Jelaskan Jenis Praktik Riba Yang Biasa Terjadi Pada Zaman Jahiliyah. Baik jual beli bahan makanan pokok, seperti beras, jagung, ketela pohon, maupun barang konsumsi tambahan/pelengkap, seperti buah-buahan, susu, daging ikan dan lain sebagainya, bahkan air dan krupuk, hukum riba dapat berlaku kepadanya. Mengapa hanya dua emas dan perak serta bahan makanan yang masuk kategori barang ribawi?
Tidak lain adalah disebabkan karena keberadaan emas dan perak saat itu menjadi alat transaksi untuk semua barang. Seandainya suatu saat ada alat transaksi lain yang menggantikan peran uang emas dan perak, atau mata uang, misalnya dalam bentuk mata uang virtual, bitcoin atau sejenisnya, maka ia juga bisa digolongkan sebagai transaksi barang ribawi karena peran yang dimilikinya sebagai alat tukar dan alat ukur nilai barang. Dan sebagai alat transaksi barang ribawi, maka ia bisa terkenal pasal riba apabila tidak memperhatikan berbagai pedoman yang sudah diatur oleh syara’. Pertama , riba al-fadl , yaitu: transaksi jual beli harta ribawi (emas, perak dan bahan makanan) yang disertai dengan sesama jenisnya, dan disertai adanya melebihkan di salah satu barang yang dipertukarkan. Karena kondisi inilah, maka diperlukan syarat mutlak “penetapan harga” yang disepakati oleh kedua belah pihak apabila terjadi transaksi barang ribawi. Standart ini dibangun, karena kebetulan harga beras saat itu adalah 10 ribu rupiah per kilogram.
Muncul pertanyaan, bagaimana caranya akad transaksi tukar-menukar barang seperti di atas agar hukumnya tetap boleh? Dalam kondisi sudah ada ketetapan harga sebagaimana dimaksud di atas, maka boleh dilakukan penundaan penyerahan barang salah satu yang hendak dipertukarkan oleh masing-masing pihak disebabkan ada nilai uang yang menjembatani di antara keduanya. Lemahnya pendapat ini, kadang disebabkan timbul rasa tidak enak di dalam hati kedua orang yang berakad.
Misalnya, timbul pemikiran dari Pak Ahmad: “1 bulan yang lalu, harga beras masih 10 ribu rupiah. Itulah sebabnya, agar muncul kehati-hatian, maka ditetapkan dalam teks fiqih bahwa riba al yad, merupakan riba jual beli barang ribawi, akibat “pertukaran” barang sejenis atau tidak sejenis, namun salah satu dari kedua belah pihak ada yang melakukan penundaan penyerahan barang.” Frasa “pertukaran” ini merupakan batas fiqih yang harus dipatuhi.
Riba menjadi hal yang lumrah pada masa jahiliyah. Daerah yang berada di sebelah tenggara Makkah, Thaif, saat itu adalah pusat perdagangan antarsuku. Mengutip 'Tafsir fii Dhilal Alquran', Luthfi menyampaikan, ada dua macam praktik riba saat itu. Jadi, jika seseorang berutang kepada orang lain, sampai datang waktu melunasinya, maka si pemberi utang itu akan bertanya begini: "Apakah kau akan membayar utangmu atau memberikan tambahan uang (karena tidak bisa membayar pokok utang)?".
Secara bahasa Riba artinya, penambahan. Di dalam Islam pelarangan riba dilakukan secara bertahap, sama seperti ketika pemberlakukan haram atas khamr.
Macam-macam riba secara umum ada tiga jenis yaitu riba fadhl, riba nasi'ah dan riba al-yadh. Riba nasi'ah. Riba al-yadh. Di dalam al-qur'an, riba hukumnya haram.
Ahmad Sarwat, Lc., MA dalam buku 'Kiat-kiat Syar'i Hindari Riba' menuliskan pelaku riba akan diperangi Allah SWT di dalam al-qur'an. Bahkan menjadi satu-satunya pelaku dosa yang dimaklumatkan perang di dalam al-qur'an adalah mereka yang menjalankan riba. Riba disebut menjadi salah satu dari tujuh dosa besar yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW.
Allah SWT telah memberikan perumpamaan kepada orang-orang semacam ini dengan perumpamaan yang mengerikan. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba) , maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.".