Membatalkan Puasa Ramadhan Sebab Sedang Bepergian Jauh Hukumnya Boleh Alasannya. Jakarta, CNN Indonesia -- Puasa hukumnya wajib bagi pemeluk agama Islam. Ada juga yang menilai tak apa batal, tapi wajib menggantinya di hari-hari setelah Ramadan.Lalu, bagaimana seharusnya?KH Maman Imanul Haq, Ketua Lembaga Dakwah PBNU mengatakan orang yang musafir atau dalam perjalanan jauh boleh membatalkan puasa. '"Tentu, dengan catatan, kalau dia merasa dalam perjalanan itu, berat dan tidak kuat. Akan tetapi, kalau pakai mobil yang mewah atau kendaraan yang nyaman, maka sebaiknya berpuasa," ujarnya.Karena, dengan demikian, kata dia, seseorang akan mendapat dua pahala sekaligus.
"Pahala karena menjalankan kewajiban berpuasa, dan menikmati kesabaran yang diberikan Allah SWT padanya. "Oleh karena itu, jika mampu maka berpuasa dalam perjalanan, dan nikmati kesabaran.
Setiap umat Islam yang telah memenuhi syarat wajib hukumnya untuk menjalankan ibadah puasa. Ustaz Ahmad Fauzi Qosim, Dompet Dhuafa menjawab, umat Islam diperbolehkan tidak berpuasa apabila sedang dalam keadaan perjalanan jauh yang menyebabkan kita menjadi kelelahan, keletihan, dan kepayahan (menjadi lemah). Jika dianalogikan, hukum membatalkan puasa ketika bepergian jauh sama halnya dengan orang yang menjamak sholat.
Hal ini dapat dilakukan jika perjalanannya menempuh jarak satu kashah atau setara 83 kilometer menurut mayoritas ulama. Dalam hal ini, Alquran secara jelas telah menerangkan melalui QS Al-Baqarah ayat 185 :.
Pada zaman Nabi, kondisi perjalanan dengan jarak 83 km harus ditempuh menggunakan kendaraan unta dan cuaca jazirah arab yang sangat terik.
Di saat kamu yang sedang berpuasa, kemudian berkeinginan untuk mengadakan perjalanan jauh atau yang sering disebut dengan istilah musafir, memang boleh memilih antara tetap melanjutkan puasanya atau membatalkannya. Mengutip dari berbagai sumber, berikut ini penjelasannya.
Sayyidah Aisyah ra menceritakan bahwa Hamzah bin Amr al-Aslami ra pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang puasa saat perjalanan. Rasul pun memberikan jawaban berupa, “Jika kamu menghendaki maka tetaplah berpuasa, dan jika kamu tidak menghendaki maka batalkanlah”.
"Dari Aisyah ra, ia berkata bahwa Hamzah bin Amr al-Aslami pernah bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai puasa dalam perjalanan. Dispensasi yang diberikan kepada musafir karena, pada umumnya setiap musafir itu akan merasakan kesulitan selama berada di dalam perjalanan, bahkan disebutkan bahwa perjalanan itu serpihan dari azab. Lalu, bagaimana hukum puasa bagi musafir, terlebih zaman sekarang teknologi telah canggih, sehingga musafir tidak akan merasakan masyaqqah atau kesulitan selama perjalanannya?
Apa pun jenis perintah Allah yang wajib dijalankan, tidaklah keluar dari batas kesanggupan si hamba untuk melaksanakannya. Bahkan, hukum wajib tersebut bisa gugur jika memang seorang mukallaf (manusia yang menjalankan kewajiban) tidak sanggup melaksanakannya.
Dengan adanya rukhsah, manusia mukallaf bisa mendapatkan keringanan dalam melakukan ketentuan Allah SWT pada keadaan tertentu, seperti saat kesulitan. Ilmu ushul fikih menyebutkan, rukhsah bisa membolehkan atau memberikan pengecualian dari prinsip umum karena kebutuhan (al-hajat) dan keterpaksaan (ad-dariirat). Misalnya, dibolehkan bagi seorang mukmin mengucapkan kalimat "saya telah kafir" karena dipaksa, asalkan hatinya tetap beriman.
Demikian juga, hukum bagi mukallaf yang dibolehkan berbuka puasa pada Ramadhan karena sakit atau dalam perjalanan. Misalnya, memakan bangkai dan meminum tuak yang pada dasarnya diharamkan menjadi dihalalkan saat keadaan tertentu.
Liputan6.com, Jakarta Ketentuan puasa Ramadan bagi musafir perlu kamu kenali. Apalagi, di Indonesia puasa Ramadan identik dengan tradisi mudik menjelang lebaran atau Hari Raya Idul Fitri. Musafir atau orang yang sedang melakukan perjalanan memang diberikan keringanan untuk tidak berpuasa.
Namun, ada berbagai ketentuan bagi musafir jika ingin membatalkan puasa Ramadan atau tetap melanjutkannya. "Dari Aisyah ra, ia berkata bahwa Hamzah bin Amr al-Aslami pernah bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai puasa dalam perjalanan.
Ada kondisi yang menyebabkan kamu harus dan boleh membatalkan puasa, ada pula kondisi yang membuat kamu tidak boleh membatalkannya. Walaupun boleh membatalkan atau tidak berpuasa, seorang musafir tetap wajib mengganti pausa tersebut di luar bulan Ramadan.
Berikut Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Selasa (20/4/2021) tentang ketentuan puasa Ramadan bagi musafir.
Di bulan ini umat muslim menjalankan ibadah puasa, tarawih dan memperbanyak tadarus. Akan tetapi tidak semua orang memiliki kondisi fisik yang prima untuk berpuasa.
"Ada tiga keadaan sakit: Pertama jika penyakit diprediksi kritis yang membolehkannya tayammum, maka penderitanya makruh untuk berpuasa. Ketiga, kalau sakit ringan yang sekiranya tidak sampai keadaan kritis yang membolehkannya tayammum, penderita haram membatalkan puasanya dan tentu wajib berpuasa sejauh ia tidak khawatir penyakitnya bertambah parah. Bolehnya berbuka bagi mereka yang sedang dalam perjalanan jauh tersebut didukung dengan data bahwa dahulunya nabi dan sahabat juga pernah berbuka karena alasan safar ini. Dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Saw pergi menuju Makkah dalam bulan Ramadhan dan beliau berpuasa.
Diperbolehkan untuk tidak berpuasa bagi ibu hamil dan menyusui didasarkan kepada hadits Rasulullah Saw berikut:. Artinya kondisi pekerja berat itu tidak serta merta dari awal sudah boleh berbuka. Jika terdapat kondisi tertentu yang kritis membuat mereka celaka barulah boleh berbuka.
Sama seperti sholat, puasa juga wajib ditinggal sementara oleh wanita yang sedang haid atau nifas, hanya saja atas kedua wajib mengganti (meng-qadha) puasa yang ditinggalkan tersebut pada hari-hari lain selain Idul Fitri.
Bisnis.com, JAKARTA – Bagi muda-mudi atau pasangan perempuan dan laki-laki yang sedang kasmaran, berduaan memadu kasih memang menyenangkan. Begini penjelasan Ustadz Mahbub Maafi, Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU, mengenai berpacaran saat Ramadan dalam tanya jawab dengan Antara:.
Bahkan, menurut Imam Abu Ishaq asy-Syirazi, salat berdua dengan yang bukan mahram pun dimakruhkan. Menurut Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab bahwa yang dimaksud dengan makruh oleh Imam Abu Ishaq asy-Syirazi dalam konteks ini adalah makruh tahrim yang statusnya sama dengan haram.
Hal ini apabila si laki-laki tersebut berduaan dengan seorang perempuan ajnabiyyah atau bukan mahramnya.” (Muhyiddin Syarf An-Nawawi, Al-Majmu` Syarhul Muhadzdzab, Jeddah, Maktabah Al-Irsyad, juz IV, h. 173). Dari sini dapat dipahami berduaan saja dengan lawan jenis yang bukan mahramnya bahkan sampai salat berduaan dengannya saja pun diharamkan, apalagi sampai berpandangan dengan mesra dan bergandengan tangan.
Namun, dapat berujung puasanya tidak diterima di sisi Allah karena dia melakukan apa yang telah diharamkan. Dalam kasus ini, menurut Syaikh Nawawi Banten, seseorang yang secara kebiasaannya bila memandang lawan jenisnya menjadi terangsang lalu keluar air mani, puasanya batal.
Sedangkan istilah qadha menurut ulama, di antaranya Ibnu Abdin adalah mengerjakan kewajiban setelah lewat waktunya. Misalnya seperti haid atau sedang masa nifas, kedua hal ini membuat seseorang tidak dapat berpuasa dan harus menggantinya.
Sebagai contoh ketika sedang berpuasa kemudian kita lupa minum disiang hari saat bulan Ramadhan. Tetapi jika berpuasa karena ada udzur syar'i maka hal tersebut diperbolehkan dengan catatan tetap wajib menggantinya. Barangsiapa yang tidak dapat melakukan puasa ketika Ramadhan, maka ia diwajibkan untuk mengqadha puasanya. Dikutip dalam buku berjudul "Belum Qadha Puasa Sudah Masuk Ramadhan Berikutnya" oleh Muhammad Aqil Haidar, Lc dijelaskan bahwa ada beberapa pendapat dari ulama mengenai hal ini. Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah dalam kitab Al-Kafi fi Fidqhi Ahlil Madinah menuliskan sebagai berikut:. Dan juga wajib baginya membayar fidyah untuk setiap hari yang ia tinggalkan dengan hanya masuknya Ramadhan kedua.
Berikut penjelasan Ustadz Mahbub Maafi, Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU, mengenai berpacaran di bulan Ramadan yang dikupas dalam tanya jawab dengan Antara:. Bahkan, menurut Imam Abu Ishaq asy-Syirazi, shalat berdua dengan yang bukan mahram-pun dimakruhkan. Menurut Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab bahwa yang dimaksud dengan makruh oleh Imam Abu Ishaq asy-Syirazi dalam konteks ini adalah makruh tahrim yang statusnya itu sama dengan haram.
Hal ini apabila si laki-laki tersebut berduaan dengan seorang perempuan ajnabiyyah atau bukan mahramnya.” (Muhyiddin Syarf An-Nawawi, Al-Majmu` Syarhul Muhadzdzab, Jeddah, Maktabah Al-Irsyad, juz IV, h. 173). Dari sini dapat dipahami berduaan saja dengan lawan jenis yang bukan mahramnya bahkan sampai shalat berduaan dengannya saja pun itu diharamkan apalagi sampai berpandangan dengan mesra dan bergandengan tangan. Namun dapat berujung puasanya tidak diterima di sisi Allah karena ia melakukan apa yang telah diharamkan sebagaimana penjelasan pada tulisan edisi sebelumunya mengenai soal mengumpat dan mencaci di medsos. Lain ceritanya apabila dalam memandang kemudian menimbulkan syahwat sampai mengeluarkan air mani maka akan membatalkan puasa.
Sebab, salah satu hal yang dapat membatalakan puasa adalah keluarnya mani. Dalam kasus ini, menurut Syaikh Nawawi Banten, sepanjang hal itu menjadi kebiasaannya. Dan jika ia merasa mani akan keluar sebab mamandangnya kemudian ia tetap memandang (menikmatinya) sehingga keluar mani maka dapat dipastikan membatalkan puasa.” (Syekh Nawawi Al-Bantani, Nihayah az-Zain fi Irsyad al-Mubtadi`in, Bairut-Dar al-Fikr, tt, h. 187).