Dalil Tentang Riba Terdapat Dalam Surat. Allah SWT telah menghalalkan praktek jual beli yang sesuai dengan ketentuan dan syari’atNya. Apabila berlainan jenis, maka juallah sesuka kalian namun harus langsung diserahterimakan/secara kontan” (HR. Namun disisi lain, Rasullullah SAW juga bersabda “Sesungguhnya para pedagang itu adalah kaum yang fajir (suka berbuat maksiat), para sahabat heran dan bertanya, “Bukankah Allah telah menghalalkan praktek jual beli, wahai Rasulullah?”.
Maka beliau menjawab, “Benar, namun para pedagang itu tatkala menjajakan barang dagangannya, mereka bercerita tentang dagangannya kemudian berdusta, mereka bersumpah palsu dan melakukan perbuatan-perbuatan keji.” (Musnad Imam Ahmad 31/110, dinukil dari Maktabah Asy Syamilah. Oleh karena itu seseorang muslim yang melaksanakan transaksi jual beli, sebaiknya mengetahui syarat-syarat praktek jual beli berdasarkan ketentuan Al Qur’an dan Hadits, agar dapat melaksanakannya sesuai dengan syari’at sehingga tidak terjerumus kedalam tindakan-tindakan yang dilarang dan diharamkan. Salah satu contoh transaksi jual beli yang jujur adalah dengan cara penjual menyempurnakan takaran. Penjual akan memberitahukan kepada pembeli apabila terdapat cacat pada barang yang dia jual. Transaksi jual beli yang dilakukan haruslah barang atau jasa yang halal dan atau tidak di larang oleh syariat Islam, seperti jual beli narkoba, dan minuman keras. Rasullullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah jika mengharamkan atas suatu kaum memakan sesuatu, maka diharamkan pula hasil penjualannya” (HR Abu Daud dan Ahmad).
Apabila berlainan jenis, maka juallah sesuka kalian namun harus langsung diserahterimakan/secara kontan” (HR. Transaksi jual beli yang dilakukan, hendaklah tidak melupakan kewajiban manusia untuk menjalankan ibadah kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam Surat Al Jumuah ayat 9-10 yang artinya” “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Karena hal ini juga berarti ikut serta melakukan dan menyebarluaskan keharaman di muka bumi. Rasullullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah jika mengharamkan atas suatukaum memakan sesuatu, maka diharamkan pula hasil penjualannya” (HR Abu Daud dan Ahmad). Dalam hadits tersebut dapat kita ketahui bahwa Islam melarang transaksi jual beli harta riba.
Sehingga ada salah satu pihak (pembeli) yang dirugikan dalam transaksi jual beli ini.
Ada beberapa ayat dalam Alquran yang menerangkan tentang riba. Berikut ayat dalam Al Quran yang menyebutkan tentang riba seperti dikutip dari islam.nu.or.id:.
Allah berfirman:وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ ۖ وَمَاآتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَArtinya: "Dan, sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Artinya: "Maka disebabkan kedhaliman orang Yahudi, maka kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka. Dan Kami telah menjadikan untuk orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.". Dan jika terdapat orang yang kesulitan, maka tundalah sampai datang kemudahan.
Allah SWT mengharamkan secara tegar praktik riba. يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَذَرُوۡا مَا بَقِىَ مِنَ الرِّبٰٓوا اِنۡ كُنۡتُمۡ مُّؤۡمِنِيۡنَ "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang beIum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman" (Al Baqarah 278). Allah SWT mengancam akan memerangi orang-orang yang tidak menuruti perintah-Nya untuk meninggalkan riba.
Atas ayat ini, Imam Al Qurthubi menjelaskan, ketika Imam Malik ditanya seseorang yang mengatakan, "Istri saya tertalak jika ada yang masuk ke dalam rongga anak Adam lebih buruk daripada khamr.".
Riba memiliki tiga istilah yaitu bertambah, berkembang, dan berlebihan. Secara umum, Riba adalah mengambil kelebihan di atas modal dari yang membutuhkan dengan mengeksploitasi kebutuhannya.
Riba yang pertama ini ialah seseorang menghutangi uang dalam jumlah tertentu kepada seseorang dengan batas tertentu, dengan syarat berbunga sebagai imbalan batas waktu yang diberikan tersebut. Jual beli ini juga disebut sebagai barter tanpa adanya imbalan untuk tambahan tersebut. Penukaran tersebut terjadi tanpa adanya kelebihan, namun salah satu pihak yang terlibat meninggalkan akad, sebelum terjadi penyerahan barang atau harga.
Ilustrasi: Salah satu dari macam-macam riba adalah pengadaan selisih dalam jual beli sebelum penyerahan barang (Foto: CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi) Ilustrasi: Salah satu dari macam-macam riba adalah pengadaan selisih dalam jual beli sebelum penyerahan barang (Foto: CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi). Ribah ini adalah Riba dalam utang piutang yaitu dengan mengambil manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang diisyaratkan kepada penerima utang atau muqtaridh. Yaa ayyuhallaziina aamanuttaqullaaha wa zaru maa baqiya minar ribaa ing kuntum mu'miniin. Ada banyak dampak buruk jika riba terus dilakukan, misalnya saja membuat orang menjadi tamak dan serakah terhadap harta.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.". "Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah.
Ahmad Sarwat, Lc., MA dalam 'Kiat-kiat Syar'i Hindari Riba' menyebutkan Riba juga termasuk dalam satu dari tujuh dosa besar. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al Quran surat Ali Imron ayat 130:.
Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Jauhilah oleh kalian tujuh hal yang mencelakakan". Disebutkan bahwa tidak ada dosa yang lebih sadis diperingatkan Allah SWT dalam Al-qur'an, kecuali dosa memakan harta riba.
Beliau menjawab bahwa Rasulullah SAW melarang untuk menerima uang dari transaksi darah, anjing dan kasab budak perempuan. Beliau juga melaknat penato dan yang minta ditato, menerima dan memberi riba serta melaknat pembuat gambar.".
Padahal kemunculan asuransi syariah adalah sebuah jawaban atas keinginan demi memberikan kemaslahatan bagi ummat Islam khususnya, akan tetapi terhadap asumsi tersebut bisa jadi berdasarkan atas pengalaman pribadi seseorang tersebut yang ikut berkecimpung di dalamnya atau mungkin justru karena ketidaktahuan atas asuransi syariah itu yang serta merta menjustifikasi negatif keberadaan asuransi syariah dengan menyamakan dengan asuransi konvensional tanpa adanya pengetahuan dan dasar yang kuat. Meskipun dalam perjalannya keberadaan Asuransi Syariah masih menjadi sebuah perdebatan di kalangan ulama sendiri, ada yang membolehkan dan ada yang mengharamkan, dikarenakan cara pandang terhadap asuransi syariah itu sendiri.
Oleh karena itu penyusun akan mengurai pengertian asuransi baik yang konvensional maupun syariah. [15] Kata takaful dalam pengertian muamalah ialah saling memikul resiko di antara sesama orang sehingga antara satu orang dengan yang lainnya menjadi penanggung atas resiko yang lainnya.
[16] Di Indonesia asuransi syariah belum mempunyai payung hukum, sehingga masih berpayung pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992. [18] Pengertian lebih spesifik terdapat dalam Fatwa DSN Nomor 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah disebutkan bahwa yang dimaksud dengan asuransi syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang syariah adalah akad yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan) risywah (suap), barang haram dan maksiat. [20] Menurut Muhammad Syakir Sula dalam bukunya, disebutkan bahwa sistem aqilah menurut Thomas Patrick dalam bukunya Dictionary of Islam, merupakan suatu kegiatan yang sudah menjadi kebiasaan suku Arab sejak zaman dulu bahwa jika ada salah satu anggota suku yang terbunuh oleh anggota dari suku lain, pewaris korban akan dibayar sejumlah uang darah (diyat) sebagai kompensasi oleh saudara terdekat dari pembunuh saudara terdekat pembunuh tersebut yang disebut aqilah, harus membayar uang darah atas nama pembunuh.
Hal ini dikarenakan dalam operasional asuransi konvensional mengadung unsur gharar,[23] maysir[24] dan riba. [25] Pendapat ini disepakati oleh banyak ulama terkenal seperti yusuf Qaradhawi (Guru besar Universitas Qatar), Sayyid Sabiq, Abdullah al Qalqili, Muhammad Bakhil al Muthi’ie (Mufti Mesir 1854-1935), Abdul Wahab Khalaf, dll., namun demikian karena alasan kemaslahatan atau kepentingan umum sebagian yang lain dari mereka membolehkan beroperasinya asuransi konvensional.
[26] Di Malaysia pernyataan bahwa asuransi konvensional hukumnya haram diumumkan pada tanggal 15 Juni 1972. Hal tersebut disampaikan oleh Jawataan Kuasa Fatwa Malaysia, begitu juga dengan Jawatan Fatwa Kecil Malaysia dalam kertas kerjanya yang menyatakan bahwa asuransi masa kini cara pengelolaan barat dan sebagian operasinya tidak sesuai dengan operasi Islam.
Berdasarkan hasil analisa terhadap hukum atau syariat Isalam ternyata di dalam ajaran Islam memuat substansi perasuransian. [32] Langkah awal yang dilakukan TEPATI dalam membentuk asuransi yang berdasarkan syariah adalah melakukan studi banding ke syariakat takaful malaysia sendirian berhad Kuala Lumur pada tanggal 7 sampai dengan 10 September 1993.
Hasil studi banding ini diseminarkan di Jakarta pada tanggal 19 Oktober 1993 yang merekomendasikan untuk segera dibentuk Asuransi Takaful Indonesia. Pendirian ini dilakukan secara resmi di Puri Agung Room Hotel Syahid, Jakarta.
Izin operasionalnya diperoleh dari Departemen Keuangan melalui surat Keputusan nomor Kep-385/KMK.017/1994 tanggal 4 Agustus 1994. Selain itu ada beberapa perusahaan asuransi konvensional yang membuka cabang syariah seperti MAA, Great Eastern, Tripakarta, beringin Life, Bumi Putra, Dharmala dan Jasindo. Yang artinya “barangsiapa yang melepaskan dari seseorang muslim suatu kesulitan di dunia, Allah SWT akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat dan Allah SWT senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya”.
Dalam hadits tersebut tersirat adanya anjuran untuk saling membantu antara sesama muslim di dunia ini dengan menghilangkan kesukaran hidup yang dideritanya. Daalam kaitan dengan asuransi hadits ini terlihat adanya anjuran agar melaksanakan pembayaran premi asuransi dalam bentuk pembayaran dana sosial (tabarru’) yang akan digunakan untuk membantu dan mempermudah urusan bagi orang/anggota yang mendapatkan musibah dan bencana.
Kemiripan ini didasarkan atas adanya prinsip saling menanggung (takaful) antar anggota suku guna meringankan penderitaan yang dideritanya sebagai akibat dari kematian tersebut. Fatwa tersebut dikeluarkan karena regulasi yang ada tidak dapat dijadikan pedoman untuk menjalankan kegiatan asuransi syariah. Prinsip ini menjadikan para anggota atau peserta asuransi sebagai sebuah keluarga besar yang satu dengan lainnya saling menjamin dan menanggung resiko. Hal ini disebabkan transaksi yang dibuat dalam asuransi takaful adalah akad takaful (saling menanggung) bukan akad tabaduli (saling menukar) yang selama ini digunakan oleh asuransi konvensional, yaitu pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan. [43] Para pakar ekonomi Islam mengemukakan bahwa asuransi syariah atau asuransi takaful ditegakkan atas tiga prinsip utama:[44] Saling bertanggung jawab Yang berarti para peserta asuransi takaful memiliki rasa tanggung jawab bersama untuk membantu dan menolong peserta yang mengalami musibah atau kerugian dengan niat ikhlas, karena memikul tanggung jawab dengan niat ikhlas adalah ibadah. Rasa tanggung jawab ini tentu lahir dari sifat saling menyayangi, mencintai, saling membantu dan merasa mementingkan kebersamaan untuk mendapatkan kemakmuran bersama dalam mewujudkan masyarakat yang beriman, taqwa dan harmonis.
Dengan prinisp ini, maka asuransi takaful merealisir perintah Allah SWT dalam al-Quran dan Rasulullah SAW. dalam al-Sunnah tentang kewajiban untuk tidak memperhatikan kepentingan diri sendiri semata tetapi juga mesti mementingkan orang lain atau masyarakat. Al- Baqarah ayat 126 yang artinya “ketika Nabi Ibrahim berdoa ya Tuhanku jadikanlah negeri ini aman dan selamat”. Maksud hadits: “tidaklah sah iman seseorang itu kalau ia tidur nyenyak dengan perut kenyang sedangkan jirannya menatap kelaparan”.
Dengan begitu maka asuransi takaful (syariah) merealisir perintah Allah SWT dalam al-Quran dan Rasulullah SAW dala sunnah tentang kewajiban saling melindungi di antara sesama warga masyarakat. Terdapat beberapa solusi untuk mensiasati agar bentuk usaha asuransi terhindar dari unsur gharar, maisir dan riba.
Dalam konsep syraiah keadaan ini akan lain karena akad yang digunakan adalah akad takafuli atau tolong- menolong dan saling menjamin di mana semua peserta asuransi menjadi penolong dan penjamin satu sama lainnya. Sumber dana pembayaran kalim dan keabsahan syar’i penerima uang klim itu sendiri. Dalam konsep takaful, setiap pembayaraan premi sejak awal akan dibagi dua, masuk ke rekening pemegang polis dan satu lagi dimasukkan ke rekening khusus peserta yang harus diniatkan tabarru’ atau derma untuk membantu saudaranya yang lain.
Dalam konsep takaful, apabila peserta tidak mengalami kecelakaan atau musibah selama menjadi peserta, maka ia tetap berhak mendapatkan premi yang disetor kecuali dana yang dimasukkan ke dalam dana tabarru’. Unsur riba tercermin dalam cara perusahaan asuransi kpnvensional melakukan usaha dan investasi di mana meminjamkan dana premi yang terkumpul atas dasar bunga. Dalam konsep takaful dana premi yang terkumpul diinvestasikan dengan prinip bagi hasil, terutama mudharabah dan musyarakah.
Artinya bahwa dalam setiap gerak langkah serta bangunan hukum harus mencerminkan nilai-nilai ketuhanan. Sebagaimana firman Allha dalam QS al-Hadid (57) ayat 4 yang artuinya berbunyi “... dan Dia selalu bersamamu dimana pun kamu berada”. Dalam struktur organisasinya DPS berperan mengawasi kinerja asuransi syariah agar tidak melakukan hal yang bertentangan dengan fatwa MUI. Tugas DPS dalam asuransi syariah adalah sesuai dengan (Keputusan Dewan Pimpinan MUI tentang susunan pengurus DSN-MUI, No: Kep-98/MUI/III/2001), yaitu: Melakukan pengawasan secara periodik pada lembaga keuangan syariah yang berada di bawah pengawasannya. Melaporkan perkembangan produk dan operasional lembaga keuangan syariah yang diawasinya kepada DSN sekurang-kurangnya dua kali dalamsatu tahun anggaran. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen, prosuk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam.
Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tabaduli (jual beli antara nasabah dengan perusahaan). Sedangkan asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaanlah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut.
Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan. Dari rekening dana perusahaan Keuntungan (profit) Dibagi antara perusahaan dengan peserta dengan prinsip bagi hasil Seluruhnya menjadi miliknya perusahaan Sedangkan menurut Sun Life Financial (SLF), bahwa perbedaan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional terletak pada subjek 1) resiko, 2) kontrak, 3) tujuan bisnis, 4) operasional bisnis, 5) aturan investasi, 6) pembayaran kontribusi, 7) kepemilikan dana, 8) underwriting, 9) pengawasan, dan 10) manfaat pada produk asuransi.Sedangkan perbedaan secara lengkap bisa dilihat pada tabel berikut:[50] Dari beberapa pendapat di atas terdapat beberapa perbedaan mendasar antara asuransi syariah dengan asuransi konvensional sebagai berikut: Asuransi syari’ah memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) dari MUI yang bertugas mengawasi produk yang dipasarkan dan pengelolaan investasi dananya. Pada asuransi konvensional, dana yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan.
Keadaan ini kadang kala menurunkan motivasi pengelola dan pegawai asuransi syariah untuk tetap mempertahankan idealismenya. Asuransi bukanlah bank yang banyak berpeluag untuk bisa berhubungan dengan masyarakat dalam hal pendanaan atau pembiayaan.
Artinya dengan produknya, bank lebih banyak berpeluang untuk bisa selalu berhubungan dalam masyarakat. Oleh karenanya diperlukan langkah-langkah sosialisasi baik utnuk mendapatkan perhatian masyarakat maupun sebagai upaya mencari masukan demi perbaikan sistem yang ada.
Berkaitan dengan point tersebut, sumber daya manusia dalam bidang asuransi syariah masih sangat rendah. Masih banyak masuarakat yang belum mengerti apa tu asuransiyariah baik dari nama maupun operasionalnya.
Sebagai lembaga keuangan yang menggunakan sistem syariah tentunya aspek syiar Islam merupakan bagian dari operasi asuransi tersebut. Syiar Islam tidak hanya dalam bentuk normatif kajian kitab misalnya, tetapi juuga hubungan antara perusahaan asuransi dengan masyarakat.
Dukungan dari berbagai pihak terutama pemerintah, ulama, akademisi dan masyarakat diperlukan untuk memberikan masukan dalam penyelenggaraan operasional asuransi syariah. Perlunya upaya sosialisasi yang lebih baik dan serius kepada masyarakat, sehingga mereka benar-benar mengenal apa itu asuransi syariah. Untuk mengantisipasi hal tersebut maka segera diperlukan payung hukum yang kuat terhadap eksistensi asuransi syariah di Indonesia. [53] Kesimpulan Dengan pembahasan yang telah uraian di atas, maka penyusun dapat memberikan kesimpulan dari pembahasan makalah ini sebagai berikut: Pengertian Asuransi Syariah secara lebih spesifik terdapat dalam Fatwa DSN Nomor 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah disebutkan bahwa yang dimaksud dengan asuransi syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang syariah adalah akad yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan) risywah (suap), barang haram dan maksiat.
Hasan, Asuransi Dalam Prespektif Hukum Islam Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teoritis Dan Praktis, Jakarta: Kencana, 2004. Barakatullah, Abdul Halim, Hukum Lembaga Ekonomi Islam di Indonesia, Bandung: Penerbit Nusa Media, 2011.
(editor), Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 2, 3 dan 5, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996. Dewi, Gemala, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasurasian Syariah Di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Goup, 2007. Manan, Abdul, Hukum Ekonomi Syariah Dalam Prespektif Kewenangan Peradilan Agama, cet 2, Jakarta: Kencana Prenada Group, 2014. Noor, Zainul Bahar, Bank Muamalat: Sebuah Mimpi, Harapan Dan Kenyataan, Jakarta: Bening Publishing, 2006. Sula, Muhammad Syakir, Asuransi Syariah (life and General) Konsep dan Sistem Operasional, Jakarta: Gema Insani, 2004. [2] Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah Dalam Prespektif Kewenangan Peradilan Agama, cet 2, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2014), h. 237., lihat juga Abdul Halim Barakatullah, Hukum Lembaga Ekonomi Islam di Indonesia, (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2011), h. 62.
[3] Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta: Gema Insani, 2004), h. 26. [14] Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasurasian Syariah Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Goup, 2007), h. 136.
Kondisi objek akad tidak dapat dijamin kesesuaiannya dengan yang ditentukan dalam transaksi, 10. Menurut ulama fiqh riba adalah kelebihan harta dalam suatu muamalah dengan tidak adanya imblan/ganti rugi.
Riba fadl adalah riba yang berlaku dalam jual beli yanhg didefinisikan ulama fiqh dengan kelebihan pada salah satu harta sejenis yang diperjual belikan degan ukuran syarak (timbangan atau takaran tertentu). Sebenarnya kelahiran BMI diprakarsai MUI pada tahun 1990 dengan menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, kemudian Munas IV MUI yang berlangsung di Hotel Syahid Raya Jakarta, sehingga dicapailah kesimpulan untuk membentuk Bank Muamalat Indonesia.
Untuk lebih lengkapnya lihat dalam buku karya Zainul Bahar Noor, Bank Muamalat: Sebuah Mimpi, Harapan Dan Kenyataan, (Jakarta: Bening Publishing, 2006).
Dikutip dari buku Harta Haram Muamalat Kontemporer karya Erwandi Tarmizi, berikut ini sejumlah dalil haramnya riba:. Atas ayat ini, Imam Al Qurthubi menjelaskan, ketika Imam Malik ditanya seseorang yang mengatakan, "Istri saya tertalak jika ada yang masuk ke dalam rongga anak Adam lebih buruk daripada khamr.".
Setelah beberapa hari orang itu datang kembali dan imam Malik berkata, "Istrimu tertalak. Aku telah mencari dalam seluruh ayat Alquran dan hadits Nabi tidak aku temukan yang paling buruk yang masuk ke rongga anak Adam selain riba, karena Allah memberikan sanksi pelakunya dengan berperang melawanNya.".
Dan Allah berjanji akan memasukkan pelaku riba ke dalam neraka kekal selamanya. Orang-orang yang telah sampai kepadanya Iarangan dari Tuhannya, laIu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang Iarangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah.