Puasa Rabu Abu Kristen Protestan. Pada hari ini umat Katholik Roma berusia 18–59 tahun diwajibkan berpuasa, dengan batasan makan kenyang paling banyak satu kali, dan berpantangan. Bagi umat Kristen Protestan, tidak ada peringatan Rabu Abu, melainkan memperingati minggu-minggu Pra Paskah, yang dimaknai dengan masa-masa berdoa untuk mohon ampun akan dosa-dosa dan kesalahan yang telah diperbuat.
Aturan puasa itu sendiri di Alkitab Perjanjian Lama, terdapat di Imamat 16: 29 yaitu, Inilah yang harus menjadi ketetapan untuk selama-lamanya bagi kamu, yakni pada bulan yang ketujuh, pada tanggal sepuluh bulan itu kamu harus merendahkan diri dengan berpuasa dan janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan, baik orang Israel asli maupun orang asing yang tinggal di tengah-tengahmu, dan ayat 31, Hari itu harus menjadi sabat, hari perhentian penuh, bagimu dan kamu harus merendahkan diri dengan berpuasa. Makna puasa adalah merendahkan diri, dengan cara merefleksikan kembali semua perbuatan kita dan mohon ampun akan dosa-dosa yang telah kita perbuat baik yang disengaja atau tidak sengaja, dosa perbuatan dan dosa pikiran, dosa pengucapan yang keluar dari mulut kita.
Dalam Alkitab Perjanjian Baru, berdasarkan puasa Jesus Kristus terdapat di Matius 4:2 Dan setelah berpuasa empat puluh hari dan empat puluh malam, akhirnya laparlah Yesus. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya, ayat 17-18, Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Bagi umat Katholik Roma dan Kristen Protestan, puasa bukan hanya puasa lahiriah dengan tidak makan dan minum, tetapi yang lebih penting adalah bertobat akan dosa-dosa terutama dosa perbuatan, pikiran dan ucapan karena ada tertulis Matius 4: 4, Tetapi Yesus menjawab: "Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah.
Berdasarkan ayat diatas itu pula maka umat Kristiani tidak berpantang lagi akan semua makanan termasuk masakan mengandung babi.
Dalam Liturgi Gerejawi itu, Rabu Abu mengawali dimulainya masa Prapaska di mana umat mengonfirmasikan pertobatan. Sebagai contoh, dalam Buku Ester, Mordekhai mengenakan kain kabung dan abu ketika ia mendengar perintah Raja Ahasyweros (485-464 SM) dari Persia untuk membunuh semua orang Yahudi dalam kerajaan Persia (Est 4:1). Dalam bukunya “De Poenitentia”, Tertulianus (sekitar 160-220) menulis bahwa pendosa yang bertobat haruslah “hidup tanpa bersenang-senang dengan mengenakan kain kabung dan abu.” Eusebius (260-340), sejarahwan Gereja perdana yang terkenal, menceritakan dalam bukunya “Sejarah Gereja” bagaimana seorang murtad bernama Natalis datang kepada Paus Zephyrinus dengan mengenakan kain kabung dan abu untuk memohon pengampunan. Imam akan memberkati orang yang menjelang ajal tersebut dengan air suci, sambil mengatakan “Ingat engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu.” Setelah memercikkan air suci, imam bertanya, “Puaskah engkau dengan kain kabung dan abu sebagai pernyataan tobatmu di hadapan Tuhan pada hari penghakiman?” Yang mana akan dijawab orang tersebut dengan, “Saya puas.” Dalam contoh-contoh di atas, tampak jelas makna abu sebagai lambang perkabungan, ketidakabadian, dan tobat. Ritual perayaan “Rabu Abu” ditemukan dalam edisi awal Gregorian Sacramentary yang diterbitkan sekitar abad VIII. Sekitar tahun 1000, seorang imam Anglo-Saxon bernama Aelfric menyampaikan khotbahnya, “Kita membaca dalam kitab-kitab, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, bahwa mereka yang menyesali dosa-dosanya menaburi diri dengan abu serta membalut tubuh mereka dengan kain kabung.
Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.).
Rabu Abu adalah sebuah hari raya Kekristenan untuk beribadah dan berpuasa, meskipun bukan merupakan suatu hari raya wajib,[1] sebagai tanda perkabungan, pertobatan, dan merendahkan diri menuju kemenangan kebangkitan Kristus. Nama Rabu Abu berasal dari pengolesan abu pertobatan di dahi para jemaat disertai dengan ucapan "Bertobatlah dan percayalah pada Injil" atau diktum "Ingatlah bahwa engkau adalah debu, dan engkau akan kembali menjadi debu".
[3][2] Abu tersebut dipersiapkan dengan membakar daun palem dari perayaan Minggu Palma tahun sebelumnya. Pada hari itu umat yang datang ke Gereja dahinya diberi tanda salib dari abu sebagai simbol upacara ini. Seringkali pada hari ini bacaan di Gereja diambil dari Alkitab bagian kitab 2 Samuel 11-12, perihal raja Daud yang berzinah dan bertobat. Pada hari ini umat Katolik berusia 18–59 tahun diwajibkan berpuasa, dengan batasan makan kenyang paling banyak satu kali, dan berpantang.
Mengingat saat ini sedang pandemi Covid-19, aturan Rabu Abu menjadi sedikit berbeda, namun sama sekali tidak mengurangi maknanya. Vatikan telah merilis panduan Rabu Abu 2021 atau aturan puasa dan pantang selama masa pandemi.
Di dalam catatan tersebut juga diberikan arahan bagi para Imam agar membersihkan tangan, mengenakan masker, serta membagikan abu pada mereka yang datang menghampiri. Dikutip dari laman Komisi Kateketik Konferensi Wali Gereja Indonesia (Komkat KWI), Fransiskus Emanuel da Santo, seorang Sekretaris Komkat KWI mengatakan bahwa masa pertobatan akan diisi dengan puasa, pantang, matiraga, doa, dan amal kasih.
Puasa, pantang, dan juga matiraga diharapkan akan membawa dampak baik spiritual, fisik, maupun sosial. Ada kekuatan dan keteguhan untuk bersatu sehingga bisa memecahkan berbagai persoalan bersama. Dampak fisik: pengalaman rasa lapar turut membuat umat mengambil bagian dalam penderitaan orang lain.
Dampak fisik yang dirasakan berarti umat turut merasa lemah, sehingga dapat meningkatkan kepekaan, kepedulian, dan juga keprihatinan sosial. Baca Juga: Zodiak Kesehatan Hari Ini 17 Februari 2021: Gemini, Cukup Minum Air Putih.
Di tahun ini, masa Prapaskah atau puasa dan pantang akan dimulai pada Rabu Abu (17/2/2021) hingga Sabtu (3/4/2021).
Masa Pra Paska (h) di GKI kini mengikuti jejak gereja-gereja lainnya, yaitu dengan memperingatinya selama enam minggu, atau tepatnya empat puluh hari. Pada zaman Perjanjian Lama, Paskah merupakan peringatan keluarnya bangsa Israel dari Mesir setelah setiap rumah mengorbankan seekor anak domba dan menyapukan darahnya ke ambang pintu masing-masing. Bapa Pius Parsch, dalam bukunya “The Church’s Year of Grace” menyatakan bahwa “Rabu Abu Pertama” terjadi di Taman Eden setelah Adam dan Hawa berbuat dosa.
Pada hari tersebut, umat Katolik berusia 18-59 tahun diwajibkan berpuasa, dengan batasan makan kenyang paling banyak satu kali, dan berpantang. Pertobatan yang dimaksud adalah agar kehidupan kita makin berkenan di hati Tuhan dan setia memelihara kekudusan hidup. Itulah sebabnya sejak dahulu, selama masa Pra Paskah, gereja-gereja Tuhan senantiasa memotivasi dan memberlakukan puasa kepada seluruh anggota jemaat agar mereka, selaku persekutuan yang telah ditebus oleh Kristus, sungguh-sungguh mau setia untuk memelihara hidup kudus dengan sikap bertobat. Hasil dari puasa adalah kemampuan spiritual untuk mengendalikan diri kita dengan lebih optimal, serta penuh kasih dan pengampunan kepada sesama. Makna puasa dalam pengertian ini ialah melawan segala bentuk nafsu konsumerisme dan dorongan materialisme, sehingga hidup kita tertuju hanya untuk mempermuliakan nama-Nya. Sampai sejauh mana kita telah mempraktikkan spiritualitas yang bebas dari keterikatan dengan harta milik dan kuasa Mammon?