Syarat Sah Puasa Dan Contohnya. Puasa non-muslim tidak sah. Tidak wajib puasa bagi anak kecil (belum baligh), orang gila (tidak berakal) dan orang mabuk, karena mereka tidak termasuk orang mukallaf (orang yang sudah masuk dalam konstitusi hukum), sebagaimana dalam hadist:. Tidak dalam keadaan haid atau nifas. Oleh sebab itu, jika perempuan yang sedang haid atau nifas, maka puasanya tidak sah. Namun, dalam ajaran Islam, perempuan yang mengalami haid dan nifas untuk mengganti puasanya di lain hari selain di bulan Ramadan. Dari Mu’adzah dia berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata, ‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah?
Orang yang bermukim atau tidak sedang melakukan perjalanan (musafir) tidak diwajibkan berpuasa. Syarat sah puasa. Masih dalam buku yang sama, Ahmad Sarwat menyatakan, yang dimaksud syarat sah adalah syarat yang harus dipenuhi agar puasa yang dilakukan seseorang menjadi sah hukumnya di hadapan Allah Subhanahu Wa'tala. Suci dari haid dan nifas.
Waktu yang boleh untuk diisi dengan puasa (puasa tidak sah pada hari Raya Ied). Suci dari haid dan nifas pada keseluruhan siang.
Suci dari haid dan nifas. Syarat sah di atas adalah dalam perspektif fiqih.
Para ulama selain Asy-Syafi'iyah, seperti Al- Hanafiah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah meletakkan niat sebagai syarat puasa. Para ulama memandang bahwa keislaman seseorang bukan hanya menjadi syarat wajib untuk berpuasa, tetapi juga sekaligus menjadi syarat sah untuk berpuasa.
Dalil untuk tidak berpuasanya seorang wanita yang sedang haidh adalah hadits Aisyah ra berikut ini:. Bila melakukan puasa pada hari-hari yang dilarang, maka puasanya tidak sah atau haram dilakukan. Adapun hari-hari yang terlarang untuk melakukan puasa antara lain adalah Hari Raya Idul Fithri dan Idul Adha, hari Tasyrik yaitu tanggal 11,12, dan 13 bulan Dzulhijjah.
Berikut ini Popmama.com akan sebutkan syarat sah puasa di bulan Ramadan. Jika kamu adalah non-muslim, lalu menjalankan puasa maka hukumnya tidak sah. Baligh pixabay.com/nastya_gepp Syarat sah puasa yang kedua puasa yakni baligh atau sudah dewasa. Namun jika tanda ini belum juga muncul pada seseorang, maka batas baligh yakni di usia 15 tahun.
Baca juga: Hukum Mengeluarkan Air Mani di Malam Hari pada Bulan Puasa.
Mulai dari fajar hingga adzan magrib tiba, umat muslim juga diwajibkan untuk menahan hawa nafsu. Sebagaimana yang kita ketahui, menjalankan ibadah puasa dengan baik dan benar akan meningkatkan ketaqwaan bagi umat muslim.
"Menahan diri dari makan, minum, jima' (bercampur dengan istri) dan lain-lain yang telah diperintahkan kepada kita untuk menahannya, sepanjang hari menurut cara yang disyariatkan. Selain Pengertian Puasa Ramadan di atas, ada beberapa hal penting yang perlu kamu ketahui juga, seperti syarat wajib, rukun dan sunah, hal yang makruh, serta hikmah yang diperoleh.
Seruan wajib untuk berpuasa bagi umat Islam adalah menjalankan ibadah puasa selama bulan Ramadhan. Syarat kedua yang menjadikan seorang wajib untuk menunaikan ibadah puasa wajib adalah usia baligh. Mereka yang belum sampai usia baligh seperti anak kecil tidak ada kewajiban untuk berpuasa Ramadhan.
Syarat ketiga dari syarat wajib puasa adalah berakal. Sudah menjadi ijma ulama bahwa orang gila adalah orang yang tidak berakal sehingga tidak diwajibkan untuk puasa. Orang yang sedang sakit tidak diwajibkan untuk berpuasa wajib.
Namun harus menggantinya di hari lain saat sudah sembuh kembali. Syarat wajib puasa selanjutnya adalah orang yang berpuasa harus dalam keadaan mampu untuk melaksanakannya.
Segala jenis ibadah puasa mulai dari yang wajib di bulan Ramadan, dan sunnah, harus melaksanakan semua syarat wajib puasa. Syarat wajib puasa Ramadan, mungkin agak sedikit berbeda dengan syarat wajib puasa sunnah.
Ketaatan pada kedua macam hukum itu, menurut para ahli usul fikih, merupakan wujud dari kesadaran beragama umat Islam. Para ahli usul fikih membagi hukum taklifi menjadi tiga kategori: perintah, larangan, dan pilihan, untuk menjalankan sesuatu atau meninggalkannya. Dari ketiga kategori itu, mereka kemudian membaginya lagi menjadi lima macam, yaitu wajib, haram, mandub (sunnah), mubah, dan makruh.
Menurut Imam Hanafi, hukum ini juga didasarkan pada dalil-dalil qath'i (pasti) yang tidak mengandung keraguan sedikit pun. Contoh perbuatan yang diharamkan sangat banyak, di antaranya memakan bangkai, membunuh tanpa sebab, berzina, dan mencuri. Sementara itu, mubah adalah suatu hukum di mana Allah memberikan kebebasan kepada orang-orang mukalaf untuk memilih antara mengerjakan atau tidak. Sementara itu, Thamrin Zarkasyi dalam Metodologi Hukum Islam menyebutkan, orang-orang yang terhalang (tidak dibebani hukum) karena kurang kecakapan ( Awaridl al-Ahliyyah ) adalah orang sakit, gila, kurang akal, lupa, tidur, pingsan, anak kecil, haid, nifas, dan dalam perjalanan.
Para ahli ilmu usul fikih sepakat bahwa sumber hukum syariat terdiri atas empat hal, yaitu Alquran, sunah, ijmak, dan qiyas . Alquran menempati posisi paling tinggi sebagai sumber hukum syariat karena diturunkan langsung oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dan masih terpelihara keasliannya. Menurut Hassan Hanafi dalam bukunya Islamologi , hal ini menghindarkan kemungkinan adanya kesepakatan dusta antarmereka. Dan, contoh dari sunah yang berupa ketetapan adalah sabda Nabi SAW, "Belajarlah dariku, manasik haji kalian.".
Menurut Imam Syafi'i, seperti dikutip oleh Abu Zahrah, Alquran dan sunah harus tidak dibedakan untuk kepentingan penentuan hukum syar'i. Hasan Hanafi mengungkapkan, ijma disahkan menjadi dasar hukum syariah karena juga termasuk wahyu Allah. Pendapat Hassan Hanafi itu menemukan relevansinya dengan hadis Nabi SAW, ''Umatku tidak akan bersepakat atas perbuatan yang sesat.''. Akan tetapi, karena qiyas ini hasil dari kerja akal, tidak semua ulama sepakat menjadikannya dasar hukum syariat. Karena, menurut mereka, penerapan qiyas berarti mengingkari kesempurnaan Alquran dan hadis yang sudah mencakup berbagai macam persoalan. Para ahli usul fikih menyebut kemaslahatan itu dengan istilah dharuriyah (primer) dan tahsiniyah (mewah).
Namun, ada pula ulama yang menempatkan haajiyat (kebutuhan sekunder) dalam urusan kemaslahatan ini setelah dharuriyah . Oleh sebagian pakar usul fikih, agama ditempatkan pada kepentingan paling utama yang mesti dijaga.
Sampai-sampai, untuk mempertahankan jiwa atau hidup itu, semua ulama sepakat bahwa seseorang diperbolehkan memakan binatang yang diharamkan oleh agama. Menurut sang hujjatul Islam, syariat menetapkan hukuman bagi pembuat bid'ah yang mengajak orang lain kepada bid'ahnya. Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya Ushul Fikih memberikan beberapa contoh tahsiniyah dengan cukup detail.
Menutup aurat, menurut Abu Zahrah, tidak hanya menghindarkan seorang Muslimah dari fitnah, tetapi juga mengangkat kehormatannya.