Puasa Nisfu Sya Ban Menurut Sunnah. Hadits tersebut diriwayatkan Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah bahwa Rasulullah SAW telah bersabda:. "Jika Syaban sudah pertengahan maka janganlah berpuasa" (HR Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Ketua Komisi Fatwa MUI Jawa timur, KH Ma'ruf Khozin mengatakan berdasarkan hadits tersebut sebagian ulama menyebut ada pengecualian jika tetap melakukan puasa setelah pertengahan Bulan Syaban, yaitu:.
“Kalau mau, silakan saja, apalagi jika untuk kebaikan bersama, tetapi hadisnya lemah. Hadis puasa di bulan Syakban yang kuat adalah berpuasa di bulan-bulan haram atau mulia, yaitu Zulhijjah, Zulkaidah, Rajab dan Syakban dan Allah akan mengampuni dosa-dosa hamba-Nya di malam Nisfu.
Kemudian amalan di malam Nisfu Syakban, apakah ada salat sunah Nisfu Syakban?
Amma ba’du, berikut ini uraian singkat tentang beberapa masalah yang berkait dengan bulan Sya’bân. Dalam shahih Bukhâri dan Muslim, diriwayatkan bahwa A’isyah Radhiyallahu anhuma menceritakan. “Aku tidak pernah melihat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam puasa satu bulan penuh kecuali pada bulan Ramadhân dan aku tidak pernah melihat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam puasa lebih banyak dalam sebulan dibandingkan dengan puasa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Sya’bân.“[2].
Imam Ahmad rahimahullah dan Nasa’i rahimahullah meriwayatkan sebuat hadits dari Usâmah bin Zaid Radhiyallahu anhuma, beliau Radhiyallahu anhuma mengatakan, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berpuasa dalam sebulan sebagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada bulan Sya’bân. Lalu ada yang berkata, ‘Aku tidak pernah melihat anda berpuasa sebagaimana anda berpuasa pada bulan Sya’bân.’ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Banyak orang melalaikannya antara Rajab dan Ramadhân. Dar Ihyâ’ Kutubil Arabiyah) dalam Sunan Ibnu Mâjah dengan sanad yang lemah dari ‘Ali Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika malam nisfu Sya’bân, maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah pada siangnya.
Beliau rahimahullah mengatakan (Majmu’ Fatawa beliau 5/622), ‘Yang benar, hadits itu maudhu’ (palsu), karena dalam sanadnya terdapat Abu Bakr, Abdullah bin Muhammad, yang dikenal dengan sebutan Ibnu Abi Bisrah. Berdasarkan penjelasan ini, maka puasa khusus pada pertengahan Sya’bân itu bukan amalan sunat.
Karena berdasarkan kesepakatan para ulama’, hukum syari’at tidak bisa ditetapkan dengan hadits-hadits yang derajatnya berkisar antara lemah dan palsu. Dan ketika itu boleh dijadikan landasan untuk beramal kecuali kalau isinya mungkar atau syadz (nyeleneh). Ada beberapa riwayat yang dikomentari oleh Ibnu Rajab rahimahullah setelah membawakannya bahwa riwayat-riwayat ini masih diperselisihkan.
Diantara contohnya, dalam sebuah riwayat dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, “Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla akan turun ke langit dunia pada malam nisfu Sya’bân lalu Allâh Azza wa Jalla memberikan ampunan kepada (manusia yang jumlahnya) lebih dari jumlah bulu kambing-kambing milik Bani Kalb.” Hadits ini dibawakan oleh Imam Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Mâjah. as-Syaukâni rahimahullah menyebutkan bahwa dalam riwayat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma tersebut ada kelemahan dan sanadnya terputus.
Syaikh Bin Bâz rahimahullah menyebutkan bahwa ada beberapa hadits lemah yang tidak bisa dijadikan pedoman tentang keutamaan malam nisfu Sya’bân. Karena ia tidak membuat-buat suatu yang baru dalam agama Allâh Azza wa Jalla. Hadits seperti ini tidak bisa dijadikan sandaran untuk menetapkan hukum syar’i.
Para Ulama memberikan toleran dalam masalah beramal dengan hadits lemah dalam masalah fadhâilul a’mâl, tapi itupun dengan beberapa syarat yang harus terpenuhi, diantaranya, (syarat pertama) kelemahan hadits itu tidak parah. Karena diantara perawinya ada orang yang pernah memalsukan hadits, sebagaimana kami nukilkan dari Muhammad Rasyid Ridha rahimahullah. Artinya, jika benar, maka itu kebaikan bagi yang melakukannya, sedangkan jika tidak benar, maka itu tidak membahayakannya karena ada dalil lain yang dijadikan landasan utama. Dan sebagaimana sudah diketahui bahwa dalam dalil yang memerintahkan untuk menunaikan shalat nisfu Sya’bân, syarat-syarat ini tidak terpenuhi. 145) Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Begitu juga tentang shalat malam pada malam nisfu Sya’bân, tidak ada satu dalil sahih pun dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun dari shahabat. Muhammad Rasyid Ridha rahimahullah mengatakan, “Allâh Azza wa Jalla tidak mensyari’atkan bagi kaum Mukminin satu amalan khusus pun pada malam nisfu Sya’bân ini, tidak melalui kitabullah, ataupun melalui lisan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak melalui sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”.
Keterangan terbaik tentang shalat malam nisfu Sya’bân yaitu perbuatan sebagian tabi’in, sebagaimana penjelasan Ibnu Rajab dalam al-Lathâif (hlm. Seandainya shalat malam nisfu Sya’bân itu bagian dari agama Allâh, tentu Allâh Azza wa Jalla jelaskan dalam kitab-Nya, atau dijelaskan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui ucapan maupun perbuatannya n . Dikerjakan malam itu satu shalat khusus dengan jumlah tertentu dan ini dilakukan tiap tahun.
Keenam : Sebagian Orang Membuat Makanan Pada Hari Nisfu Sya’ban dan Membagikannya Kepada Fakit Miskin. Perbuatan ini juga tidak ada dasarnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sehingga mengkhususkan amalan ini pada nisfu Sya’bân termasuk amalan bid’ah yang telah diperingatkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,”Semua bid’ah itu sesat.”. Dengan demikian, ditinjau dari kebid’ahan ini berarti agama itu belum sempurna (sehingga perlu disempurnakan-red). Yang pertama, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tahu bahwa amalan ini bagian dari agama dan kedua, Nabi tahu namun beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikannya. Kebid’ahan menyebabkan manusia berani terhadap syari’at Allâh Azza wa Jalla.
Ini akan menyeret umat kedalam apa yang dilarang Allâh dalam firmanNya. Kebid’ahan ini membuat pelakunya tersibukkan sehingga meninggalkan suatu yang disyari’atkan.
karuniaa Allâh dan rahmat-Nya itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.
PORTAL JEMBER - Bolehkah menggabungkan puasa Nisfu Sya'ban dan Senin Kamis dalam satu hari agar mendapatkan pahala dari kedua puasa tersebut bersamaan? Salah satu ulama Nusantara Syekh Yasin bin Isa al-Fadani dalam kitabnya al-Fawaid al-Janiyah menjelaskan bahwa ada beberapa ibadah yang bisa dilakukan dengan bersamaan dengan menggabungkan niatnya, antara lain:.
Biasanya, di bulan Syaban umat muslim melakukan puasa sunnah Nisfu Syaban dan melakukan doa malam Nisfu Syaban. Freepik Puasa Nisfu Syaban adalah puasa yang hukumnya sunnah dan dilakukan pada hari ke-15 di bulan Syaban. Puasa Nisfu Syaban di tahun ini jatuh pada 28 Maret 2021.
Pada kalender Masehi, malam Nisfu Syaban jatuh pada besok Minggu (28/3/2021) malam. "Nabi SAW bersabda, 'Apabila tiba malam Nisfu Syaban maka sholatlah pada malam harinya dan berpuasalah pada siang harinya, karena rahmat Allah SWT akan turun ke langit dunia pada saat tersebut sejak terbenam matahari dan Allah SWT berfirman, 'Adakah orang yang meminta ampun, maka akan Aku ampuni, adakah yang meminta rizki, maka akan kuberikan rizki untuknya, adakah orang yang terkena musibah maka akan Aku lindungi, adakah sedemikian, adakah sedemikian, hingga terbit fajar.". Niat puasa malam Nisfu Syaban:. Artinya: Aku berniat puasa sunnah Syaban esok hari karena Allah Ta'ala. Pada malam Nisfu Syaban kita dianjurkan untuk membaca Al Quran. Surat yang dibaca selain Surat Yasin, bisa Surat Al Waqiah.
Amalan Nisfu Syaban selain puasa dan membaca Surat Yasin dan Al Waqiah yakni sholat sunnah tasbih. Doa malam Nisfu Syaban.
Bulan ini akan berakhir pada tanggal 29 Sya'ban yang jatuh pada 12 April. Puasa sunah di bulan Sya'ban dapat dilakukan kapan saja seperti pada puasa Senin dan Kamis, puasa Daud, dan puasa tiga hari pada tengah bulan atau Ayyamul Bidh.
Hadis lain juga menyebut, Rasulullah berpuasa pada Nisfu Sya'ban atau pada 15 Sya'ban. - 15 Sya'ban, Senin, 29 Maret: Nisfu Sya'ban.
- Puasa Senin, 15 Maret. - Puasa Senin, 22 Maret.
Di sisi-Nya Lauh Mahfuzh.’ Semoga Allah memberikan shalawat kepada Sayyidina Muhammad SAW dan keluarga beserta para sahabatnya. Namun biasanya, kaum Muslim akan lebih fokus untuk menjalankan sunnah di kedua bulan tersebut. Usamah bin Zaid berkata, "Ya Rasulullah SAW, aku tidak pernah melihatmu berpuasa sebanyak di bulan Sya'ban.".
Seperti dinarasikan Aisyah, "Rasulullah SAW sempat puasa beberapa hari hingga kami berpikir dia akan terus melakukannya.