ا لله عليه و سلم. Perdebatan tentang boleh atau tidaknya memungut pajak dengan “perang dalil” seperti di atas tidak akan menghasilkan kesepakatan apa-apa jika tidak di awali dengan pemahaman yang sama tentang apa saja sumber-sumber pendapatan negara yang di perbolehkan dalam Islam.
Di zaman pemerintahan Nabi Muhammad SAW sebagai Kepala Negara di Madinah (622-632 M/ 1-10 H), sumber pendapatan negara terpenting dan terbesar adalah Ghanimah (harta rampasan perang) yang diperoleh dari kaum kafir, melalui peperangan, yang kemudian harta itu dibagi sesuai dengan perintah Allah SWT pada QS. Ghanimah merupakan salah satu kelebihan yang diberikan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, yang tidak diberikan kepada Nabi-Nabi yang lain (lihat QS.
Sumber pendapatan kedua adalah Fa’i, yaitu harta rampasan yang diperoleh kaum Muslim dari musuh tanpa terjadinya pertempuran (QS. Namun kemudian, khalifah Umar bin Khattab RA berijtihad, tidak lagi menjadikannya milik kaum Muslim, tapi tetap memberikan hak milik pada non Muslim, namun mewajibkan mereka membayar sewa (Kharaj) atas tanah yang diolah tersebut.
Tingkat bea yang diberikan kepada non Muslim adalah 5% dan kepada Muslim sebesar 2,5%. Mereka tetap wajib membayar Jizyah, selagi mereka kafir. Hal ini sesuai dengan perintah Allah SWT dalam QS. Sumber pendapatan negara keenam adalah Zakat (Shadaqah) adalah kewajiban kaum Muslim atas harta tertentu yang mencapai nishab tertentu dan dibayar pada waktu tertentu, sesuai perintah Allah dalam QS [9]:103.
Dari uraian tentang sumber-sumber Pendapatan Negara diatas, terlihat bahwa pendapatan negara pada pemerintahan Islam periode awal di Madinah bersumber dari orang kafir (Ghanimah, Fa’i, Kharaj, Jizyah, ‘Ushr) dan juga dari kaum Muslimin yaitu Zakat. Akibat tidak adanya sumber-sumber pendapatan negara seperti yang di contohkan oleh Rasulullah SAW dan para Shahabat berupa Ghanimah, Fa’i, Kharaj, Jizyah dan ‘Ushr di zaman sekarang, maka muncul pemikiran baru (Ijtihad) dari para ulama yang kemudian di sahkan oleh Ulil Amri sebagai sumber pendapatan baru. Pada masa pemerintahan Rasulullah SAW dan Shahabat, Pajak (Dharibah) belum ada, karena dari pendapatan Ghanimah dan Fay’i sudah cukup untuk membiayai berbagai pengeluaran umum negara.
Sungguhpun penerimaan Zakat meningkat karena makin bertambahnya jumlah kaum Muslim, namun Zakat tidak boleh digunakan untuk kepentingan umum seperti menggaji tentara, membuat jalan raya, membangun masjid, apalagi untuk non Muslim sebagaimana perintah Allah SWT pada QS.[9]:60. Jika SDA tidak diolah, maka negara-negara Muslim tetap saja menjadi negara miskin. Jika terjadi kondisi kas negara (Baitul Mal) kekurangan atau kosong (karena tidak ada Ghanimah dan Fay’i atau Zakat), maka seorang Imam (khalifah) tetap wajib mengadakan tiga kebutuhan pokok rakyatnya yaitu keamanan, kesehatan dan pendidikan. Jika terjadi kondisi Baitul Mal kekurangan atau kosong (karena tidak ada Ghanimah dan Fay’i atau Zakat), maka seorang Imam (khalifah) tetap wajib mengadakan tiga kebutuhan pokok rakyatnya yaitu Keamanan, Kesehatan dan Pendidikan, sebagaimana hadits Rasulullah Saw.
Dalam Al-Qur’an yang terdiri dari 30 Juz, 114 surat, 74.499 kata, 325.345 suku kata dan 604 halaman memang tidak ditemukan satu pun kata “pajak” karena “pajak” bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan berasal bahasa Jawa yaitu “ajeg” yang artinya pungutan tertentu pada waktu tertentu. At-Taubah [9]:29:قَٰتِلُواْ ٱلَّذِينَ لَا يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَلَا بِٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ ٱلۡحَقِّ مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ حَتَّىٰ يُعۡطُواْ ٱلۡجِزۡيَةَ عَن يَدٖ وَهُمۡ صَٰغِرُونَ ٢٩ , artinya,”Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar Jizyah (Pajak) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk (QS.
Padanan kata yang paling tepat untuk pajak menurut Sistem Ekonomi Islam bukan Jizyah karena Jizyah artinya kehinaan, rendah atau berkurang. Dalam Al-Qur’an, kata dengan akar kata da-ra-ba terdapat di beberapa ayat, antara lain pada QS.
Ada juga ulama atau ekonom Muslim dalam berbagai literatur menyebut pajak dengan padanan kata/istilah Kharaj (pajak tanah) atau ‘Ushr (bea masuk) selain Jizyah (upeti), padahal sesungguhnya ketiganya berbeda dengan Dharibah. Untuk itu, biarkanlah pungutan sewa atas hasil tanah disebut dengan Kharaj, sedangkan istilah yang tepat untuk pajak yang objeknya harta/penghasilan adalah Dharibah. Shabibul Maks adalah petugas pajak yang dzalim, yang memungut pajak di pasar-pasar (di Kota Madinah waktu) yang tidak ada perintah dan contoh dari Nabi Muhammad SAW.
Petugas pajak yang yang memungut uang tidak didasari Undang-Undang seperti inilah yang dimaksud dengan “Shahibul maks” atau petugas pajak yang dzalim. Jika dikatakan petugas pajak masuk neraka, bagaimana halnya dengan nasib pemungut Jizyah (pajak kepala) yang tegas-tegas merupakan perintah Allah SWT dalam QS [9]:29, petugas pemungut Kharaj (sewa tanah) yang diangkat Khalifah, petugas pemungut ‘Ushr (bea masuk) untuk proteksi pedagang Muslim dari persaingan dengan pedagang dari luar Madinah.
Jumhur ulama Ahlul Sunnah wal Jama’ah dari empat madzhab, Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali, sepakat pajak tidak dapat serta merta di-qiyas-kan (dianalogikan) sebagai mukus. Jumhur sepakat bahwa pajak yang dipungut/dipotong oleh pemerintah guna mendanai dan memenuhi kebutuhan masyarakat luas dari mulai membangun jalan, sekolah, rumah sakit, dst, adalah bukan mukus.
memungut pajak dari Nabth (gandum dan minyak zaitun) sebesar ½ usyr (5%) agar mereka lebih banyak membawanya ke Madinah. Selanjutnya jumhur ulama Madzhab Hanbali, seperti Ibnu Taimiyah, membolehkan pengumpulan pajak yang mereka sebut dengan al-kalf as-sulthaniyah. Sementara ulama-ulama kontemporer seperti Rashid Ridha, Mahmud Syaltut, Abu Zahrah dan Yusuf Qardhawi berpendapat, pajak dihalalkan dalam Islam.
Sementara Abu Zahrah menuturkan, bahwa pajak tidak ada pada era Nabi saw, namun itu bukan karena pajak diharamkan dalam Islam, tapi karena pada masa itu solidaritas tolong menolong antar umat Islam dan semangat berinfak di luar zakat sangatlah tinggi. Tentu saja, sebagai warga dari provinsi dengan penganut ahlu sunnah waljamaah terbesar, terutama Mahzab Syafi’i, sudah selayaknya kita mengikuti pendapat jumhur ulama tersebut di atas.
Jawaban untuk tiga pertanyaan saudara akan kami himpun dalam satu ulasan karena ketiganya saling berkaitan. Sebelum menjawab pertanyaan saudara, perlu diketahui lebih dahulu pengertian tentang pajak dan bea cukai.
Pajak adalah suatu kebijakan pemerintah berupa penarikan sebagian harta dari benda atau aset yang dimiliki masyarakat untuk kebutuhan pembangunan negara. Namun demikian negara dapat dibenarkan mewajibkan rakyatnya yang sudah dianggap cukup syarat untuk membayar pajak. Hal ini karena kebutuhan negara tidak dapat tercukupi dengan mengandalkan pemasukan nonpajak.
Jadi apa yang dilakukan negara dengan mewajibkan pajak harus dipahami dan dibaca dalam konteks kondisi darurat, di mana kondisi darurat itu bisa membolehkan sesuatu yang dilarang sebagaimana ditegaskan dalam salah satu kaidah fiqih berikut ini:. Berangkat dari penjelasan di atas, maka bekerja pada kantor perpajakan dan bea cukai adalah diperbolehkan. Adapun hal yang tidak diperbolehkan adalah apabila orang yang bekerja melakukan penyimpangan dan melanggar aturan agama maupun negara, seperti menerima suap, melakukan pungutan liar, dan lain sebagainya.
Hal tersebut termasuk mukus sebagaimana pengertian yang diutarakan oleh Imam an-Nawawi dalam Syarah Muslim (juz 11 halaman 343 bab had zina, Darul Manar, 1998 M) yaitu, suatu tindakan berupa pemungutan sebagian harta dari manusia tanpa hak (secara zhalim). Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Ada sebuah pertanyaan menarik dari Charles Tilly, salah seorang yang dikenal sebagai teoritikus demokrasi terkemuka. Joseph A. Schumpeter – ekonom skolastik dari Austria – yang ternyata isi bukunya banyak mengadopsi pemikiran al-Ghazâli, suatu ketika pernah menyatakan: “Spirit sebuah bangsa, tingkat budaya, struktur sosial, dan sejarah perkembangan kebijakannya, seluruhnya adalah terekam pada sejarah perpajakan yang dimilikinya. Bahkan sempat ada tulisan yang merekam hasil ceramah seorang ustadz dan mengharamkan pajak serta disampaikan di hadapan petugas perpajakan. “Dari Abu Khair radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: ‘Maslamah bin Makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkankan tugas penarikan al-usyur kepada Ruwafi bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu , maka ia berkata: ‘Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda sesungguhnya para penarik al-maksi (diazab) di neraka”(HR Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930). مهلا ياخالد فوالذي نفسي بيده لقد تابت توبة لو تابها صاحب مكس لغفر له ثم أمر بها فصلى عليها ودفنت. المكس هو جباية وضريبة كانت موضوعة على السلع في الجاهلية وكانت من التسلط الظالم وأخذ أموال الناس بغير حق.
والذي جرى العرف في بلادنا أنهم يطلقون المكس على ما يأخذه مكتري السوق ممن ينتصبون لبيع منتوجتهم لكن لما كان هذا المال الذي يدفعه العارض لاينتفع به شخص معين وإنما هو مال يصرف في المصالح العامة إسهاما من العارضين في ميزينية البلدنية أو الدولة ولما كانت البلدية أو الدولة ميزانها مضبوطا صرفا وقبضا ومراقبا من مؤسسات قائمة على حسن التصرف فإنه بذلك يكون المال المأخوذ جاريا مجرى الضرائب التي تدفع من الأفراد إلى الدولة لتقوم بمصالحهم وهي بذلك جائزة لاحرمة فيها. Jika ada legal formal menurut negara dengan ditetapkan besarannya, serta diawasi penyalurannya, maka al-maksu seperti ini tidak disebut sebagai pungutan liar.
Artinya: “ Al-Maksu adalah pungutan yang diambil oleh pemungut liar.” (Lihat Muhammad ibn Ali al-Bakri al-Syâfi’i, Futûhâtu al-Rabbâniyah ala al-Adzkâri al-Nawâwiyah, juz 7, Beirut: Dâr al-Kutub Al-Ilmiyah, tt. Sampai di sini jelas sudah bahwa yang dinamakan al-maksu menurut terma dasarnya adalah bermakna pungutan liar.
Dikutip dari buku Harta Haram Muamalat Kontemporer karya Erwandi Tarmizi, pajak jenis ini telah dihapuskan islam. Sementara itu, di antara ulama yang mengharamkan negara menarik pajak adalah Al Mawardi dan Abu Ya'la. Bahkan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan genting, saat akan perang tidak pernah menarik pajak. Beliau lebih memilih cara berhutang kepada sahabat yang kaya, dan menarik zakat sebelum jatuh tempo, serta menganjurkan untuk bersedekah jika tidak memiliki kemampuan menghadang musuh.
Andai hal ini dibuka, maka menjadi kesempatan bagi penguasa yang zalim untuk mengambil harta umat islam. - Pajak tidak pernah diterapkan para sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang menjadi penguasa atau khalifah di masa-masa keemasan Islam, maka menarik pajak adalah suatu kebijakan yang tidak dicontohkan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Adapun pajak yang ditarik berdasarkan kebutuhan pokok sebuah negara bukanlah suatu kezaliman. Sementara jika tidak ada harapan untuk menutup hutang, tentu menarik pajak dengan ketentuan syari merupakan satu-satunya jalan. Di samping itu, dalil bahwa sadd zariah bisa diatasi dengan membuat ketentuan untuk penarikan pajak yang dibolehkan. Ibnu Abidin berkata, "Pemerintah boleh menarik pajak jika ada maslahat untuk warganya".
Dengan kata lain penerapan pajak bersifat sementara dan bukan menjadi pemasukan tetap sebuah negara.
Apakah anda tahu bahwa di Negara-negara Islam (Arab), disana tidak ada pajak dan semua pembiayaan negara dari sumber daya alam mereka. Masalahnya adalah dikemauan saja, makanya, mari kita sebarkan hal ini ke mereka yang memimpin negeri, dimana untuk membiayai penyelenggaraan Negara agar menggunakan cara Islami.