Puasa Ramadhan Di Zaman Penjajahan Belanda. Menurut dosen Sejarah IAIN Surakarta, Martina Safitry, ketika itu Belanda masih memiliki kontrol terhadap sistem pemerintah Indonesia. Pada masa sekarang, penentuan awal Ramadhan ditentukan dengan perhitungan hisab dan rukyat yang dipimpin Kementerian Agama.

Namun, pada masa penjajahan pihak yang menentukan awal Ramadhan adalah Perhimpoenan Penghoelo dan Pegawainya (PPDP) atau lebih dikenal Hoofdbestuur. Setelah momentum satu bulan dilaksanakan, tibalah saatnya pada hari yang begitu dinantikan, yaitu shalat Idul Fitri. Belanda masih membatasi ruang lingkup umat Islam, apalagi jika jemaah berkumpul dalam jumlah yang sangat besar. Pihak Kolonial takut terhadap gerakan yang bisa memobilisasi massa, karena acara di tempat terbuka rentan mengancam pemerintah saat itu. "Salat ied dilaksanakan di lapangan terbuka Koningsplein atau Stasiun Gambir, Jakarta Pusat (kala itu masih bernama Batavia)," kata Martina. Martina juga mengatakan, pada 1939 juga dilaksanakan shalat ied bersama di Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng) dengan imam Hadji Muhammad Isa yang saat itu menjabat Ketua Hooft voor Islamietische Zaken (Mahkaman Urusan Agama Islam) dan khatib Hadji Mochtar anggota Hooft voor Islamietishe Zaken.

Dentuman Meriam Bertalu-talu, Meriahnya Sambut Ramadhan di

Puasa Ramadhan Di Zaman Penjajahan Belanda. Dentuman Meriam Bertalu-talu, Meriahnya Sambut Ramadhan di

Di era kolonial Belanda, suara meriam dan petasan bertalu-talu menjadi pertanda menyambut Ramadhan. Meski, suasana Ramadhan di era sekarang dengan masa penjajahan, nyatanya tidaklah jauh berbeda.

Hanya saja, menurut Ridwan, bulan Ramadhan di zaman penjajahan sedikit lebih meriah. Saat ini, penentuan Isbat atau hari pertama Ramadhan dilakukan oleh Kementerian Agama (Kemenang) RI. Sedangkan pada masa penjajahan kolonial, hal itu dilakukan oleh Perhimpoenan Penghoelo dan Pegawainya (PPDP) atau yang lebih dikenal dengan Hoofbestur.

Meskipun berstatus sebagai penjajah, Kolonial Belanda nyatanya tidak mengekang atau pun melarang kegiatan keagamaan seperti bulan Ramadhan. Belanda pun nyatanya mendukung penuh bulan Ramadhan yang dilakukan oleh umat muslim di Indonesia pada waktu itu. Sejak dahulu kala, umat muslim di Indonesia tetap merayakannya dengan khusyuk dan penuh sukacita. Pada bulan suci ini, seluruh umat muslim memasuki masa di mana mereka harus berpuasa menahan segala hawa nafsu dan kenikmatan duniawi.

Libur Puasa Anak Sekolah Zaman Belanda

Puasa Ramadhan Di Zaman Penjajahan Belanda. Libur Puasa Anak Sekolah Zaman Belanda

Libur puasa anak sekolah bermula ketika sistem pendidikan modern masuk ke Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Pemerintah kolonial menimbang perlu memberi orang-orang tempatan pendidikan demi menciptakan tenaga-tenaga terampil di lapangan kesehatan, birokrasi, pertukangan, pertanian, dan teknik.

“HIS zaman Belanda dulu libur pada bulan puasa,” kata Aziz Halim, tamatan HIS, dalam Pelita, 2 Mei 1979. “Sekarang boleh pulang, sampai ketemu habis lebaran,” kata Menir van Dalen seperti dikutip Mahbub Djunaidi, cendekiawan kelahiran tanah Betawi, dalam Asal Usul: Catatan-Catatan Pilihan, mengenang ucapan gurunya menjelang bulan puasa pada 1930-an.

Kebijakan libur sekolah pada bulan puasa beralas dari cara pandang pemerintah kolonial terhadap Islam dalam bidang pendidikan. Sepanjang menyangkut urusan peribadatan seperti puasa, lebih baik kasih kesempatan luas bagi anak-anak sekolah yang beragama Islam untuk menjalankannya.

“Jika saat berbuka tiba, mereka nyaris menelan seluruh isi bumi,” begitu cerita Mahbub Djunaidi tentang keriangan anak-anak pada zamannya kecil dulu selama bulan puasa. Ibnu Sura Maesti, mantan redaktur majalah Muhammadiyah pada zaman pergerakan nasional, juga punya kisah mirip dengan Deliar Noer.

Kelak kebijakan libur sekolah lebih dari sebulan ini kena gugat Daoed Joesoef, menteri Pendidikan dan Kebudayaan, pada 1978.

Bagaimana Idul Fitri Dirayakan pada Masa Kolonial?

Puasa Ramadhan Di Zaman Penjajahan Belanda. Bagaimana Idul Fitri Dirayakan pada Masa Kolonial?

Sekalipun sedang dijajah Belanda, Idul Fitri tetap disambut meriah masyarakat di tanah Minang. Tua, muda, hingga anak-anak semua berkumpul di sekitar. surau.

yang menjadi tempat masyarakat belajar agama.

Perselisihan dan Perbedaan Awal Puasa Masa Kolonial

Puasa Ramadhan Di Zaman Penjajahan Belanda. Perselisihan dan Perbedaan Awal Puasa Masa Kolonial

de Graaf dalam Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa mencatat, kala itu ulama Kesultanan Demak bermusyawarah menjelang bulan puasa. Orang Aceh menggunakan metode hisab lantaran memiliki tradisi merayakan pesta-pesta rakyat tertentu di ibu kota 2-3 hari sebelum puasa. “Hal ini menimbulkan kebutuhan untuk mendapat kepastian yang cukup lama sebelum waktunya tiba, baik mengenai awal maupun akhir puasa,” tulis Snouck.

“Sang Teungku menegaskan bahwa dia telah melihat bulan baru; oleh sebab itu puasa harus dimulai besoknya. Sebenarnya perbedaan dalam menentukan awal bulan puasa tak hanya berasal dari penganut metode rukyat dan hisab. Beda waktu awal puasa antarsesama penganut rukyat itu berasal dari perbedaan garis lintang, tebal tipisnya udara, dan sebagainya.

Meski sering terjadi perbedaan dan perselisihan penetapan awal puasa, Snouck menilai hal itu bukan sesuatu yang mengundang perpecahan di kalangan umat Islam Hindia Belanda.

Beginilah Suasana Bulan Puasa di Era Kolonial Belanda

Puasa Ramadhan Di Zaman Penjajahan Belanda. Beginilah Suasana Bulan Puasa di Era Kolonial Belanda

Warga tengah mengambil ikan di kolam pada akhir bulan ramadan menjelang lebaran. TRIBUNJOGJA.com - Dosen Sejarah IAIN Surakarta, Martina Safitry, menggambarkan bagaimana suasana bulan puasa saat era kolonial Belanda di Indonesia. Menurut dia, meskipun Belanda saat itu masih memiliki kontrol terhadap sistem pemerintah Indonesia, akan tetapi umat Muslim di Indonesia masih diberikan keleluasaan dalam menjalankan ibadahnya sesuai dengan keyakinan. Sama seperti masa sekarang, perdebatan mengenai penentuan awal Ramadhan juga telah ada sejak dulu kala.

Pada masa sekarang, penentuan awal Ramadhan ditentukan dengan perhitungan hisab dan rukyat yang dipimpin Kementerian Agama. Namun, pada masa penjajahan pihak yang menentukan awal Ramadhan adalah Perhimpoenan Penghoelo dan Pegawainya (PPDP) atau lebih dikenal Hoofdbestuur. Selain penetapan melalui mekanisme tersebut, ternyata awal Ramadhan juga disambut masyarakat dengan bunyi-bunyian yang sangat keras. Warga tengah mengambil ikan di kolam pada akhir bulan ramadan menjelang lebaran.

Pada masa Kolonial Hindia Belanda, ada wacana untuk meliburkan sekolah selama Ramadhan.

Mengenal Particuliere Landerijen, Tanah Partikelir di Masa

Puasa Ramadhan Di Zaman Penjajahan Belanda. Mengenal Particuliere Landerijen, Tanah Partikelir di Masa

Tidak heran, keberadaan jual-beli tanah partikelir saat itu memicu kerusuhan para petani yang berang atas pungutan cukai. Contoh, petani diwajibkan mengangkut hasil panen dari sawah ke lumbung yang berjarak 10-12 paal (15-18 km). Petani dan pekerja pabrik kopi juga dipaksa kerja rodi, dengan hukuman berat jika terlambat. Kebijakan particuliere landerijen atau tanah partikelir muncul karena kekuasaan VOC abad ke-17 masih lemah.

Proses penjualan wilayah-wilayah bekas kekuasaan kolonial tersebut kelak melahirkan wilayah-wilayah otonom yang disebut tanah partikelir atau particuliere landerijen. Pada tengah abad ke-19, kawasan tanah partikelir di pinggiran Surabaya masih merupakan lahan pertanian.

Furnivall, "tanam bebas" dilaksanakan salah satunya di particuliere landerijen atau tanah partikelir seluas 2 juta acre (80 hektare). Simak Video "Jokowi Minta Papua Barat Jadi Produsen Pertanian Pertama di Indonesia Timur".

Panitia bom, penentu Ramadan dan lebaran zaman kolonial

Puasa Ramadhan Di Zaman Penjajahan Belanda. Panitia bom, penentu Ramadan dan lebaran zaman kolonial

Kewenangan mengumumkan awal dan akhir Ramadan dipegang Kementerian Agama Republik Indonesia. Di era kolonial Belanda, pemegang wewenang otoritas tersebut adalah Hoofd Penghoeloe tingkat daerah. Lukman Hakiem dalam buku Merawat Indonesia; Belajar dari Tokoh Peristiwa menulis, tugas dan tanggung jawab membunyikan bom diserahkan kepada panitia agar tidak disulut sembarangan.

“Tentu tidak semua kaum muslimin di masa itu membaca Berita Nahdlatoel Oelama. Menurut Lukman, sidang itsbat yang digelar Kementerian Agama seolah hanya formalitas belaka. Sebab, kata Lukman, masing-masing organisasi masyarakat menggunakan perhitungannya sendiri yang tidak bisa digoyahkan.

Seperti halnya sekarang, di masa lalu pun panitia penentu hari awal dan akhir Ramadan tersandung polemik berjalan tak seirama. Namun, semua upaya ini gagal,” tulis surat kabar Het niews van den dag voor Nederlandsch-Indie edisi 11 Oktober 1937.

Walaupun PPDP didirikan agar umat Islam seirama, tapi Hoofd Penghoeloe di tingkat daerah masih menggunakan perhitungannya sendiri. Sehingga, PPDP bersama sejumlah tokoh muslim terkemuka pun memutuskan untuk bekerja sama dengan Observatorium Meteorologi Batavia dalam menentukan awal dan akhir Ramadan.

Lebaran Kolonial: Tahun Baru Pribumi Hingga Shalat Seikerei

Puasa Ramadhan Di Zaman Penjajahan Belanda. Lebaran Kolonial: Tahun Baru Pribumi Hingga Shalat Seikerei

Berbondong-bondong Saudi orang pulang seperti para pekerja asing dari India, Pakistan, Indonesia yang juga ada di sana. Semenjak malam lebaran mereka takbiran dan sudah berbagai makanan ditempat saudara yang diistilahkan dengan 'Ngejot'. Aneka hidangan ada di sana, dari kue tradisional seperti Dodol hingga masakan ikan bandeng.

Semua pakaiannya baru,'' kata budayawan Betawi Ridwan Saidi dalam sebuah percakapan di media sosial. "Di mana-mana perayaan pesta ini disertai hidangan makan khusus, saling bertandang yang dilakukan oleh kaum kerabat dan kenalan, pembelian pakaian baru, serta berbagai bentuk hiburan yang menggembirakan,” tulis Snouck Hurgronje dalam “Surat Kepada Direktur Pemerintahan Dalam Negeri”, 20 April 1904, termuat di Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1939 Jilid IV. “Karena itu perayaan ini di kalangan bangsa Eropa seringkali keliru disebut ‘Tahun Baru Pribumi’,” kata Hurgronje serya menyatakan, pada hari itu orang tempatan yang bekerja pada kantor pemerintah punya waktu luang untuk saling bertandang, sebab pemerintah kolonial menetapkan tanggal 1 Syawal sebagai hari libur.

Agar lebih jelas saya kutipan amatan Snouck Hurgronje atas soal pelaksanaan ibahan puasa dan peryaan lebaran. Dan sebagai akibat pemaksaan waktu shalat Ied oleh pemerintah kolonial Jepang yang harus sebelum matahari terbit, kala itu pun terpaksa tunduk. Meski begitu pada saat shalat Ied di lapangan pemerintah jepang menyebar informasi bila sangat mendukung kegiatan umat Islam.

Related Posts

Leave a reply