Mengganti Puasa Orang Yang Meninggal. Tetapi ulama berbeda pendapat perihal tata cara pembayaran atau qadha hutang puasa orang yang telah meninggal dunia. Artinya, “Seandainya seseorang memiliki hutang puasa dan ia belum sempat membayarnya sampai wafat, maka kau harus menimbang terlebih dahulu.
Jika ia menundanya karena uzur yang terus menerus hingga wafat, maka ia tidak berkewajiban apapun karena puasa itu kewajiban yang tidak mungkin dikerjakannya hingga wafat sehingga status kewajibannya gugur seperti ibadah haji. Tetapi jika uzurnya hilang dan ia memiliki kesempatan untuk membayar hutang puasanya, lalu ia tidak berpuasa, maka hutang puasanya dibayar dengan satu mud makanan pokok untuk setiap harinya,” (Abu Ishaq As-Syairazi, Al-Muhadzdzab pada Al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab, [Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyah: 2010 M], juz VI, halaman 337).
والمنصوص في الام هو الاول وهو الصحيح والدليل عليه ماروى ابن عمر أن النبي صلي الله عليه وسلم قال " من مات وعليه صيام فليطعم عنه مكان كل يوم مسكين " ولانه عبادة لا تدخلها النيابة في حال الحياة فلا تدخلها النيابة بعد الموت كالصلاة. Dalil atas pendapat ini adalah hadits riwayat Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW bersabda ‘Siapa saja yang wafat dan ia mempunyai hutang puasa, hendaklah orang miskin diberi makan pada setiap hari hutang puasanya.’ Puasa adalah ibadah yang tidak dapat digantikan pada saat orang hidup, maka ia tidak digantikan setelah matinya seperti ibadah shalat,” (Abu Ishaq As-Syairazi, Al-Muhadzdzab pada Al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab, [Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyah: 2010 M], juz VI, halaman 337).
Dikutip dari nu.or.id, utang puasa orang yang telah meninggal dapat dibayar dengan fidyah (makanan pokok untuk orang miskin) meski sebagian ulama membolehkan qadha puasa oleh wali almarhum. Tetapi ulama berbeda pendapat perihal ukuran pembayaran fidyah utang puasa orang yang telah meninggal dunia. Dalil atas pendapat ini adalah hadits riwayat Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW bersabda ‘Siapa saja yang wafat dan ia mempunyai utang puasa, hendaklah orang miskin diberi makan pada setiap hari utang puasanya.’ Puasa adalah ibadah yang tidak dapat digantikan pada saat orang hidup, maka ia tidak digantikan setelah matinya seperti ibadah salat. Jika almarhum meninggal sebelum datang Ramadan berikutnya, maka setiap hari utang puasanya dibayarkan sebanyak satu mud kepada orang miskin.
Tetapi jika almarhum meninggal setelah Ramadhan berikutnya tiba, mazhab Syafi’i memiliki dua pendapat. Kedua, wali cukup membayar fidyah sebanyak satu mud atas penundaan qadha puasanya karena ketika seseorang mengeluarkan satu mud atas penundaan maka dengan sendirinya hilang kelalaian tersebut. Sebagian ulama mengatakan bahwa utang puasa orang yang telah meninggal dunia dapat dibayar dengan fidyah atau sedekah makanan pokok sebanyak satu mud atau bobot seberat 675 gram/6,75 ons beras.
Ulama mazhab Syafi’i memiliki dua pendapat perihal seseorang yang meninggal dan belum sempat meng-qadha utang puasanya baik dengan maupun tanpa uzur. Pertama, (ini pendapat paling masyhur dan shahih) menurut penulis dan mayoritas ulama serta manshuh pada qaul jadid, wajib dibayarkan fidyah satu mud yang diambil dari peninggalan almarhum.
Pandangan ini sahih menurut sekelompok ulama terkemuka mazhab Syafi’i.
Abu Syuja’ rahimahullah berkata, “Barangsiapa memiliki utang puasa ketika minggal dunia, hendaklah dilunasi dengan cara memberi makan (kepada orang miskin), satu hari tidak puasa dibayar dengan satu mud.”. Dimana satu sho’ adalah ukuran yang biasa dipakai untuk membayar zakat fitrah. Satu sho’ ini sekitar 2,5 – 3,0 kilogram seperti yang biasa kamu setorkan untuk membayar zakat fitrah.
Beliau lalu bersabda, “Utang Allah lebih berhak untuk dilunasi.” (HR Bukhari no. Penjelasan ini dikhususkan bagi orang yang tidak puasa karena ada uzur (seperti sakit), lalu dirinya masih punya kemampuan dan memiliki waktu untuk meng-qodho’ ketika uzurnya terssebut hilang sebelum meninggal dunia.
Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin …” [QS al-Baqarah (2): 184].Dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa, jika seseorang dalam keadaan sakit atau sedang berada dalam suatu perjalanan sehingga merasa berat untuk melakukan puasa, maka boleh baginya hutang puasa dan mengganti kewajiban puasanya di hari yang lain. Kemudian sekiranya di hari yang lain pun ia tidak mampu menggantinya, disebabkan karena uzur syar‘i, maka ia bisa mengganti puasa yang ditinggalkan dengan cara membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.Menurut Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, mengenai qadha atau hutang puasa orangtua yang masih hidup, namun sudah tidak mampu menggantinya disebabkan suatu uzur (dalam hal ini karena sering sakit-sakitan), maka Islam memberikan kemudahan untuk mengganti puasa yang ditinggalkan dengan cara membayar fidyah bukan dengan mengqadha puasa orangtua yang dilakukan oleh anak.Selanjutnya mengenai qadha puasa bagi orangtua yang telah meninggal dunia, Majelis Tarjih dan Tajdid melalui laman resminya menyampaikan beberapa hadis sebagai berikut:1- [عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ [متفق عليه“Dari Aisyah ra [diriwayatkan] bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Barangsiapa meninggal dunia padahal ia berhutang puasa, maka walinyalah yang berpuasa untuknya” [Muttafaq Alaih].
قَالَ: فَدَيْنُ اللهِ أَحَقٌ أَنْ يُقْضَى [رواه البخاري“Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu [diriwayatkan] ia berkata: Seorang laki-laki datang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata: Ya Rasulullah sungguh ibuku telah wafat padahal ia punya kewajiban puasa satu bulan, apakah saya dapat berpuasa menggantikannya? Selanjutnya Nabi bersabda: Hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan” [HR al-Bukhari].3- عَنِ بْنِ عَباَّسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ اِمْرَاَةً أَتَتْ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ.فَقَالَ: أَ فَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَيْهَا دَيْنٌ أَكُنْتِ تَقْضِيْنَهُ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ : فَدَيْنُ اللهِ أَحَقٌّ بالْقَضَاءِ [رواه مسلم“Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu [diriwayatkan] bahwa seorang wanita datang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata: Ya Rasulullah, sungguh ibu saya telah meninggal, padahal ia punya kewajiban puasa satu bulan.
Lalu Nabi bersabda: Bagaimana pendapatmu jika ibumu memiliki hutang, apakah kamu akan membayarnya ? Lalu keluarganya datang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan hal tersebut.
Lalu beliau bersabda: Berpuasalah untuknya” [HR Ahmad].Berdasarkan dalil-dalil dari as-Sunnah yang tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa diperintahkan bagi ahli waris untuk mengqadha puasa orangtuanya yang telah meninggal dunia karena orangtuanya belum sempat melaksanakan selama masih hidup. Mengenai cara yang tepat dalam mengganti puasa orang tua, dengan qadha oleh wali atau membayar fidyah.Dalil-dalil di atas menjelaskan bahwa jika seseorang tidak mampu mengganti hutang puasanya, maka bisa menggantinya dengan cara mengqadha pada hari lain atau membayar fidyah. Adapun bagi orang tua yang masih hidup yang memiliki hutang puasa wajib, dan ia tidak mampu menggantinya di hari yang lain, maka Allah telah memberikan kemudahan dengan cara membayar fidyah untuk menebus hutang puasa.Cara membayar fidyah bagi orangtua yang masih hidup namun tidak mampu menjalankannya karena merasa berat adalah dengan terlebih dahulu melihat apakah orangtua tersebut memiliki harta atau tidak untuk membayar fidyah. Hal ini merupakan salah satu bentuk berbuat ihsannya seorang anak terhadap orangtuanya dan tidak boleh menqadhanya karena orangtuanya masih hidup.Jika orangtua yang masih memiliki kewajiban puasa yang harus diganti telah meninggal dunia dan belum sempat menggantinya, maka yang paling utama berdasarkan dalil-dalil di atas adalah dengan cara dibebankan kewajiban puasa tersebut kepada ahli warisnya (diqadha oleh ahli warisnya).Namun terlebih dahulu dilihat, apakah orangtua ketika meninggal dunia meninggalkan harta waris atau tidak, jika terdapat padanya harta waris, maka sebelum harta tersebut dibagikan, terlebih dahulu harta tersebut digunakan untuk membayar fidyah puasa yang ditinggalkan karena hal itu merupakan hutang yang harus dibayar sebelum harta warisan dibagikan dan jelas berdasarkan hadis di atas bahwa hutang kepada Allah lebih utama untuk dibayarkan.Namun jika orangtua tidak meninggalkan harta, maka secara moral anak (ahli waris) diperintahkan mengqadha puasa atau boleh juga dengan membayar fidyah bagi orangtuanya.
Khusus bagi Muslimah, utang puasa kadang tak terhindar karena beberapa uzur, seperti haid, melahirkan, atau menyusui. Sesuai dengan firman Allah SWT, “... Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan , (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari lain. Syekh Kamil Muhammad ‘Uwaidah membolehkan wali dari orang yang meninggal tersebut untuk menggantikan puasa.
Rasulullah SAW pernah bersabda, “Barang siapa meninggal dunia dalam keadaan meninggalkan kewajiban qadha puasa maka hendaklah walinya berpuasa untuk menggantikannya.” (HR Bukhari). Hadis riwayat Aisyah di atas, bagi Majelis Tarjih berfungsi untuk menjelaskan ayat-ayat Alquran yang bersifat umum. Hadis lain dari Ibnu Abbas tentang menggantikan haji orang tua juga menguatkan pendapat tersebut. Namun, Majelis Tarjih menegaskan hadis diperbolehkannya mengganti puasa orang yang meninggal tidak dapat diqiyas. Sehingga, pendapat yang tepat, kata Imam Nawawi, “Diperbolehkan memilih antara mengganti dengan puasa atau membayar fidyah.”. Jika ada orang lain yang ingin mewakilkan maka diperbolehkan sepanjang sudah mendapat izin dari ahli waris.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Wafa binti Abdul Aziz As Sulaiman dalam kitabnya fiqih Himpunan Hukum Islam khas Ummahat, menerangkan, bahwa ahlul ilmu berbeda pendapat terkait boleh tidaknya mengqadha puasa ibu yang telah meninggal. Ahlul ilmu yang membolehkan mengqadha puasa adalah Imam Syafi'i, dishahihkan oleh sejumlah muhaqqiq kalangan Syafi'iyyah, seperti Al Baihaqi dan Nawawi. Wafa menyampaikan, pendapat tidak boleh mengqadha puasa untuk ibu yang sudah meninggal ini disampaikan mayoritas ahlul Ilmi dari kalangan Hanafiyah dan Malikiyah. Wafa menanggapi pendapat di atas, kata dia atsar-atsar yang diriwayatkan dari para sahabat ini kontroversial, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.
Sementara, sejumlah ulama kalangan Mazhab Syafii berpendapat boleh mengqadha puasa bagi orang yang meninggal. "Syafi'i menyatakan, pandangan ini didasarkan pada hadits shahih, seperti metode yang lazim digunakan dalam madzhabnya," katanya.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, seorang wanita datang kepada Rasulullah SAW lalu berkata, "Ibuku meninggal dunia, sementara ia masih memiliki tanggungan puasa sebulan.".
1. Orang yang meninggal karena.
uzur. dan belum sempat mengganti puasanya. Misal karena keadaan sakit yang tak kunjung sembuh lalu meninggal, maka.
walinya. tak perlu membayar utang puasa orang tersebut.