Membatalkan Puasa Ramadhan Sebab Sedang Bepergian Jauh Hukumnya Boleh. Namun, bagaima puasa di bulan Ramadan bagi seorang musafir atau yang sedang dalam perjalanan jauh?Ada yang beranggapan harus tetap berpuasa karena hukumnya wajib. Ada juga yang menilai tak apa batal, tapi wajib menggantinya di hari-hari setelah Ramadan.Lalu, bagaimana seharusnya?KH Maman Imanul Haq, Ketua Lembaga Dakwah PBNU mengatakan orang yang musafir atau dalam perjalanan jauh boleh membatalkan puasa. "Islam hadir tidak ingin memberatkan, dan memberi keringanan bagi pemeluknya, apalagi dalam perjalanan jauh," ungkapnya dalam seri video Tanya Jawab Seputar Islam (TAJIL) di CNNIndonesia.com.Lebih jauh, dia mengatakan, dalam Al Quran disebutkan 'Barang siapa dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan, maka dia boleh membuka puasanya, dan mengganti puasanya itu di hari-hari setelah Ramadan.
'"Tentu, dengan catatan, kalau dia merasa dalam perjalanan itu, berat dan tidak kuat. Akan tetapi, kalau pakai mobil yang mewah atau kendaraan yang nyaman, maka sebaiknya berpuasa," ujarnya.Karena, dengan demikian, kata dia, seseorang akan mendapat dua pahala sekaligus.
"Pahala karena menjalankan kewajiban berpuasa, dan menikmati kesabaran yang diberikan Allah SWT padanya. "Oleh karena itu, jika mampu maka berpuasa dalam perjalanan, dan nikmati kesabaran.
Liputan6.com, Jakarta Ketentuan puasa Ramadan bagi musafir perlu kamu kenali. Apalagi, di Indonesia puasa Ramadan identik dengan tradisi mudik menjelang lebaran atau Hari Raya Idul Fitri. Musafir atau orang yang sedang melakukan perjalanan memang diberikan keringanan untuk tidak berpuasa. Namun, ada berbagai ketentuan bagi musafir jika ingin membatalkan puasa Ramadan atau tetap melanjutkannya.
Sayyidah Aisyah ra menceritakan bahwa Hamzah bin Amr al-Aslami ra pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang puasa saat perjalanan. "Dari Aisyah ra, ia berkata bahwa Hamzah bin Amr al-Aslami pernah bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai puasa dalam perjalanan.
Lantas beliau pun menjawab, 'Jika kamu menghendaki maka berpuasalah, dan jika kamu tidak menghendaki maka batalkanlah". Ada kondisi yang menyebabkan kamu harus dan boleh membatalkan puasa, ada pula kondisi yang membuat kamu tidak boleh membatalkannya. Walaupun boleh membatalkan atau tidak berpuasa, seorang musafir tetap wajib mengganti pausa tersebut di luar bulan Ramadan.
Berikut Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Selasa (20/4/2021) tentang ketentuan puasa Ramadan bagi musafir.
Setiap umat Islam yang telah memenuhi syarat wajib hukumnya untuk menjalankan ibadah puasa. Ustaz Ahmad Fauzi Qosim, Dompet Dhuafa menjawab, umat Islam diperbolehkan tidak berpuasa apabila sedang dalam keadaan perjalanan jauh yang menyebabkan kita menjadi kelelahan, keletihan, dan kepayahan (menjadi lemah).
Jika dianalogikan, hukum membatalkan puasa ketika bepergian jauh sama halnya dengan orang yang menjamak sholat. Hal ini dapat dilakukan jika perjalanannya menempuh jarak satu kashah atau setara 83 kilometer menurut mayoritas ulama.
Dalam hal ini, Alquran secara jelas telah menerangkan melalui QS Al-Baqarah ayat 185 :. Pada zaman Nabi, kondisi perjalanan dengan jarak 83 km harus ditempuh menggunakan kendaraan unta dan cuaca jazirah arab yang sangat terik.
Di saat kamu yang sedang berpuasa, kemudian berkeinginan untuk mengadakan perjalanan jauh atau yang sering disebut dengan istilah musafir, memang boleh memilih antara tetap melanjutkan puasanya atau membatalkannya. Mengutip dari berbagai sumber, berikut ini penjelasannya.
Rasul pun memberikan jawaban berupa, “Jika kamu menghendaki maka tetaplah berpuasa, dan jika kamu tidak menghendaki maka batalkanlah”. "Dari Aisyah ra, ia berkata bahwa Hamzah bin Amr al-Aslami pernah bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai puasa dalam perjalanan. Dispensasi yang diberikan kepada musafir karena, pada umumnya setiap musafir itu akan merasakan kesulitan selama berada di dalam perjalanan, bahkan disebutkan bahwa perjalanan itu serpihan dari azab. Lalu, bagaimana hukum puasa bagi musafir, terlebih zaman sekarang teknologi telah canggih, sehingga musafir tidak akan merasakan masyaqqah atau kesulitan selama perjalanannya?
Apa pun jenis perintah Allah yang wajib dijalankan, tidaklah keluar dari batas kesanggupan si hamba untuk melaksanakannya. Bahkan, hukum wajib tersebut bisa gugur jika memang seorang mukallaf (manusia yang menjalankan kewajiban) tidak sanggup melaksanakannya. Dengan adanya rukhsah, manusia mukallaf bisa mendapatkan keringanan dalam melakukan ketentuan Allah SWT pada keadaan tertentu, seperti saat kesulitan.
Ilmu ushul fikih menyebutkan, rukhsah bisa membolehkan atau memberikan pengecualian dari prinsip umum karena kebutuhan (al-hajat) dan keterpaksaan (ad-dariirat). Misalkan, rukhsah bukan bertujuan untuk berlaku zalim, berbuat dosa, atau meringan-ringankan suatu hukum yang sudah ringan.
Dalam hal ini manusia boleh memilih apakah akan melakukan azimah (yang seharusnya) atau rukhsah (keringanannya). Misalnya, dibolehkan bagi seorang mukmin mengucapkan kalimat "saya telah kafir" karena dipaksa, asalkan hatinya tetap beriman. Demikian juga, hukum bagi mukallaf yang dibolehkan berbuka puasa pada Ramadhan karena sakit atau dalam perjalanan. Cakupan rukhsah yang diberikan Allah SWT untuk hamba-Nya, yakni memberikan keringanan kepada mukallaf hanya pada saat-saat tertentu.
Misalnya, memakan bangkai dan meminum tuak yang pada dasarnya diharamkan menjadi dihalalkan saat keadaan tertentu.
"Ada tiga keadaan sakit: Pertama jika penyakit diprediksi kritis yang membolehkannya tayammum, maka penderitanya makruh untuk berpuasa. Dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Saw pergi menuju Makkah dalam bulan Ramadhan dan beliau berpuasa. Diperbolehkan untuk tidak berpuasa bagi ibu hamil dan menyusui didasarkan kepada hadits Rasulullah Saw berikut:.
Artinya kondisi pekerja berat itu tidak serta merta dari awal sudah boleh berbuka. Sama seperti sholat, puasa juga wajib ditinggal sementara oleh wanita yang sedang haid atau nifas, hanya saja atas kedua wajib mengganti (meng-qadha) puasa yang ditinggalkan tersebut pada hari-hari lain selain Idul Fitri.
Namun, makna sakit di sini harus ditekankan, misalnya saja flu sangat parah atau penyakit permanen seperti stroke.Dijelaskan Dra. Shoimah Kastolani, Ketua Pimpinan Pusat 'Aisyiyah bahwa wanita haid, ibu hamil, ibu menyusui yang khawatir ASI tidak lancar sehingga mengganggu pertumbuhan anaknya, orangtua renta, masuk dalam golongan yang diperbolehkan tidak berpuasa.Menurut Shoimah, hal ini sudah sesuai dengan hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan Bukhari, Nasai, dan Ahmad. "Sedangkan untuk Bunda yang tidak berpuasa Ramadhan , maka wajib baginya membayar utang puasa pada hari lain. Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengganti puasa Ramadhan. Berbeda dengan orang yang sakitnya permanen, sehingga tidak memungkinkan berpuasa maka diperbolehkan membayar fidyah , Bunda. Ini sesuai dengan hadits Abu Dawud yang berbunyi;عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ (وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ) قَالَ كَانَتْ رُخْصَةً لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ وَالْمَرْأَةِ الْكَبِيرَةِ وَهُمَا يُطِيقَانِ الصِّيَامَ أَنْ يُفْطِرَا وَيُطْعِمَا مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا - قَالَ أَبُو دَاوُدَ يَعْنِى عَلَى أَوْلاَدِهِمَا - أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا.Dari Ibnu 'Abbas, mengenai firman Allah (yang artinya), "Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin," beliau mengatakan, "Ayat ini menunjukkan keringanan bagi laki-laki dan perempuan yang sudah tua renta dan mereka merasa berat berpuasa, mereka dibolehkan untuk tidak berpuasa, namun mereka diharuskan untuk memberi makan setiap hari satu orang miskin sebagai ganti tidak berpuasa.
Hal ini juga berlaku untuk wanita hamil dan menyusui jika keduanya khawatir-Abu Daud mengatakan: khawatir pada keselamatan anaknya-, mereka dibolehkan tidak berpuasa, namun keduanya tetap memberi makan (kepada orang miskin). "Namun, Shoimah juga mengingatkan bahwa syariat Islam dibangun di atas prinsip memudahkan dan tidak memberatkan.
"Jadi ingat ya, Bunda, bahwa utang puasa tidak boleh digantikan dengan fidyah begitu saja. Harus memenuhi beberapa syarat, seperti tidak sanggup puasa karena sakit berat yang menahun.Simak juga yuk menu berbuka puasa yang baik untuk ibu menyusui dalam video berikut:.
Sedangkan istilah qadha menurut ulama, di antaranya Ibnu Abdin adalah mengerjakan kewajiban setelah lewat waktunya. Misalnya seperti haid atau sedang masa nifas, kedua hal ini membuat seseorang tidak dapat berpuasa dan harus menggantinya. Tetapi jika berpuasa karena ada udzur syar'i maka hal tersebut diperbolehkan dengan catatan tetap wajib menggantinya.
Dikutip dalam buku berjudul "Belum Qadha Puasa Sudah Masuk Ramadhan Berikutnya" oleh Muhammad Aqil Haidar, Lc dijelaskan bahwa ada beberapa pendapat dari ulama mengenai hal ini. Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah dalam kitab Al-Kafi fi Fidqhi Ahlil Madinah menuliskan sebagai berikut:.
Dan juga wajib baginya membayar fidyah untuk setiap hari yang ia tinggalkan dengan hanya masuknya Ramadhan kedua.
Bisnis.com, JAKARTA – Bagi muda-mudi atau pasangan perempuan dan laki-laki yang sedang kasmaran, berduaan memadu kasih memang menyenangkan. Begini penjelasan Ustadz Mahbub Maafi, Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU, mengenai berpacaran saat Ramadan dalam tanya jawab dengan Antara:. Bahkan, menurut Imam Abu Ishaq asy-Syirazi, salat berdua dengan yang bukan mahram pun dimakruhkan.
Hal ini apabila si laki-laki tersebut berduaan dengan seorang perempuan ajnabiyyah atau bukan mahramnya.” (Muhyiddin Syarf An-Nawawi, Al-Majmu` Syarhul Muhadzdzab, Jeddah, Maktabah Al-Irsyad, juz IV, h. 173). Dari sini dapat dipahami berduaan saja dengan lawan jenis yang bukan mahramnya bahkan sampai salat berduaan dengannya saja pun diharamkan, apalagi sampai berpandangan dengan mesra dan bergandengan tangan. Namun, dapat berujung puasanya tidak diterima di sisi Allah karena dia melakukan apa yang telah diharamkan.
Dalam kasus ini, menurut Syaikh Nawawi Banten, seseorang yang secara kebiasaannya bila memandang lawan jenisnya menjadi terangsang lalu keluar air mani, puasanya batal.
SEMARANG, AYOSEMARANG.COM -- Saat menjalani ibadah puasa di bulan Ramadan, pastinya kondisi kesehatan setiap orang tentu berbeda-beda. Sejumlah masalah kesehatan pun terkadang muncul secara tiba-tiba, seperti maag, mual, serta muntah. Lantas, jika tiba-tiba kita muntah saat tengah berpuasa, apakah batal puasa tersebut?
AYO BACA : Mimpi Basah Siang Hari saat Ramadan, Apakah Puasa Batal? Hal itu tertulis dalam Hadis Riwayat lima imam hadist, yakni Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasa'i, yang artinya seperti berikut. "Siapa saja yang muntah, maka ia tidak berkewajiban qadha (puasa).
Tetapi siapa saja yang sengaja muntah, maka ia berkewajiban qadha (puasa)". Dari hadist tersebut, para ulama pun menarik kesimpulan bahwa orang yang terlanjur muntah tanpa disengaja bisa melanjutkan puasanya hingga matahari terbenam. Sebab, isi perut yang keluar melalui mulut tanpa disengaja itu tidak membatalkan puasa.