Puasa Rajab Menurut Manhaj Salaf. Tidak ada satu dalilpun yang shahih –yang secara khusus- menyebutkan keutamaan bulan Rajab, sebagaimana telah dituturkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab Tabyin Al Ujab : ““Tidak ada hadits shahih yang pantas untuk dijadikan hujjah dalam masalah keutamaan bulan Rajab, (dengan) puasa di dalamnya dan shalat malam khusus pada malam harinya”. Diantara empat bulan itu tiga berurutan (Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram), sedangkan Rajab terpisah.
Namun secara umum kemuliaan Rajab masuk ke dalam bulan-bulan yang haram dan terhormat di hadapan Allah. Ibnu Jajir menukil riwayat dari Ibnu Abbas berkata, dia berkata: Empat bulan dikhususkan dalam penghormatan, karena setiap maksiat lebih besar dosanya dan setiap amal shalih berpahala lebih besar.
Demikian ini adalah pendapat Qatadah, Atha’ Al Khurasani, Az Zuhri, Sufyan Ats Tsauri. Ibnu Juraij berkata : ‘Atha bin Abi Rabah bersumpah dengan nama Allah Ta’ala, bahwa tidak halal bagi manusia berperang di tanah haram dan pada bulan haram, kecuali mereka diperangi di dalamnya, dan hukum ini tidak dinasakh”. Ibnu Jarir menukil dari Qatadah, dia berkata : “… dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali mereka memulai mengobarkan peperangan di tempat itu, kemudian Allah menasakh ayat ini dengan firmanNya. Dalam musnad Ahmad 3/334, 345, Tafsir Ibnu Jarir dengan kedua sanadnya dari Jabir, dia berkata : “Rasulullah tidak pernah berperang pada bulan haram, kecuali bila diperangi atau Beliau tidak berperang hingga bulan-bulan haram berakhir”.
Dengan demikian kita mengetahui bahwa keharaman perang pada bulan haram tetap dan tidak dinasakh. Al Qadhi Abu Ya’la berkata : “Dinamakan bulan haram karena mengandung dua makna.
Aku mohon ampun kepada Allah yang memiliki keagungan dan kemuliaan dari segala dosa. Syaikh Ali Muhammad Qari dalam kitab Al Adab Fi Rajab berkata: “Kita merasa cukup dengan tsabitnya hadits ini, karena perhatian Al Hafizh Ad Damiri dengan menukil dalam tulisannya, dia diam dan tidak mengomentarinya.
Andaikata hadits ini maudhu’ (palsu), niscaya dia menerangkannya, karena dia imam di bidang ini dan minimal derajatnya dha’if, sedangkan hadits dha’if diamalkan dalam fadhail a’mal sesuai dengan kesepakatan. Sehingga Syaikh Masyhur Hasan Salman berkomentar : Diamnya Ad Damiri, tidak bukan berarti hadits ini menjadi tsabit (sah), apalagi para hufazh dan ahli hadits telah menyatakan batilnya seluruh hadits-hadits yang mengkhususkan suatu ibadah pada bulan Rajab. Orang yang antusias terhadap shalat Raghaib, berpegang dengan hadits dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah bersabda: Janganlah kalian melupakan malam Jum’at pertama dari bulan Rajab, karena malam itu disebut oleh Malaikat dengan Raghaib; maka tidaklah ada seorang yang berpuasa pada hari Kamis pertama dari bulan Rajab, kemudian shalat antara Maghrib dengan Isya’ sebanyak dua belas raka’at, kecuali Allah akan mengampuni dosa-dosanya.
Hadits ini disebutkan secara lengkap bersama tata caranya dalam kitab Al Maudhuaat, karya Ibnul Jauzi. Dan tidak mungkin lafazh hadits ini berasal dari Nabi, karena Beliau melarang menamai shalat Isya dengan atamah.
Dan dalam Syarah Muslim, karya An Nawawi disebutkan : Para ulama berhujjah terhadap makruhnya (tidak disukai) shalat Raghaib dengan hadits. Padahal semua riwayat seputar shalat Raghaib adalah palsu dan penuh dengan pendustaan atas nama Rasulullah.
Ada sebagian orang berpendapat, bahwa para ulama berbeda pendapat dalam memakruhkan pengkhususan hari Jum’at untuk berpuasa dan qiyamul lail pada malamnya. Mereka juga berdalih, bahwa Syaikh Ibnu Shalah memilih pendapat bolehnya shalat tersebut, demikian pula Hujjatul Islam (Al Ghazali, pen.). Cara berdalih seperti itu jelas kurang tepat dan salah, apalagi semua ulama sepakat tentang bid’ahnya shalat Raghaib. Semua telah dibantah secara tuntas dan jelas oleh ‘Iz bin Abdus Salam, bahwa tidak ada satu dalilpun yang menganjurkan shalat tersebut. Abu Syamah memaparkan hujjah mereka masing-masing, dan beliau memberi bantahan tuntas satu per satu, kemudian membuat kesimpulan secara adil dan bijak, bahwa shalat tersebut hukumnya bid’ah, sebagaimana dikatakan oleh muridnya, yaitu Imam Nawawi dalam Al Majmu’ 4/56. Adapun sikap Ibnu Shalah terhadap shalat tersebut sangat goncang dan kabur, sebab beliau pernah berfatwa melarangnya, kemudian berbalik membolehkannya.
Maka dia takut jika melarangnya akan dikatakan “Apakah kamu tidak melakukan shalat itu?” Sehingga beliau lebih rela mengikuti hawa nafsu dan menganjurkan orang lain untuk menganggap baik terhadap sesuatu yang tidak dianggap baik oleh syari’at yang suci …. Adapun pernyataan Imam Al Ghazali dalam Al Ihya 1/203 telah dibantah, bahwa beliau sedikit sekali perbendaharaan ilmu haditsnya, sebagaimana dikatakan oleh dirinya sendiri, maka pengukuhan beliau terhadap hadits shalat pada malam Jum’at pertama dari bulan Rajab ini ditolak. Ada sebagian manusia membaca kisah Mi’raj, berdzikir, melakukan ibadah tertentu dan berkumpul pada malam 27 Rajab untuk merayakannya. Tidak ada satupun dalil yang shahih tentang pembacaan do’a-do’a pada malam-malam bulan Rajab, Sya’ban maupun Ramadhan.
Seandainya hal tersebut baik, sudah pasti para sahabat telah melakukannya terlebih dahulu. Juga tidak ada dalil pasti yang menetapkan kapan terjadinya peristiwa Isra’, begitu pula bulannya. Dia menyembelih dua kurban untuk orang-orang fakir dan miskin, dan menyuruh penduduk Makkah ketika itu agar melaksanakan umrah sebagai rasa syukur kepada Allah karena dapat menyempurnakan Baitullah dengan susunan yang disukai Nabi. Meskipun demikian, itu bukan dalil untuk membolehkan acara bid’ah pada malam 27 Rajab.
Semua isi kisah Mi’raj yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas adalah dusta, kecuali beberapa huruf saja. Kisah anak Sultan, orang yang banyak melakukan dosa dan tidak shalat kecuali pada bulan Rajab. Dan dia menjelaskan di Ihya, bahwa itu adalah shalat malam Mi’raj[6].
Dan apabila Beliau menganjurkan umrah pada bulan Rajab secara khusus, maka itu tidak tsabit. Apakah Nabi pernah umrah pada bulan Rajab?” Dia menjawab,”Ya.” Maka aku bertanya kepada ‘Aisyah,”Wahai, Bunda.
Salah satunya pada bulan Rajab.” Maka Aisyah berkata,”Semoga Allah mengampuni Abu Abdurrahman. Ini menunjukkan keraguan Ibnu Umar, sehingga sama saja baginya, baik dia mencabut kembali perkataannya ataupun tidak.
Imam Suyuti berkata di dalam Al Amru Bil Ittiba’ Wa nahyu ‘Anil Ibtida’, lembaran 14/1 : Asy Syafi’i rahimahullah berkata,”Aku membenci seorang laki-laki yang menjadikan puasa (Rajab) sebulan penuh sebagaimana puasa Ramadhan. Beliau berkata,’Tidak ada sesuatu pun yang sah datang dari Rasulullah tentang keutamaan Rajab dan puasa padanya’.”.
Sebagai pelengkap, kami sampaikan ucapan Imam Abdullah Al Anshari, menukil dari Asy Suyuthi rahimahullah Ta’ala : “Jika dikatakan puasa Rajab adalah amalan yang baik, maka katakan padanya, mengamalkan kebaikan hendaknya sesuai yang disyari’atkan Rasulullah. As Suyuti berkata juga : Biasanya bila Ibnu Umar melihat manusia dan apa yang mereka siapkan untuk bulan Rajab, (maka) beliau membencinya. Andaikata hal ini terjadi karena ada keutamaannya, tentu Rasulullah telah menjelaskan atau Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukannya, meskipun sekali seumur hidupnya, sebagaimana Beliau pernah melakukan puasa ‘Asy Syura.
Meskipun begitu, orang-orang yang berpuasa Rajab masih memiliki dalih, bahwa mengamalkan hadits dha’if dalam keutamaan amal diperbolehkan, karena para ulama ahli hadits dan ahli ilmu bersikap toleran dalam mendatangkan hadits-hadits dha’if yang berkaitan dengan keutamaan amal. [4] Perkataan Ibnu ‘Atsir ini tidak bermanfaat, bagaimana sedangkan banyak para ulama yang mu’tabar menyatakan bid’ah & palsunya shalat raghaib. [5] Dikeluarkan Al-Baihaqi di (Asy-Syu’ab) 1/19/ أ dan dia berkata : ini lebih dha’if dari yang sebelumnya.
Dan Anas berkata : “Rasulullah umrah empat kali, semuanya di bulan Dzulqa’dah”.
Namun, para ulama berbeda pendapat terkait amalan puasa sunnah di bulan Rajab ini. Ada sebagian ulama yang memang menyunnahkan berpuasa di bulan Rajab. Misalnya, Syeikh Abdul Aziz ketika ditanya terkait dengan berpuasa pada tanggal 8 dan 27 Rajab menjawab di dalam kitabnya Fatawa Nurun 'ala Ad-Darbi sebagai berikut :. Selain itu, ada ulama yang berpendapat, hukum puasa di bulan Rajab adalah makruh, yaitu pendapat dari sebagian para ulama salaf, khususnya mazhab Al-Hanabilah.
Al-Mardawi (w. 885 H) salah satu ulama dalam mazhab Al-Hanabilah yang menuliskan dalam kitabnya Al-Inshaf:“Pendapatnya mengkhususkan puasa Rajab (sebulan penuh) hukumnya makruh. Berdasarkan perbedaan pendapat tentang puasa sunnah di bulan Rajab tersebut, Ustaz Sarwat menyimpulkan bahwa puasa sunnah di Bulan Rajab ini memang termasuk masalah khilafiyah di tengah para ulama menjadi tiga pendapat yang berbeda.“Ada kalangan yang membid'ahkannya, memakruhkannya dan menyunnahkannya,” kata Ustaz Sarwat.
Semoga Allah memberi taufik dan kemudahan untuk menyajikan pembahasan ini di tengah-tengah pembaca sekalian. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal.
(Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab.
Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.” (Lihat Zaadul Maysir, tafsir surat At Taubah ayat 36). Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.” (Latho-if Al Ma’arif, 214).
Para ulama berselisih pendapat tentang manakah di antara bulan-bulan haram tersebut yang lebih utama. Ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair dan lainnya, juga dinilai kuat oleh Ibnu Rajab dalam Latho-if Al Ma’arif (hal. Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap berlaku ketika datang Islam ataukah tidak.
Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap diharamkan ataukah sudah dimansukh (dihapus hukumnya). Ibnu Rajab mengatakan, “Tidak diketahui dari satu orang sahabat pun bahwa mereka berhenti berperang pada bulan-bulan haram, padahal ada faktor pendorong ketika itu. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sepakat tentang dihapusnya hukum tersebut.” (Lathoif Al Ma’arif, 210). Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ‘atiiroh sudah dibatalkan oleh Islam ataukah tidak. Hal ini berdasarkan hadits Bukhari-Muslim, dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,. Faro’ adalah anak pertama dari unta atau kambing, lalu dipelihara dan nanti akan disembahkan untuk berhala-berhala mereka.
Mereka menjadikan penyembelihan pada bulan tersebut sebagai ‘ied (hari besar yang akan kembali berulang) dan juga mereka senang untuk memakan yang manis-manis atau semacamnya ketika itu.” Ibnu ‘Abbas sendiri tidak senang menjadikan bulan Rajab sebagai ‘ied. “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa pada seluruh hari di bulan Rajab agar tidak dijadikan sebagai ‘ied.” (HR.
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Intinya, tidaklah dibolehkan bagi kaum muslimin untuk menjadikan suatu hari sebagai ‘ied selain apa yang telah dikatakan oleh syari’at Islam sebagai ‘ied yaitu Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Selain hari-hari tadi, jika dijadikan sebagai ‘ied dan perayaan, maka itu berarti telah berbuat sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam Islam (alias bid’ah).” (Latho-if Al Ma’arif, 213).
Di siang harinya sebelum pelaksanaan shalat Roghoib (hari kamis pertama bulan Rajab) dianjurkan untuk melaksanakan puasa sunnah. Kemudian setelah pelaksanaan shalat tersebut dianjurkan untuk membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak 70 kali.
Ibnul Jauziy rahimahullah mengatakan, “Sungguh, orang yang telah membuat bid’ah dengan membawakan hadits palsu ini sehingga menjadi motivator bagi orang-orang untuk melakukan shalat Roghoib dengan sebelumnya melakukan puasa, padahal siang hari pasti terasa begitu panas. Sampai-sampai orang yang biasa tidak hadir shalat Jama’ah pun ikut melaksanakannya.” (Al Mawdhu’aat li Ibnil Jauziy, 2/125-126).
Ath Thurthusi mengatakan, “Tidak ada satu riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat ini. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun mengkhususkan bulan Rajab dan Sya’ban untuk berpuasa pada seluruh harinya atau beri’tikaf pada waktu tersebut, maka tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat mengenai hal ini. Adapun melakukan puasa khusus di bulan Rajab, maka sebenarnya itu semua adalah berdasarkan hadits yang seluruhnya lemah (dho’if) bahkan maudhu’ (palsu). Bahkan telah dicontohkan oleh para sahabat bahwa mereka melarang berpuasa pada seluruh hari bulan Rajab karena ditakutkan akan sama dengan puasa di bulan Ramadhan, sebagaimana hal ini pernah dicontohkan oleh ‘Umar bin Khottob.
Ketika bulan Rajab, ‘Umar pernah memaksa seseorang untuk makan (tidak berpuasa), lalu beliau katakan,. Begitu pula riwayat ini dikatakan bahwa sanadnya shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil).
Bahkan sebenarnya para ulama berselisih pendapat mengenai hal ini, tidak ada yang bisa menegaskan waktu pastinya.” (Zaadul Ma’ad, 1/54). Abu Syamah mengatakan, “Sebagian orang menceritakan bahwa Isro’ Mi’roj terjadi di bulan Rajab.
Setelah kita mengetahui bahwa penetapan Isro’ Mi’roj sendiri masih diperselisihkan, lalu bagaimanakah hukum merayakannya? Oleh karena itu, tidak diketahui tanggal pasti dari malam Isro’ tersebut.” (Zaadul Ma’ad, 1/54).
Begitu pula Syaikhul Islam mengatakan, “Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu idul fithri dan idul adha, pen) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab (perayaan Isro’ Mi’roj), hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang tidak mengerti agama dengan Idul Abror (ketupat lebaran)-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya.” (Majmu’ Fatawa, 25/298). Semoga Allah menunjuki kita ke jalan kebenaran agar tidak keliru dalam mengerjakan amalan di bulan Rajab.
Tapi tidak ada satupun ulama salaf yang menghukumi bahwa puasa rajab itu sebagai perkara bid’ah, justru pendapat yang menyalahkan dan mengatakan puasa rajab itu sebagai bid’ah itulah yang mengada-ada, karena tidak ada sandarannya. Imam Ahmad dalam musnad-nya, serta imam Abu Daud dan juga Imam Ibnu Majah dalam kitab sunan mereka meriwayatkan hadits dari salah seorang dari suku al-Bahilah:. Walaupun memang hadits-hadits puasa rajab itu tidak dalam derajat yang shahih, bukan berarti amalan puasa pada bulan ini menjadi haram dan terlarang.
Ulama sepakat memang menghukumi hadits-hadits rajab itu sebagai hadits yang tidak shahih, akan tetapi mereka juga sepakat bahwa kesunahan puasa pada bulan Rajab tetap ada, bukan dengan hadots-hadits yang lemah teersebut, melainkan dengan hadits-hadits umum yang menyatakan fadhilah puasa Rpada bulan haram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, Rajab). Ketika menjelaskan tentang puasa pada bulan-bulan Haram yang mana di dalamnya ada bulan Rajab, Imam Syaukani (1250 H) menyatakan dalam kitabnya yang masyhur Nailul-Awthar:.
Sebelum menyatakan pernyataan di atas, beliau telah menyisyaratkan sebelumnya tentang kebolahan dan kesunahan puasa Rajab, bahwa itu adalah kebiasaan para sahabat. mengatakan ketika ditanya tentang puasa Sya’ban: ‘sesungguhnya bulan Sya’ban dalah bulan yang dilalaikan oleh banyak orang antara Ramadhan dan Rajab’, ini juga indikasi kesunahan puasa Rajab; karena secara zahir maksud dari hadits ini bahwa para sahabat lalai akan mengagungkan sya’ban dengan puasa sebagaimana mereka mengagungkan Ramadhan dan Rajab dengan puasa.” (nailul awthar 4/292).
Maksud pernyataan Imam Syaukani ini adalah bahwa banyak dari kalangan sahabat itu lupa akan puasa bulan Sya’ban, dikarenakan bulan itu terjadi antara 2 bulan yang mana mereka sering berpuasa, yakni puasa Rajab dan Ramadhan. Sehingga ketika ada yang menyatakan bahwa puasa pada bulan Rajab itu terlarang hanya karena haditsnya dhaif, pendapat tersebut akhirnya dicela oleh para ulama. Imam Ibnu Hajar al-Haitami (974 H) dalam fatwanya yang terkumpul dalam kitab al-fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra(2/53) justru mengecam keras para ‘ahli agama’ yang melarang umat untuk berpuasa Rajab. Ketika beliau hidup, ternyata ada beberapa ahli agama ketika yang melarang umat Islam untuk berpuasa Rajab hanya karena haditsnya dhaif.
Selain itu, dalam kitab fatwa ini juga disertakan fatwa Imam ‘Izz bin Abdi-Salam yang menyatakan hal serupa bahwa melarang orang berpuasa pada bulan Rajab adalah kebodohan, karena tidak ada ulama yang melarang itu. “tidak berdosa bagi yang berpuasa Rajab, dan tidak ada satupun ulama umat ini yang mengatakan ia berdosa dari yang kami tahu.
Dan ini tidak menjadikan puasa Rajab itu terlarang, karena adanya dalil-dalilnya anjuran puasa secara mutlak, dan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dadud dalam kitab Sunan-nya juga ulama lain dalam anjuran puasa pada bulan Rajab, dan itu cukup untuk memotivasi umat ini untuk puasa Rajab. Akan tetapi kita juga tidak bisa menutup mata, bahwa dari kalangan ulama madzhab ada yang menyatakan puasa Rajab itu bukan sunnah, akan tetapi makruh.
Dalam beberapa leitarsi madzhab al-Hanabilah memang ulama mereka menyepakati atas kemakruhan puasa Rajab, akan tetapi tidak ada satu pun dari ulama al-hanabilah yang mengatakan itu haram, bid’ah dan sebagainya. Yang perlu diperhatikan juga bahwa madzhab al-Hanabilah sepakat yang namanya puasa pada bulan-bulan haram itu termasuk puasa yang disunnahkan, yang mereka makruhkan adalah jika hanya bulan Rajab saja yang dijadikan bulan puasa, itu yang dimaksud dengan “Ifrad”.
Beberapa ahli agama memang ada yang menyatakan puasa Rajab itu haram karena memang ada hadits yang menyatakan secara gamblang bahwa Nabi melarang puasa Rajab. melarang puasa Rajab, dan di dalam sanadnya ada Daud bin ‘Atha, yang mana ia telah dilemahkan oleh Imam Ahmad dan juga Imam Hadits yang lain”.
Karena tidak ada larangan untuk puasa bulan tersebut; karena tidak ada larangan, maka hadits-hadits yang menganjurkan puasa secara umum –pada bulan-bulan haram- itu tetap berdiri dan dilaksanakan karena tidak ada yang menyela hadits-hadits umum itu. Ad Dardir menyatatakan bahwasannya disunnahkan puasa bulan Al Muharram, Rajab dan Sya’ban, demikian juga di empat bulan haram yang dimana paling utama adalah Al Muharram kemudian Rajab lalu Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. Dengan demikian, Madzhab Al Maliki berndapat mengenai kesunnahan puasa di bulan Rajab secara mutlak, meski dengan sebulan penuh. Ulama Madzhab Asy Syafi’i mensunnahkan puasa di bulan Rajab, dimana Imam An Nawawi berkata,”Telah berkata ashabuna: Dari puasa yang disunnahkan adalah puasa di bulan-bulan haram, yakni Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Al Muharram dan Rajab.” (Al Majmu’, 6/438).
Ibnu Hajar Al Haitami juga menyatakan,”Dan disunnahkan (puasa) di bulan-bulan haram, bahkan ia adalah seutama-utamanya bulan untuk berpuasa setelah Ramadhan, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Al Muharram dan Rajab.” (Minhaj Al Qawim dengan Hasyiyah At Tarmasi, 5/804,805). Hal yang sama disampaikan Ibnu Rajab Al Hanbali, bahwa kemakruhan puasa di bulan Rajab hilang dengan tidak berpuasa penuh di bulan Rajab atau berpuasa penuh dengan menambah puasa sebulan di bulan lainnya di tahun itu. Sedangkan Imam Ahmad menyatakan tidak berpuasa Rajab secara penuh kecuali bagi yang berpuasa terus-menerus.
Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.
Fatwa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Wal Ifta’. Puasa sunnah Rajab itu dianjurkan pada awal bulan, tengahnya atau akhirnya? قلت : يا رسول الله ، لم أرك تصوم من شهر من الشهور ما تصوم من شعبان ، قال : ذلك شهر يغفل عنه الناس بين رجب ورمضان ، وهو شهر ترفع فيه الأعمال إلى رب العالمين فأحب أن يرفع عملي وأنا صائم.
Beliau bersabda: ‘Itu adalah bulan yang banyak dilalaikan manusia antara Rajab dan Ramadhan’. 🔍 Dalil Shalat Dhuha, Makna Ibadah Dalam Islam, Pesantren Yatim Ibnu Taimiyah, Para Sahabat, Menggauli Budak.