Hukum Tidak Mengganti Puasa Tahun Lalu. Berdasarkan ilmu fiqih, qadha ialah pelaksanaan suatu ibadah di luar waktu yang telah ditentukan oleh Syariat Islam. Namun, beberapa golongan tersebut tetap diwajibkan untuk melunasi puasa Ramadhan tahun lalu sebanyak hari yang telah ditinggalkannya.
Bahkan, kelebihan hari dari qadha puasa tersebut akan menjadi ibadah sunnah yang tentu saja memiliki rahmat tersendiri di sisi Allah SWT. Jadi, dapat disimpulkan bahwa fidyah merupakan upaya memberikan sejumlah harta benda dalam takaran tertentu kepada fakir miskin, sebagai bentuk mengganti atau melunasi “hutang” ibadah yang sebelumnya telah ditinggalkan.
Takaran dalam fidyah ini bergantung pada harga beras (sebagai makanan pokok) dan harus diberikan kepada fakir miskin. Berdasarkan sabda tersebut, dapat dikatakan bahwa kita tidak boleh membahayakan tubuh sendiri dengan mengkonsumsi obat-obatan yang jelas akan mengganggu kesehatan.
Maka dari itu, Syaikh Ibn Utsaimin juga mengatakan bahwa wanita tidak boleh memakai obat penghalang haid karena dapat mengganggu kesehatan, apalagi dengan tujuan demikian.
Bisnis.com, SOLO - Puasa Ramadan menjadi ibadah wajib yang dilakukan oleh umat muslim di seluruh dunia. Namun sebelum itu, umat muslim juga harus membayar utang puasa pada Ramadan lalu, dimulai sejak bulan Syawal.
Puasa Ramadan pada tahun-tahun lalu pun wajib juga dibayarkan atau diganti. Melansir dari NU Online, orang yang membatalkan puasanya dan orang yang menunda qadha puasanya karena kelalaian hingga Ramadhan tahun berikutnya tiba mendapat beban tambahan. Mereka diwajibkan membayar fidyah dan harus mengqadha puasa yang ditinggalkan. Artinya, “(Kedua [yang wajib qadha dan fidyah] adalah ketiadaan puasa dengan menunda qadha) puasa Ramadhan (padahal memiliki kesempatan hingga Ramadhan berikutnya tiba) didasarkan pada hadits, ‘Siapa saja mengalami Ramadhan, lalu tidak berpuasa karena sakit, kemudian sehat kembali dan belum mengqadhanya hingga Ramadhan selanjutnya tiba, maka ia harus menunaikan puasa Ramadhan yang sedang dijalaninya, setelah itu mengqadha utang puasanya dan memberikan makan kepada seorang miskin satu hari yang ditinggalkan sebagai kaffarah,’ (HR Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi). Baca Juga : Ini Tata Cara Membayar Utang Puasa Ramadan yang Lupa Jumlahnya. Nawaitu shauma ghadin 'an qadha’I fardhi syahri Ramadhana lillâhi ta‘âlâ.
Artinya: Aku berniat untuk mengqadha puasa Bulan Ramadan esok hari karena Allah SWT. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News.
Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Ustadzah Maharati Marfuah Lc dalam bukunya berjudul Qadha dan Fidyah Puasa menjelaskan, para ulama berbeda pendapat jika selama setahun sampai bertemu lagi bulan Ramadhan di tahun depan ada seseorang yang belum melaksanakan qadha.
Menurut Az-Zaila'i, salah satu ulama dari kalangan Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Tabyin Al-Haqaiq Syarh Kanzu Ad-Daqaiq menuliskan, jika seseorang memiliki tanggungan puasa yang belum diqadha sampai datang bulan Ramadhan berikutnya, maka dia berpuasa untuk Ramadhan kedua. Kemudian setelah itu baru melakukan qadha puasa Ramadhan tahun lalu. Ustadzah Maharati mengatakan, bisa disimpulkan teks di atas menurut Az-Zaila'i, jika seseorang memiliki hutang puasa pada Ramadhan yang telah berlalu dan belum dibayar (qadha) sampai datang Ramadhan selanjutnya, maka (di bulan Ramadhan itu) dia belum boleh melakukan qadha.
"Dia harus berpuasa dulu untuk Ramadhan tahun tersebut. Kemudian setelah bulan Ramadhan berlalu baru melakukan qadha puasanya, dan tidak wajib baginya membayar fidyah," kata Ustazah Maharati dalam bukunya yang diterbitkan Rumah Fiqih Publishing.
وإن كان مخالطا للعلماء لخفاء ذلك لا بالفدية فلا يعذر لجهله بها نظير من علم حرمة التنحنح وجهل البطلان به. Tetapi kalau ia hidup membaur dengan ulama karena samarnya masalah itu tanpa fidyah, maka ketidaktahuannya atas keharaman penundaan qadha bukan termasuk uzur.
Asal tahu, beban fidyah itu terus muncul seiring pergantian tahun dan tetap menjadi tanggungan orang yang yang berutang (sebelum dilunasi),” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Kasyifatus Saja ala Safinatin Naja, Surabaya, Maktabah Ahmad bin Sa‘ad bin Nabhan, tanpa tahun, halaman 114). Dari keterangan Syekh Nawawi Banten ini, kita dapat melihat apakah ketidaksempatan qadha puasa hingga Ramadhan berikutnya tiba disebabkan karena sakit, lupa, atau memang kelalaian menunda-tunda. Sementara menurut Hanafiyah, satu mud seukuran dengan 815,39 gram bahan makanan pokok seperti beras dan gandum.
Sejatinya, setiap muslim yang memiliki utang puasa Ramadan karena uzur tertentu dikenakan kewajiban untuk menggantinya. Senada dengan itu, cendekiawan muslim Quraish Shihab berpendapat mengenai utang puasa yang ditinggalkan sudah bertahun-tahun karena alasan syar'i seperti ibu hamil dan menyusui.
Ia menyebut, muslim tersebut diberi keringanan untuk memilih antara mengganti dengan puasa qadha atau pun membayar fidyah. Jika tidak mampu, bayarlah fidyah akibat ketidakmampuan itu sambil memohon ampunan kepadaNya," kata Quraish Shihab dalam buku 1001 Soal Keislaman Yang patut Anda Ketahui. Islam adalah agama yang memberikan kemudahan, tidak terkecuali dalam mengganti puasa Ramadan akibat uzur tertentu. Sebab itu, pilihan dalam membayar utang puasa dapat dikembalikan sesuai dengan kesanggupan dan keyakinan tiap muslim masing-masing.
Hukum melaksakana puasa Ramadhan ini wajib bagi orang islam yang telah dewasa (baligh), berakal, sehat, muqim (tidak sedang bepergian jauh), kuat, serta suci dari haid dan nifas. Lalu bagaimana jika sampai bulan suci berikutnya tiba ternyata masih ada utang puasa yang belum terbayar? Misalnya sakit parah selama setahun, hamil 9 bulan, menyusui, lupa atau hal lain diluar kemampuan, maka ia berkewajiban mengqadha (membayar hutang puasa) setelah Ramadhan berikutnya. Imam ibnu Baz rahimahullah pernah menjelaskan tentang kewajiban seseorang yang sakit dan tidak bisa membayar hutang puasanya:. Demikianlah pendapat para ulama mengenai tata cara membayar utang puasa yang sudah lewat hingga Ramadhan berikutnya.
Bagi mereka yang tidak bisa menjalankan puasa secara full maka diwajibkan untuk menggantinya di lain waktu. Yahya (salah satu perowi hadits) mengatakan bahwa hal ini dilakukan ‘Aisyah karena beliau sibuk mengurus Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya mengundurkan qodho’ Ramadhan baik mengundurkannya karena ada udzur atau pun tidak”.
Terkait qodho puasa ini, sering timbul pertanyaan “Bagaimana hukumnya jika ada seseorang yang tidak mengqodho puasanya hingga datang Ramadhan selanjutnya?”. Namun, Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i mengatakan jika dia meninggalkan qodho’ puasa dengan sengaja, maka di samping mengqodho’ puasa, dia juga memiliki kewajiban memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang belum diqodho’.
Pendapat inilah yang lebih kuat sebagaimana difatwakan oleh beberapa sahabat seperti Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz –pernah menjabat sebagai ketua Lajnah Ad Da’imah (komisi fatwa Saudi Arabia)- ditanyakan, “Apa hukum seseorang yang meninggalkan qodho’ puasa Ramadhan hingga masuk Ramadhan berikutnya dan dia tidak memiliki udzur untuk menunaikan qodho’ tersebut.
Apakah cukup baginya bertaubat dan menunaikan qodho’ atau dia memiliki kewajiban kafaroh?”. Syaikh Ibnu Baz menjawab, “Dia wajib bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan dia wajib memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan disertai dengan qodho’ puasanya.
Untuk kamu yang belum mengqodho puasa, masih ada beberapa hari sebelum ramadhan.